Industri Tekstil Tertolong Pasar Asia dan Timur Tengah

Selasa, 31 Maret 2009 | 17:45 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Turunnya ekspor tekstil dan produk tekstil akibat krisis ekonomi global masih tertolong dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara di Asia seperti Cina dan Korea; serta Timur Tengah, semisal Suriah dan Uni Emirat Arab.

Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, ekspor tekstil dan produk tekstil diperkirakan turun 30 persen pada kuartal pertama tahun ini. Namun secara keseluruhan, angka ekspor tahun ini diperkirakan sama dengan angka ekspor tahun lalu, sekitar US$ 10 miliar atau sekitar Rp 115 triliun.

Beberapa pengusaha mengalihkan barang ekspor ke pasar domestik, namun pengalihan tersebut hanya bisa meningkatkan pangsa pasar 10 persen. Bila sebelumnya pangsa pasar 30 persen untuk domestik dan 70 persen untuk impor, maka tahun ini menjadi 40 persen untuk domestik dan 60 persen untuk impor. “Pasar domestik naik karena ada pergantian barang impor ke barang dalam negeri,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno di Jakarta, Selasa (31/3).

Tak dimungkiri, ini merupakan salah satu dampak dari pelaksanaan pengetatan impor produksi garmen yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 56 tahun 2008. Industri tekstil dalam negeri bisa meningkatkan penjualan antara 15 sampai 20 persen. Adanya kegiatan pemilihan umum juga mendongkrak pembelian seperti benang, bendera, dan kaos.

Agar industri tekstil dan produk tekstil tetap bisa bertahan di tengah krisis, menurut Benny, insentif yang dibutuhkan adalah peningkatan daya beli masyarakat domestik. “Industri dikasih insentif, tapi kalau tidak ada yang beli ya mati juga,” ucapnya.

Benny menambahkan, ada beberapa perusahaan yang melakukan ekspansi di tengah krisis. Ini potensial untuk menyerap tenaga kerja. Dia mencontohkan, South Pasific Viscose yang tahun ini menambah investasi sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,15 triliun untuk satu lini produksi dengan target produksi tahun depan.

PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang berlokasi di Solo, Jawa Tengah, juga memperluas pabrik dengan nilai investasi Rp 500 miliar melalui program restrukturisasi mesin tekstil. Investasi baru Sritex meliputi satu unit spinning dengan kapasitas 200 ribu mata pintal dan satu unit mesin garmen dengan kapasitas 1,7 juta potong per bulan.

Meski demikian, Benny mengakui jumlah tenaga kerja yang terserap melalui program restrukturisasi mesin tekstil tetap lebih kecil dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). “Masih banyak jumlah PHK-nya,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan utilisasi produksi tekstil nasional berpotensi naik 16 persen karena kebijakan Pengetatan Impor dan Program Penggunaan Produk Dalam Negeri. Peningkatan utilisasi itu diperkirakan akan bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 209 ribu orang.

NIEKE INDRIETTA

0 komentar:

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons