Jati Diri Bandung dalam Kaus


Sabtu, 17 Januari 2009 | 08:01 WIB

MENARA Eiffel di Paris. Demikian obyek utama gambar desain yang tercantum di kaus itu. Namun, menara ini diletakkan pada posisi terbalik. Bagian pucuk justru ada di bawahnya. Terbalikkah kita membacanya?

Ternyata tidak. Desain pada salah satu kaus Mahanagari ini ternyata merupakan suatu bentuk satire atas kondisi Bandung. Di belakang kaus yang didesain Febrian, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung ini, memunculkan sebuah simbol tanda tanya besar dan huruf Bandung.

"Bandung yang dulu katanya indah, sampai dijuluki 'Paris van Java', sekarang ini kan sudah berubah," tutur Direktur Mahanagari Ben Wirawan (32), Jumat (16/1) di salah satu tokonya di Mal Cihampelas Walk sambil membalikkan ibu jarinya ke bawah untuk menjelaskan makna Menara Eiffel terbalik di kaus itu.

Jika desain di atas sarat kritik sosial, desain lainnya pun tidak kalah menggelitik. Sebuah kaus berdesain gambar mirip perut buncit. Lengkap pula dengan pusarnya. Di sebelahnya tertulis kata-kata: Kebanyakan jajan makanan di Bandung. Kemudian, salah satu desain yang lagi ngetop, tampilannya sekilas mirip kaus anak-anak hardcore, tetapi tertulis: Tempat Pemakaman Umum Cikutra Bandung.

Alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu menuturkan, konten-konten yang ditampilkan tradisional, kolonial, dan kontemporer. Meskipun sama-sama mengusung ikon kota dan ikut menonjolkan permainan kata di dalam desain kausnya, Ben Wirawan menolak disamakan dengan Dagadu (Yogyakarta) ataupun Joger di Bali yang lebih dulu muncul. Harga kaus yang disebut Bandung Pisan ini antara Rp 75.000 dan Rp 80.000.

Menurut Hanafi Salman (32), pendiri Mahanagari yang lainnya, kaus bisa menjadi media berkampanye. Dalam hal ini tentu bukanlah politik. Melainkan, kampanye budaya, pariwisata, dan keunggulan Kota Bandung. Berbeda dengan label clothing lainnya, Mahanagari pun ikut aktif ambil bagian, baik dalam kampanye-kampanye budaya, maupun soal lingkungan.

Desain bungkus (packaging-nya) pun unik, terbuat dari karton yang didesain ala folder file-file jinjing. Ada empat macam bungkusnya yang masing-masing mengangkat persoalan heritage, perlindungan habitat burung-burung, Gua Pawon, dan Bandung Utara. Packaging ini, ujar Ben, jadi bisa dibawa ke kampus-kampus atau kantor sehingga, secara tidak langsung, bisa menjadi media kampanye pula. Departemen Perindustrian pun menganugerahi penghargaan atas desain ini.

Edisi terbatas

"Beda lagi dengan Siloka. Label kaus yang satu ini memilih desain yang simpel yang penekanannya lebih pada font (huruf) Bandung. Font Bandung itu selalu kami buat lebih besar dari gambar lainnya karena Bandung inilah yang jadi identitas," ujar Firmansyah, Pemilik Siloka. Toko label ini bertempat di Jalan Laswi Nomor IA. Gedung Sate, Gedung Merdeka, dan Cepot adalah obyek-obyek desain yang dominan di kaus ini.

Namun, salah satu ciri khas Siloka, tiap-tiap desain itu tidak diproduksi lebih dari dua lusin (24 buah) kaus. Jika sudah habis, maka tidak dibuat lagi. Diakuinya, konsep ini adalah bawaan umum dari pola distro. Pembeli seolah-olah akan merasa memiliki barang terbatas limited atau eksklusif. Tiap buahnya, kaos ini dihargai Rp 50.000. Pembelinya, ucapnya, mayoritas turis luar negeri, khususnya Malaysia.*

0 komentar:

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons