Sepenggal Cerita di Balik Asia Afrika


Bandung - Di jalan inilah Herman Willem Daendels, Gubernur Belanda pada tahun 1800-1811 manancapkan tongkat kayu dalam rangkaian perjalanannya membangun Jalan Pos dari Anyer ke Panarukan. Di jalan ini pulalah dinyatakan tanda kilometer "0" (nol). Tepatnya berada di kawasan bangunan Dinas Bina Marga saat ini.

Dalam prasasti yang terdapat di tugu kilometer nol disebutkan, sambil menancapkan tongkat kayu Daendels berkata "“Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” yang artinya 'usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah Kota telah dibangun!'.

Maka perjalanan sejarah pembangunan Kota Bandung tentunya tak lepas dari jalan ini. Di zaman kolonial, dinamakanlah jalan ini Jalan Grote Postweg atau Jalan Pos. Sebagai salah satu pusat Kota Bandung, jalan ini menjadi saksi kesuksesan pelaksanaan Konperensi Asia Afrika di tahun 1955. Akhirnya untuk mengabadikan itu, nama jalan pun diganti dengan nama Jalan Asia Afrika.

Memanjang dari Simpang Lima sampai Jalan jenderal Sudirman, Jalan Asia Afrika menghubungkan wilayah Bandung Barat dan Bandung Timur. Menyimpan banyak cerita, tak hanya peninggalan sejarah kala konperensi Asia Afrika tetapi sederet bangunan berdiri menonjolkan kegagahan masa lalu sebuah kota yang disebut Parisj Van Java.

Sebut saja Gedung Merdeka di mana KAA berlangsung. Karya otentik dari arsitek Van Galen dan CP Wolff Schoemaker dengan sentuhan klasik romantik ini tak hanya merekam perjalanan sejarah tetapi juga tercatat sebagai salah satu bangunan yang menjadi mata rantai sejarah arsitektur di Indonesia.

Tak hanya Gedung Merdeka, gaya-gaya klasik romantik dengan nuansa art deco yang kental dapat terlihat di beberapa bangunan yang berada di sepanjang Jalan Asia Afrika ini. Dimulai dengan Gedung Pos dan Giro, Bank Mandiri, gedung Jiwasraya, Bale Sumur Bandung (kantor PLN), gedung Kimia Farma yang berada di pertemuan Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga, Hotel Savoy Homann, kantor Pikiran Rakyat dan Hotel Preanger.

Gedung-gedung ini dibangun oleh arsitektur-arsitektur Belanda yang mengambil konsep arsitektur Eropa pada masa itu yang menyuguhkan romantisme Eropa di kota Bandung.

Tapi entah apakah keberadaan bangunan-bangunan ini memiliki nilai yang penting bagi masyarakat Bandung termasuk pemegang otioritas pemerintahan. Mungkin ya untuk sebagian orang tapi bisa pula tidak bagi yang lainnya. Tak peduli, apatis, bahkan tak tahu menahu.

Ketika keapatisan yang terjadi, sejarah menjadi bias. Hanya sebagai simbol kemegahan masa lalu, hanya sebagai kenang-kenangan dalam album denyut kehidupan Kota Bandung, tanpa menyentuh sesuatu yang esensial, makna dari sejarah itu sendiri. Entah.(ema/ern)

0 komentar:

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons