Sabtu, 1 November 2008 | 06:06 WIB
Di tengah gejolak nilai tukar rupiah saat ini, pengusaha industri kaus di Bandung, Jawa Barat, tetap bertahan. Mereka kreatif memanfaatkan euforia pilkada dan pemilu. Ada pula yang jeli bermain di ceruk pasar atau niche market.
Para pekerja di Planet Kaos di Jalan Surapati, bilangan Suci, Bandung, Rabu (29/10), sibuk bekerja. Dadi (30) dan Yadi (45) sejak pagi menjahit kaus berwarna merah dan kuning. Ian (28) memotong-motong kain berwarna hijau. Itu bukan warna pelangi, tetapi warna kaus pesanan partai politik. Menjelang pemilihan anggota legislatif, pengusaha kaus di Bandung kebanjiran order.
Persoalan ekonomi yang tengah melanda dunia seakan tidak lewat Kota Bandung. Setidaknya, sampai hari ini pekerja di Planet Production itu tetap sibuk berproduksi. ”Selama masih banyak yang pesen kaus, saya tetap saja kerja,” kata Dadi.
Ade Sutarsih (53), yang membuka gerai di samping Planet Production, sibuk mencatat dan menata bahan kaus pesanan pelanggan. ”Ini kaus pesanan dari toko-toko. Saya hanya memotong-motong terus nanti dijahit keponakan saya,” ujar pemilik gerai kaus Muararajeun Sport.
Ade bekerja dibantu keponakannya, Dewi Nurjanah, yang bersama empat pekerjanya mendapat bagian menjahit dan mencetak kaus. Seminggu terakhir, Ade sebenarnya ketar-ketir juga karena nilai rupiah terus melemah. Sekarang harga bahan baku kaus dari Rp 51.000 per kilogram menjadi Rp 54.000 per kilogram. Namun, kekhawatiran itu tak sebesar ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997. Saat itu usaha Ade, yang mempekerjakan 30 orang, ambruk.
Kali ini Ade mencoba strategi baru agar usahanya tetap bertahan meskipun modal minim dan kondisi rupiah masih tak menentu. Ade hanya menerima pembuatan kaus dari pelanggan yang mau membawa bahan baku sendiri. Ini untuk memperkecil modal. Muararajeun Sport tinggal memotong, menjahit, dan mencetak sesuai pesanan. Pola ini tentu tidak mudah karena pelanggan belum terbiasa.
Namun, pelanggan setia Ade tertarik dengan cara ini karena biayanya lebih murah daripada membeli jadi. ”Sekarang tak kurang dari 30 toko dan distro (distribution outlet) langganan ke saya,” kata Ade yang enggan menyebutkan omzet. Kiat lainnya adalah dengan mengambil keuntungan moderat. Meskipun untuk sepotong kaus hanya untung Rp 200, Ade tetap berani mengerjakan pesanan. Ini semata-mata untuk membangun kepercayaan pelanggan.
Lain lagi kiat Lutfi (29), pemilik Kubiq Shop. Ia menerima pesanan semua jenis kaus asal pelanggan bersedia membayar uang muka di atas 60 persen. Besaran ini cukup untuk membeli bahan baku. Untuk benang jahit dan kebutuhan percetakan ia mengambil dari modal usaha.
Lutfi meminta uang muka minimal 60 persen untuk menutupi modal yang cekak sekaligus demi keamanan usaha. Sebab, tak jarang pelanggan enggan membayar kekurangan biaya. Kini usaha Lutfi relatif maju. Keuntungannya mencapai Rp 15 juta per bulan. Dia juga mendapat pesanan dari berbagai kota, termasuk dari luar Jawa. ”Sekarang saya sedang mengerjakan pesanan dari Bangka Belitung. Lumayan, nilainya puluhan juta rupiah,” ujarnya.
Pemilik industri kaus Planet Production, Wawan Gunawan (52), mengaku hampir setiap hari ditelepon pabrik penstok kain bahan baku kaus. Mereka meminta Wawan jangan mudah mengeluarkan barang karena bahan baku kemungkinan akan sulit didapat dalam sepekan ke depan.
Wawan menduga, pabrik itu tetap memproduksi, tetapi menimbun barang menunggu harga naik. Ini tentu saja merugikan pengusaha kaus. ”Kenaikan bahan baku kaus memang sangat terasa bagi pengusaha besar,” kata Wawan yang omzetnya mencapai Rp 1,5 miliar per bulan.
Meskipun saat ini banyak partai politik dan politisi memesan kaus kampanye hingga jutaan potong, Wawan hanya menerima pesanan kaus dalam jumlah ratusan ribu. Ia menangguhkan pesanan berjumlah satu juta potong ke atas. Alasannya, harga bahan baku belum menentu. ”Kalau sudah telanjur sepakat harga, kemudian harga bahan baku naik, saya bisa rugi banyak,” ujarnya.
Wawan kini lebih waspada. Menjelang Pemilu 2004, dia mendapatkan pesanan kaus dari salah satu calon presiden dan wakil presiden sebanyak 1 juta kaus senilai Rp 5 miliar. Untuk memenuhinya, dia meminjam modal bahan kaus dari beberapa pengusaha. Begitu kaus selesai dikerjakan, hanya sebagian yang diambil pemesan. Sisanya ditinggalkan di tempat Wawan. ”Mau saya simpan di mana barang sebanyak itu. Akhirnya, saya kirim saja ke rumah pemesan,” ujarnya.
”Kunci menjalankan usaha ini adalah bisa dipercaya konsumen, tepat waktu, menjaga kualitas, dan cermat menghitung. Kalau ini tidak bisa dijalankan, pengusaha sendiri yang rugi,” kata Wawan.
Pengusaha kaus berlabel C-59, Marius Widyarto Wiwied (52), merasakan betul dampak dampak krisis moneter 1997. Saat itu dia mempekerjakan 1.500 orang yang kemudian menganggur. ”Tapi saya tak mau memecat mereka,” ujarnya.
Sebagai jalan keluar, Wiwied tidak hanya membuat kaus khusus C-59. Dia menerima order cetak, jahit, atau sekadar obras kaus. Yang penting, karyawannya tetap bekerja.
Untuk menekan biaya produksi, Wiwied meminta pekerjanya bekerja di rumah masing- masing agar biaya listrik lebih murah karena dihitung sebagai listrik rumah tangga, bukan industri. Pekerjanya yang sejak awal dididik menjadi wirausaha ini tak kesulitan. Belakangan, mereka bahkan mampu mandiri dan menjadi rekanan bisnis C-59. Sekitar 800 pemilik usaha kaus di bilangan Suci adalah bekas karyawan Wiwied. Selain itu, tak kurang dari 100 rumah tangga di Kampung Cigadung menjadi industri rumahan membantu C-59.
Kini C-59 bertahan dengan 300 karyawan resmi dan ratusan rekanan. Omzet mencapai 50.000 lembar kaus per bulan. Selain memasok ke berbagai daerah di penjuru Tanah Air, C-59 juga membuka jaringan di Jepang dan Malaysia. ”Saya juga sedang melirik Dubai dan Tunisia,” kata Wiwied.
Ia juga bermain di niche market, misalnya dia tertarik untuk mengangkat tema suku Asmat dengan sasaran pasar ekspatriat yang bekerja di PT Freeport, Papua, atau tema orangutan untuk para bule yang peduli lingkungan. Isu aktual, seperti korupsi, batik, dan wayang, juga dia transformasikan ke dalam desain kaus. ”Intinya, kreativitas jangan pernah mati dan kita harus jeli melihat pasar,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar