Jajan Lukisan Yuk!


Bandung - Aset wisata Kota Bandung bukan melulu kulinernya, tak selalu koleks-koleksi busana dari FO maupun distro, atau sejumlah tempat hang out yang berbinar dalam keremangan malam, tapi banyak celah lain yang bisa memberikan sesuatu.

Di antara bangunan-bangunan bersejarah di Jalan Braga, baik yang masih gagah atau dengan cat terkelupas, deretan lukisan-lukisan dengan ragam aliran menghiasi jalan Braga.

Naturalisme, ekspresionisme, kubisme atau impresionisme karya goresan tangan para seniman bercampur baur. Tak hanya di trotoar, beberapa galeri lukisan yang berada di sepanjang Jalan Braga menawarkan hal yang sama.

Seperti halnya di Jalu Braga, galeri yang dibuka setahun lalu oleh Dada Rosada ini menampung karya dari puluhan pelukis. Jalu berarti jajanan lukisan. Berada di dekat persimpangan Jalan Braga dan Jalan Naripan, Jalu Braga menjadi tempat jajanan yang tak layak untuk dimakan.

Menurut salah seorang pengelola Jalu Braga, Agus Arifin, para pelukis bergabung bersama untuk membuat galeri ini. Tempat ini menampung ragam lukisan dari pelukis-pelukis yang sebelumnya menjual lukisannya di trotoar jalan Braga.

"Kami punya keinginan membuat galeri sendiri-sendiri tapi karena belum kesampaian akhirnya bersama-sama membuat galeri," jelas Agus yang menjadi pelukis sekaligus penjual lukisan si Jalan Braga sejak tahun 1999.

Menurut Agus, tak hanya pelukis dari Bandung tapi ada juga karya dari pelukis-pelukis luar misalnya dari Bali, Lampung, dan daerah lainnya. Sederetan nama pelukis-pelukis ternama pun menyimpan lukisannya di galeri ini. Misalnya Basuki Bawono dengan karya realismenya, Asep Wawan, juga Suherman.

Harga satu lukisan bervariasi tergantung hasil negosiasi antara konsumen dan pengelola. Bisa dikisaran seratus ribuan hingga menginjak angka jutaan.

"Semua dikembalikan kepada konsumen. Seni tidak ada standarnya. Faktor seni adalah kepuasan," jelas Agus. Apapun yang berbentuk karya seni, konsumen lah yang akhirnya membedakan.

Di Jalu Braga tidak ada pemilahan-pemilahan antara seniman amatir dan kawakan karena menurut Agus nilai seni merupakan pemberian Tuhan yang riil. Sedangkan realisme dari seni itu sendiri tergantung dari pelaku seninya.

Kesulitan dalam mencari pasar termasuk hambatan yang dialami. Namun pihak Jalu Braga bekerjasama dengan travel atau sopir taksi untuk mendatangkan konsumen ke tempat ini. Sampai saat ini konsumen tidak bisa dikatakan ramai, tidak juga disebut sepi. Jika diprosentasekan, konsumen lokal sekitar 60 persen sedangkan wisatawan asing bisa 40 persen.

"Kami bukan jualan kacang goreng. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah nilai silaturahmi," tutur Agus.

Memang bukan kacang goreng, tapi nilai estetika yang dicari. Dan estetika adalah subjektifitas yang bisa ditempatkan di frame yang berbeda. Jika anda memiliki bingkai seni sendiri, mungkin saja di Jalu Braga atau di sepanjang Jalan Braga isinya bisa dicari.(ema/ern)

0 komentar:

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons