Minggu, 21 September 2008 | 05:25 WIB
Laporan Wartawan Kompas, Ninuk Mardiana Pambudy & Budi Suwarna
RABU (17/9) siang itu terasa terik. Pendingin ruang di dalam Bloop, distro di kawasan Tebet Utara, Jakarta Selatan, tidak banyak menolong. Toko berukuran sekitar 200 meter persegi itu penuh dengan pengunjung berbagai umur meski didominasi remaja berseragam putih-abu-abu.
”Saya langganan Bloop sejak kelas 2 SMA. Desain kaosnya bagus-bagus, enggak ada di tempat lain,” kata Iren (21), mahasiswi semester 5 Jurusan Perbankan Yayasan Administrasi Indonesia (YAI).
Iren tetap rajin datang ke sana sebulan sekali atau dua kali karena merasa distro itu ”gue banget”. ”Harganya juga cocok dengan barangnya,” tambah Iren.
Di dalam distro—singkatan dari distribution outlet—penampilan penjaganya tak beda dengan pengunjung, memakai jins dan kaos dan yang laki-laki juga memanjangkan rambut dan diatur acak.
Dengan lantai semen aci, T-shirt tergantung di setiap sudut, ada topi, tas, hingga sepatu perempuan bergaya gladiator, dan mayoritas pengunjung remaja yang datang berombongan, segera terasa distro memang punya ciri independen.
Ada merek yang mengkhususkan diri pada desain dengan warna hitam dan gaya gotik, ada yang mengambil figur babi dalam berbagai bentuk, ada juga yang mengambil bentuk tokoh kartun.
Identitas dan keterbatasan
Distro menjadi muara dari kreativitas anak muda dalam produksi pakaian yang mereka sebut clothing. Yang membedakan dengan ritel biasa, distro dan industri clothing menghidupi dan hidup dari komunitas seperti komunitas band indie dan skateboard.
Distro Hey Folks di Jalan Bumi, Jakarta Selatan, misalnya, didirikan tahun 2006 oleh enam anggota band indie Ballads of the Cliché untuk memanfaatkan rumah kontrakan tempat mereka nongkrong. ”Kalau hanya untuk nongkrong sayang juga. Akhirnya, kami bikin distro,” papar Frederick Rheinhard alias Erick (26), Rabu (17/9) dini hari.
Hey Folks menjual kaos grup band indie, pin, majalah, kaset bekas, piringan hitam bekas, tas, hingga topi. Sebagian dibuat sendiri oleh Hey Folks dengan mengusung Ballads of the Cliché sebagai ciri khas. Yang lain titipan produk grup band indie lain. Dengan cara ini, Hey Folks membangun komunitas yang menjadi pengunjung setia distro itu.
”Awalnya karena kebutuhan membangun identitas, tetapi dalam situasi serba terbatas. Maka, lahirlah industri clothing dan distro,” kata Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) Tubagus Fiki Chikara Satari (32).
Menurut Fiki, distro sudah ada sejak tahun 1993-1994, tetapi berkembang penuh tahun 1998. Perkembangan itu tidak lepas dari krisis keuangan Indonesia yang menyebabkan remaja dan anak muda tidak mampu lagi membeli barang impor sebagai penanda identitas.
Mulailah satu-dua orang mencoba membuat sendiri perlengkapan komunitas mereka, mulai dari kaos, tas, topi, sepatu, bahkan papan skateboard. Modal mereka mulai dari beberapa ratus ribu rupiah, bahkan ada yang hanya Rp 300.000.
”Ternyata, teman-teman di kelompok mereka tertarik dan mau membeli. Jadi, awalnya sama sekali bukan bisnis, melainkan benar-benar untuk identitas diri,” jelas Fiki.
Kata independen menunjukkan mereka memang tidak berafiliasi dengan industri ritel dan bisnis garmen besar. Ini lagi-lagi berangkat dari keterbatasan, yaitu modal untuk memasok ke ritel besar. Sementara bila memasok ke distro, kuantitas tak perlu besar.
”Boleh empat potong sampai selusin. Dengan produksi kecil itu sebetulnya produk juga jadi eksklusif,” kata Theresia Alit Widyasari, bungsu dari tiga bersaudara pemilik distro Bloop dan Endorse. Di situ pula keunggulan industri clothing karena mereka memproduksi berbagai desain dalam kuantitas kecil sehingga terjaga eksklusivitas produk mereka.
Distro tidak bisa lepas dari komunitas sehingga distro harus rajin membuat paket promosi yang berhubungan dengan komunitas, antara lain mensponsori pertunjukan band indie, membuat lomba skateboard, sampai membuat majalah promosi.
Fiki memiliki bus yang berkeliling ke berbagai kota di Jawa Barat. Selain menawarkan produk, bus itu juga berfungsi sebagai sarana membangun komunitas dan menularkan pengetahuan kepada distro di kota-kota luar Bandung.
”Bus itu dilengkapi sound system 4.000 watt. Bisa bikin pertunjukan band indie. Juga ada layar televisi plasma di belakang bus,” jelas Fiki yang memiliki merek Airplane.
Berbeda
Distro dan industri clothing kini sudah menjadi industri besar meskipun pelakunya banyak yang berskala kecil atau amat kecil. Menurut Fiki, setidaknya terdapat 400 industri clothing dan distro di Bandung dengan omzet Rp 25 miliar per bulan. Distro pun sudah menyebar di 94 kota di Indonesia.
Mode indie di Indonesia memiliki beberapa kemiripan dengan apa yang terjadi di Barat atau di Jepang. Komunitas anak muda yang merasa tak terwakili identitasnya oleh mode utama dan jaringan ritel besar mencari jawaban dengan modenya sendiri.
Di Tokyo lahir gaya Harajuku yang terbagi menjadi belasan subgaya. Di Barat lahir beatnik pada tahun 1950-an, hippie pada 1960-an, dan punk pada 1980-an dengan subgaya seperti skinhead, hardrock, dan heavymetal.
Gaya hippie mencirikan diri mereka dengan baju motif berbunga, baju dengan jurai di bagian tepi, dan rambut panjang, sementara punk menegaskan identitas mereka melalui rantai, jins koyak, serta rambut berdiri dan dicat pucat.
Mereka sengaja menjaga jarak dan membedakan diri dari kelompok budaya utama di masyarakat. Meskipun kelompok ini ada dari kelompok minoritas, tetapi di Barat motornya adalah anak muda kelas menengah (Fred Davies, 1994, Fashion, Culture, and Identity).
Meski begitu, pada pergantian abad ke-20, arus utama mode mulai mengadopsi berbagai gaya yang berasal dari pinggir, yang ”liyan”. Desainer muda yang muncul pada era itu, entah karena mengalami sendiri atau karena melihat, dan ingin muncul dengan ”gaya berbeda” lalu mengadopsi gaya berpakaian ekstrem itu, seperti Jean-Paul Gauliter dan Vivienne Westwood pada awal karier mereka. Kini, keduanya adalah desainer dan pengusaha mode besar di arus utama.
Sumber : Kompas Cetak
0 komentar:
Posting Komentar