Bandung - Seni adalah ruang tanpa demarkasi. Siapapun, darimana pun dia berasal bahkan tanpa embel-embel titel pendidikan seni sekalipun bisa berkesenian. Tak selalu berada di galeri, gedung-gedung pertunjukan, atau sebuah ruang yang dianggap memiliki nilai estetis.
Sekali lagi, di manapun itu ruang seni bisa tercipta. Bahkan jika mengingat sebuah novel karya Seno Gumira Ajidarma 'Dilarang menyanyi di kamar mandi', seni pun bisa tercipta di antara cidukan air oleh gayung.
Jalanan pun memiliki lukisan seninya tersendiri. Misalnya di lampu lalu lintas, jalanan bernyanyi bersama musisi beralat musik lengkap hingga tepukan tangan ringan.
Jika pernah menelusuri Jalan Asia Afrika di antara Kantor Pos Besar dan Jalan Alkateri, maka seni menampakan wajahnya pula di tempat ini.
Mereka mungkin tak memiliki nama besar seperti halnya Affandi. Goresan mereka tercipta di trotoar, di tengah debu dan decit ban kendaraan yang berlalu lalang di Jalan Asia Afrika.
Pelukis jalanan, mungkin julukan itu yang akan pertama kali dilontarkan jika melihat ruang tempat mereka berkreatifitas. Para penganut aliran naturalisme ini mencipta karya dengan melihat foto objek yang rata-rata adalah potret wajah. Guratan sketsa dengan pemahaman anatomi wajah juga tubuh, menjadi pedoman untuk menghasilkan karya yang mendekati gambar asli sebagai satu ciri aliran ini.
Kebanyakan mereka seniman tanpa titel sarjana seni. Secara otodidak mereka menimba ilmu di jalanan, mengasah keahlian melalui pengalaman.
Sekitar 8-10 pelukis berada di trotoar ini. Tak selalu dari mereka datang tiap hari. Layaknya karakter seniman pada umumnya yang bebas tanpa batasan office hour. Tapi hampir setiap hari dari pagi hingga petang selalu ada dari mereka, yang memajangkan ragam karyanya untuk menarik perhatian pengunjung.
Harga setiap lukisan bervariasi tergantung media, kanvas atau kertas. Harga mereka bukanlah harga lukisan galeri yang berjuta-berjuta, hanya berkisar antara Rp 200 ribu-Rp 500 ribu.
Rata-rata mereka menggunakan pewarna serupa serbuk arang yang disebut kote. Keahlian dalam mengguratkan garis-garis wajah dan kemampuan dalam menggradasikannya dalam setiap lekuk membuat lukisan seperti hidup.
Dituturkan seorang pelukis yang sudah berada di tempat ini dari tahun 1988 yang akrab dipanggil Mang Ocoy (48), pelukis jalanan di tempat ini mulai muncul di tahun 90-an. Mang Ocoy sendiri baru beralih menjadi pelukis di tahun 1990 an. Sebelumnya dia berprofesi sebagai penggambar kartu ucapan.
"Saat itu trotoar penuh dengan para pelukis. Tak hanya datang dari Bandung tapi juga dari Bali, Jakarta dan kota lainnya," jelasnya.
Kini pelukis pun berkurang seiring berkurangnya pula animo masyarakat terhadap keberadaan dan hasil karya mereka. Menurut Mang Ocoy mereka kini banyak yang beralih profesi diantaranya ada yang menjadi pegawai kantoran.
Namun Mang Ocoy sendiri enggan meninggalkan profesi ini. Meski penghasilannya tak tentu tapi dia mengaku jalanan ini adalah hidupnya.
"Saya sempat menjadi pegawai kantoran tapi karena terbiasa di jalanan maka tidak cocok dengan suasana kantor yang mengungkung," jelasnya. Dia pun tak keberatan dikatakan sebagai seniman jalanan. Menurutnya, seni adalah sesuatu yang relatif.
Lain lagi dengan Wawan yang menilai bahwa tidak ada kategorisasi seniman, di ruang manapun dia bergerak. "Tidak ada seniman jalanan. Semuanya adalah seniman. Baik yang belajar secara otodidak maupun belajar seni di perguruan tinggi," ujarnya.
Wawan mengaku dirinya pun sering ikut serta dalam pameran-pameran yang digelar oleh galeri-galeri. Dirinya tak hanya menganut aliran naturalisme, dia bisa membuat lukisan beraliran lain seperti impresionisme atau ekspresionisme.
"Melukis apapun tergantung permintaan," ujar Wawan yang karyanya juga banyak yang meminta dari konsumen di luar negeri.
Sedangkan Tata (35) warga Sukabumi yang sudah sembilan tahun menjadi pelukis foto di tempat ini, mengaku melukis tak hanya sebagai panggilan hati tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Saya sudah mencari pekerjaan kemana-mana, inilah yang akhirnya jadi pilihan. Akhirnya saya punya keinginan untuk terus belajar memperdalamnya," jelas Tata.
Jalanan, menurut Tata, memberikan atmosfer lain yang bisa menyalurkan energi lebih bagi dirinya untuk menggoreskan. "Kalau melukis di jalanan apalagi dilihat dan dikomentari oleh orang lain, saya sangat senang," jelasnya.
Seni memang dipersepsi dengan cara berbeda bahkan oleh sang seniman, apalagi para penikmat. Begitupun seni mereka. Menghadirkan sisi lain dari seni yang terkadang dipandang sebelah mata.(ema/ern)
0 komentar:
Posting Komentar