Diabolic untuk Pecinta Band Indie

Diabolic untuk Pecinta Band Indie
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Distro dengan konsep menjual produk band indie sepertinya bukan lagi hal baru dalam industri clothing. Tapi Diabolic mencoba eksistensinya dengan menjajal konsep tersebut dan berpegang pada prinsip dari komunitas untuk komunitas.

Berlatar belakang komunitas musik, Dicke Darajat Bhadroen (24) dan Ariandi Aulia (25), setahun yang lalu membuka distro yang ingin fokus pada komunitas musik dengan nama Diabolic.

Diabolic yang berarti kehancuran, menurut Dicke tidak dimaknai sebagai kata sebenarnya. Tapi Diabolic di sini berarti untuk menghancurkan pandangan sebelah mata masyarakat pada komunitas musik sebagai komunitas yang mandiri.

"Kita ingin ngehancurin anggapan masyarakat yang memandang sebelah mata pada komunitas musik," ujarnya.

Meski baru setahun Dicke dan Ari membangun Diabolic, industri clothing bukan barang baru buat mereka. Sebelumnya, masing-masing sudah punya brand sendiri.

Dicke dengan Nerve nya dan Ari dengan Soul Redemptionnya. Tapi saat itu mereka hanya jadi supplier-supplier ke beberapa distro.

Kini, Dicke dan Ari mencoba peruntungan dengan mendirikan distro sendiri. Konsep musik tetap jadi pijakan dengan tagline 'stuff and rock merchandise'.

"Untuk setahun ini kita ingin membangun brand image pada komunitas kalau mereka ingin mencari merchandise musik, di sinilah tempatnya. Pokoknya dari komunitas untuk komunitas," tutur Dicke saat ditemui di showroom Diabolic Jalan Buah Batu No 26.

Bukan hal yang sulit sepertinya bagi mereka untuk memperkenalkan nama Diabolic di kalangan komunitas. Meski baru meraba-raba pasar, tapi Dicke mengaku pelan-pelan brand image itu sudah terbangun. Setidaknya ada 70 brand yang tergabung di Diabolic.

Rata-rata adalah brand-brand baru yang usianya antara setahun-dua tahun. Dengan komposisi 70 persen brand dengan konsep musik dan 30 persen universal. "Kita konsepnya tetap musik tapi kita juga membuka untuk brand-brand umum," tutur mahasiswa Fikom Unisba ini.

Kalau datang ke Diabolic, telinga akan dimanjakan dengan musik menghentak. Hampir seluruh dinding ruangan ditempeli dengan artikel, leaflet, atau gambar-gambar musisi rock.

Item produk yang dijual tidak jauh dari t'shirt, sweater, jaket, sepatu, tas, topi, CD band dan lain-lain. Sampai akhir tahun, Diabolic meluncurkan sale up 60 persen. "Kita ingin memanjakan supplier," ungkap Dicke.(ema/avi)

Varc, Distro untuk Kelas Atas

Varc, Distro untuk Kelas Atas
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Penggemar distro notabene adalah anak muda. Tapi tidak begitu untuk Varc. Varc yang merupakan akronim dari pemiliknya Vaico, Aldo, Ryan dan Cuan Cuan, menargetkan pengunjung Varc untuk kelas menengah atas.

Varc, berada di kawasan factory outlet Jalan Martadinata, satu kawasan dengan FO Unusual. Hal inilah yang menjadi alasan pasar Varc berbeda dengan distro pada umumnya.

Pembelinya pun adalah orang-orang yang memang seringkali berbelanja di FO. "Karena kita berada di lingkungan FO jadi pasarnya bukan anak muda banget, tapi mahasiswa cenderung dewasa," tutur Anne Inggriani, shop keeper Varc.

Karena kelas yang dituju pun berbeda, Varc juga menyediakan produk-produk khusus yang kualitasnya lebih tinggi. Tapi tentunya tidak keluar dari konsep distro yang identik dengan kaos.

Bedanya, untuk produk kaos laki-laki atau disebut Varc King, dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas biasa dan premium. Perbedaannya terletak dari sisi bahan baku, gramasi dan tentunya berimbas pada harga. Kelas premium, ujar Anne, bahan bakunya bukan dari lokal. Teksturnya lebih lembut dengan gramasi yang lebih ringan.

Selain itu juga produksinya terbatas. Dalam sebulan bisa dua kali produksi dengan jumlah artikel sebanyak 13 dan per artikelnya 40 pieces.

Harganya pun tentu berbeda dengan kebanyakan distro yaitu Rp 135 ribu. Beda juga dengan kelas biasa yang harganya Rp 99 ribu. Sebaliknya dengan kelas premium, bahan baku kelas biasa berasal dari lokal dengan gramasi yang lebih berat.

Kelas premium juga dimiliki produk kemeja. Varc mengeluarkan produk kemeja tapi hanya empat model dengan dua warna hitam dan putih. "Kemejanya juga kemeja premium dan penjualannya cukup bagus," tuturnya.

Satu model kemeja hanya diproduksi 24 pieces dengan harga antara Rp 195 ribu sampai RP 200 ribu. Tapi biarpun mahal, menurut Anne, kelas premium ini banyak peminatnya. Bahkan bisa jadi lebih banyak dari kelas biasa. Kebanyakan pembeli adalah wisatawan dari Jakarta dan Malaysia.(ema/avi)

Hollywood Babes, Butik Online untuk Anak

Hollywood Babes, Butik Online untuk Anak
Avitia Nurmatari - detikBandung

Bandung - Sesuai namanya, Hollywood Babes (HB) memang terinspirasi dari baju anak-anak artis Hollywood. Pengelola mencoba membuat baju anak yang sedang ngetren di Hollywood tapi dibuat di Indonesia dengan bahan yang lebih bagus dan nyaman.

Menurut pemilik Hollywood Babes Boutique, Nita kiblat mode produknya ke baju-baju anak Eropa Klasik dan baju yang dipakai anak-anak artis Hollywood.

"Anak-anak artis ini banyak yang banyak pakai baju handmade smocking. Modelnya bagus-bagus dan harganya juga mahal," ujarnya saat berbincang di rumahnya dengan detikbandung, di Jalan Pajajaran, beberapa waktu lalu.

Nita mengaku karena itulah, produk baju anak buatannya fokus ke sulaman handmade jenis smocking. Menurutnya, selain tidak pasaran, sulaman smocking termasuk unik dan klasik karena sudah ada sejak jaman dulu.

Meski berkiblat ke Hollywood, namun harga yang ditawarkan, HB memang jauh lebih murah dibanding harga baju di Hollywood sana. Dengan produk yang penuh dengan detail di setiap modelnya, Nita tak mau mematok harga yang terlalu mahal.

"Harga di tokoku enggak terlalu mahal, mulai Rp 65 ribu sampai Rp 210 ribu. Untuk baju pakai smocking, insya allah murah," katanya.

Tak hanya menjual produk buatan sendiri, di online store nya Nita juga menjual beberapa produk lain. "Iya jualan produk orang juga, ada Hush Puppies sama
Fluffy, buat nambah ramai aja," terangnya.

Untuk menjaga keeksklusifitas produknya, Nita tidak memproduksi besar-besaran, satu model hanya diperbanyak kurang lebih 100 baju. Model baju dibuat per edisi, seperti majalah.

"Kecuali kalau banyak yang suka repeat order, itu bisa lebih. Tapi enggak banyak juga, biar ekslusif," katanya.

Meski terbilang baru merajut usahanya, namun beberapa produk Nita sudah go internasional, seperti ke beberapa negara di Asia yakni Malaysia dan Brunai.
"Terus beberapa ada yang dibawa hand carry juga ke beberapa negara lain," ungkapnya. Untuk melongok HB bisa klik di www.hollywoodbabesboutique.com
(avi/ern)

Disun, Kenalkan Iket Kepala Sunda untuk Kaum Muda

Disun, Kenalkan Iket Kepala Sunda untuk Kaum Muda
Avitia Nurmatari - detikBandung

Bandung - Dengan modal nekat, dua tahun lalu Agus Rohendi mewujudkan idenya membuat sebuah distro. Bukan distro biasa, tapi distro yang mengangkat budaya sunda, yaitu distro sunda atau Disun.

Hampir serupa dengan distro lain di Bandung, Distro Sunda yang dikenal dengan Disun ini juga menjual kaos-kaos. Namun tetap pada benang merah sunda. Disun mencoba mengenalkan iket kepala khas sunda kepada generasi muda.

"Sebetulnya generasi muda tidak melupakan kebudayaan sunda atau kebudayaan asalnya. Tapi bagaimaa kita mengajak mereka, untuk mengenal, untuk mau, tidak gengsi memakai iket kepala sunda," ujar Agus saat berbincang dengan detikbandung.

Iket kepala, kata Agus memang bukan hanya milik budaya sunda. Hampir semua budaya di Indonesia punya ikat kepala.

"Dalam kegiatan sehari-hari kita butuh alat atau benda untuk merapikan rambut. Ikat kepala salah satu yang bisa merapikan rambut. Ikat kepala ciri khas daerah," teragnya.

Di daerah Jawa Barat, khususnya masyarakat sunda, iket kepala tak hanya sebagai alat untuk merapikan rambut. Tapi bisa sebagai alat untuk menunjukkan identitas seseorang.

"Iket kepala biasanya dipakai pada upacara ada. Tidak hanya satu jenis, tapi beragam," jelas Agus.

Tak bermaksud mengurangi makna dari iket kepalanya, Agus membuat iket kepala yang lebih praktis. "Iket yang sudah ada saya bikin jadi semacam peci. Jadi praktis. Ada jahitannya. Mempermudah orang memakai, tanpa mengurangi maknanya," terang Agus.

Ada 3 macam iket kepala yang dijual Agus di Disun. Yakni Barangbang Semplak, Julat Jalitrong, dan Totopong. Dalam cerita sunda, Barangbang Semplak, biasanya dipakai saat jawara sedang bertempur.

Sementara Julat Jalitrong, iket kepala modifikasi baru dari seorang tokoh kesundaan yang tergabung di Komunitas Kala Sunda, yakni Ir Roza Mintaredja. Yang terakhir, iket jenis Totopong yang artinya tertutup.

Memang cara memakainya bagian atas kepala harus tertutup. "Untuk sementara biasanya orang-orang menyebut Bendo Cepot," paparnya.
(avi/ern)

Baju untuk King dan Quinn

Distro Varc
Baju untuk King dan Quinn
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Umumnya distro yang juga membuat produk untuk laki-laki dan perempuan, Varc juga melakukan hal yang sama, tapi memiliki penamaan yang berbeda. Untuk produk laki-laki disebut Varc King sedangkan perempuan dinamakan Varc Quinn.

Untuk produk Varc King lebih didominasi dengan t'shirt, tapi untuk Varc Quinn, konsepnya malah jauh dari kesan kasual tapi lebih ke feminin.

Anne Inggriani, shop keeper Varc mengatakan, konsep Varc Quinn memang lebih ke butik. "Produk-produk yang dijual lebih banyak dress dan blazer," tutur Anne.

Tapi meski begitu tidak menghilangkan produk kaos walau jumlahnya lebih sedikit. Produk pendukung seperti tas dan sepatu juga tak ketinggalan. Menurut Anne desainer dress adalah istri salah satu owner Varc, Vaico, Risa dengan kawannya Sasa.

Desain-desain dress yang banyak menampilkan unsur bunga tampak begitu girlie walaupun menurut Anne sasarannya bukan cuma buat anak muda.

Harga drees di Varc Quinn ada di kisaran Rp 80 ribu-Rp 205 ribu, sedangkan sepatu dari Rp 125 ribu-RP 165 ribu dan tas dari Rp 105 ribu-Rp 250 ribu.

Selain produk Varc King dan Varc Quinn, Varc juga menyediakan produk dari tenant yang lain. Label yang bisa ditemukan di sini antara lain Tosavica, Invictus dan Seba untuk produk sepatu.
(ema/avi)

Bangun Distro dengan Modal Nekat

Diabolic
Bangun Distro dengan Modal Nekat
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Harus menunggu sampai enam tahun, Dicke Darajat Bhadroen (24) dan Ariandi Aulia (25) untuk mendirikan distro Diabolic. Keterbatasan modal masih jadi kendala, meski pengalaman mereka di industri clothing tidaklah sebentar.

Dicke misalnya yang pernah bekerja di distro Harder enam tahun lalu. Berbekal gaji yang dikumpulkan setelah empat bulan bekerja sebesar Rp 1,5 juta, Dicke memutuskan untuk membuat brand sendiri dengan nama Nerve.

"Nerve sendiri konsepnya musik merchandise," tutur Dicke saat ditemui di showroom Diabolic Jalan Buah Batu No 26. Dari Rp 1,5 juta, Dicke membuat 50 pieces kaos yang kemudian didistribusikannya ke distro-distro, salah satunya Harder.

Makin lama, produksi Nerve kian bertambah hingga mencapai 300 pieces t'shirt per bulannya. Tapi bukan cuma t'shirt ada juga sweater dan jaket.

Di Bandung, Nerve didistribusikan di 9 distro antara lain God.inc, Mordor, Arena, Riotic dan lain-lain. Selain itu didistribusikan pula ke beberapa kota seperti Cianjur, Sukabumi, dan Jogya.

Sebagai brand dengan konsep musik merchandise, Dicke pun menggaet beberapa band indie untuk dibuatkan merchandisenya. Antara lain Beside dan Infamy. "Yang aktif sampai saat ini ada 7 band, kalau dulu sampai 15 band," tuturnya.

Setelah enam tahun hanya berperan sebagai supllier, Dicke pun membuka distro sendiri. Dengan Nerve dan Soul Redemption milik Ari yang tetap jadi brand utama. Dalam tempo setahun ini, mereka mencoba menggaungkan nama Diabolic dan brand mereka sendiri.

Ke depannya baru mereka akan kembali bergerilya mengajak band-band indie untuk kerjasama. Diakui Dicke, dia dan Ari mendirikan Diabolic dengan modal nekat.

Dalam usia Diabolic yang relatif masih muda, menurut Dicke untuk modal belum sepenuhnya kembali malah masih suka nombok. Tapi diprediksi ke depannya akan cukup menjanjikan.

Tidak bisa dipungkiri pula kalau industri ini sudah memberikan hasil yang lumayan untuk membiayai hidup sendiri, tanpa bergantung pada orang tua. Untuk Nerve saja, setiap bulannya Dicke bisa meraih omset Rp 2 juta dari tiap distro.
(ema/avi)

Yang Simple dari Invictus

Yang Simple dari Invictus
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Sebagai salah satu brand clothing, nama Invictus, tentunya sudah akrab di telinga. Tahun ini genap enam tahun brand yang berati 'Dalam kemenangan dan tidak terkalahkan' ini bertahan dalam pertarungan industri clothing, bahkan terus menanjak.

Didirikan tahun 2003, pemiliknya Dicky Sukmana mencoba mencari celah dengan membuat konsep clothing yang simple. "Konsep kita simple, desain kita simple, dan kalau orang pengen nyari desain yang simple, ya Invictus," tutur Magenta Paramitha, Humas dan Bagian Promosi Invictus saat ditemui di kantor Invictus Jalan Pager Gunung.

Menurut Magenta, sesuatu yang simple lebih enak dilihat dan memiliki kelas yang beda. Namun Invictus sendiri tidak memiliki spesial desain, tapi setiap tahunnya ada season-season yang berbeda yang biasa diluncurkan setiap jelang akhir tahun.

Bahkan, kesimplean itu lebih terasa dalam konsep serba polos yang diluncurkan Invictus tahun 2009 ini. Dimana mulai tahun 2009 Invictus mencoba beda dengan meluncurkan t'shirt polos, sweater polos dan lain-lain.

"Warna-warna polos itu akan terus long lasting, maka sampai kapanpun, Invictus tetap menyediakan," tutur perempuan berusia 29 tahun ini.

Tentu saja, reaksi pasar akan dilihat ketika ada desain baru yang muncul. Meski setiap tahunnya ada katalog yang menjadi pijakan rencana Invictus dalam jangka waktu satu tahun, kemungkinan ada perubahan-perubahan konsep bisa saja terjadi.

Tapi tentu saja, pasar tidak diikuti secara buta. Saat desain full print begitu populer, menurut Magenta, Invictus tidak ikut-ikutan mengikuti tren tersebut. "Kita bisa ikuti pasar tapi asal tidak keluar dari konsep kita yang simple," ujarnya.

Inovasi adalah kunci kami. Bukan hanya untuk konsep produk, tapi secara keseluruhan, ujar Magenta, setiap divisi dituntut memiliki gagasan-gagasan segar agar Invictus tetap bisa eksis di tengah persaingan clothing dan distro.
(ema/dip)

Tahun Depan Buka Official Store di Malaysia

Invictus
Tahun Depan Buka Official Store di Malaysia
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Harapan Invictus agar brand dalam negeri bisa sejajar dengan brand-brand luar negeri sepertinya terwujud. Apalagi, beberapa negara menyambut baik kehadiran Invictus di negeri mereka. Sehingga Invictus pun rencananya akan segera membuka official store di beberapa negara tetangga.

"Dulu saat Invictus berdiri, di Indonesia masih didominasi merek-merek branded yang harganya lumayan mahal. Kita berharap anak-anak muda bisa bangga menggunakan produk di dalam negeri," tutur Magenta Paramita, Humas dan Bagian Promosi Invictus saat ditemui di official Store Invictus Jalan Pager Gunung.

Tentunya keinginan itu sudah terwujud dengan tersebarnya produk Invictus di hampir seluruh kota besar di Indonesia, meski belum ada official storenya. Begitupun, di luar negeri, produk Invictus tersebar di Australia, Malaysia, Singapura, hingga Amerika.

Konsumen Singapura dan Malaysia cukup banyak yang berminat. "Kalau Amerika belum terlalu banyak," tutur Magenta. Keberadaan sub store di Singapura juga cukup membantu penjualan Invictus di negeri singa tersebut.

Rencananya, tahun depan Invictus akan membuka off store di negara tetangga yang terdekat, Malaysia.

"Kita buat yang dekat-dekat aja dulu," jelas Magenta. Namun sebelum merambah ke negara-negara lainnya, Magenta berharap bisa mendirikan off store di beberapa daerah di Indonesia.

Penjajakan untuk mendistribusikan ke luar negeri pun menurut Magenta tidak terlalu sulit. Pihaknya sudah mendapatkan partner yang mempermudah untuk arah pemasaran di luar negeri.

Selain itu, keberadaan online store juga cukup menolong untuk penjualan meski belum sebanyak lewat official store.

Dalam satu minggu, setidaknya ada 100 artikel yang dikeluarkan, dengan jumlah pieces yang berbeda di setiap itemnya. Untuk artikel-artikel baru, konsumen bisa mengunjungi official
store pusat di Jalan Pager Gunung.

Jika ingin melihat juga produk-produk lama, Jalan Trunojoyo adalah pilihannya, dengan harga yang hampir setara dengan clothing-clothing lain.(ema/dip)


Tidak Endorse Band Indie

Invictus
Tidak Endorse Band Indie
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Jika biasanya clothing-clothing lokal gencar mengendorse band-band indie, tidak begitu dengan Invictus. Brand clothing yang sudah berusia genap enam tahun ini malah bekerjasama dengan musisi-musisi major label.

Sebut saja grup band Nidji, Padi,Marcell, dan artis-artis lain. Diakui PR dan Promosi Invictus Magenta Paramita, tidak diendorsenya band indie karena Invictus memilih-milih musisi yang sesuai dengan konsep Invictus yang simple.

"Band-band indie kan kebanyakan musiknya keras dan enggak cocok dengan konsep kita," ujarnya. Meski ada beberapa band indie termasuk Mocca yang di endorse meski tidak sepenuhnya," tutur Magenta.

Selain promosi lewat band yang diendorse, Invictus juga menggelar promo lewat acara-acara seperti Kickfest atau midnight sale yang dilakukan setahun sekali. Sedangkan untuk acara-acara yang sifatnya reguler untuk mengumpulkan komunitas, tidak dijadwalkan secara rutin.

"Tapi pasti kita ngadain acara meski tidak dijadwalkan rutin. Tapi yang rutin kita lakukan setahun sekali adalah acara amal," tutup Magenta.
(ema/dip)

Kaos Anak yang Bisa 'Ngomong'

Lil' Opiie
Kaos Anak yang Bisa 'Ngomong'
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Bagaimana kalau anak bisa bermain dan belajar dengan kaos yang dipakainya, pasti seru ya? Itulah yang ingindijual oleh label clothing khusus anak Lil' Opiie.

Tidak hanya sekadar fashion, tapi desainnya mengandung unsur edukasi yang kreatif. ArsiMersia (36) yang akrab disapa Aci adalah pemilik ide tersebut.

Aci bukanlah orang baru dalam industri clothing. Sebelumnya Aci sudah mendirikan labelclothing Opium yang sasarannya adalah gadis remaja. "Karena saya menikah kemudian pindah ke Jakarta jadi Opiumnya terhenti. Saat ada kesempatan pindah ke Bandung, saya buat Lil' Opiie," tuturnya.

Nama Lil' Opiie terinspirasi dari suku kata pi dalam Opium, untuk mengingatkan pada 'kakaknya' Lil Opiie ini. Lil' Opiie bisa dibilang adiknya Opium, kepanjangan dari little Opium.

Pengalan Aci di bidang clothing, membuatnya tidak terlalu sulit menembus pasaran meski Lil' Opiie baru sekitar enam bulan. Konsep kreatif yang dituangkan Aci di Lil' Opiie jadi kunci utama.

"Ada baju anak yang bagus tapi mahal, ada yang murah tapi enggak seru juga, jadi saya pengen bikin sendiri," tutur ibu dari A.A Al Kareem ini.

Lulusan desain grafis ITB ini pun kemudian menumpahkan seluruh idenya untuk membuat produk anak dan bayi yang tidak biasa. Dengan mengambil dua ikon tokoh Opiee dan
Opik, Aci membuat kaos yang mengandung unsur interaktif,edukasi, bermain sekaligus memancing anak untuk berimajinasi.

Desain kaosnya sengaja dibuat dengan cara aplikasi untuk mempermudah penerapan ide kreatif. Selain itu, karena menggunakan tekhnik sablon digital, tidak bisa digunakan sembarangan kain.

Selama enam bulan terakhir ini sudah ada beberapa seri kaos Lil' Opiee yang diluncurkan. Untuk seri manner atau sopan santun misalnya, anak belajar untuk menghargai orang lain. Dalam salah satu desainnya, ada anak yang menubruk seseorang, lalu ketika dibuka aplikasi sablon lainnya, akan tertera kata 'maaf'.

Untuk seri emosional intelegence, anak bisa mengekspresikan emosinya lewat kaos. Ada gambar wajah yang bagian bibirnya bisa diganti dengan berbagai ekpresi, bisa sedih atau bahagia.

Nah, kalau yang seri puppets atau wayang lebih seru lagi. Dalam kaosnya diaplikasikan dua buah tokoh yang memungkinkan anak bisa memainkan dua tokoh tersebut seperti halnya seorang dalang. Cukup memasukan salah satu jarinya, anak pun sudah bisa bermain sendiri.

Permainan seru lain juga ada di seri topeng. Desain kaosnya diberikan aplikasi topeng yang bisa dicopot. Sehingga tentu saja, anak bisa seru-seruan bermain dengan topengnya.

Di samping bermain, anak juga belajar bersyukur dengan seri Thanks God. Seri ini mengingatkan anak akan pemberian Tuhan dan belajar bersyukur tentang itu.

Selain itu, ada seri lainnya seperti seri zodiak, seri alphabet, seri selamatkan binatang langka dan banyak lagi lainnya.

Tidak hanya kaos, Lil' Opiie juga menjual tas sekolah dan tas bermain. Dalam tas bermain ini akan ditemukan lembaran cerita di atas kain, buku dan empat tokoh yang bisa dimainkan. "Jadi kalau anak mau diajak keluar tinggal bawa aja paket tas ini," tutur Aci.

Buku pop up yang terbuat dari kain juga menjadi salah satu produk yang diincar. Dibekali dengan buku petunjuk, anak-anak diajak belajar dan berpetualang dengan bukuini. Misalnya untuk buku seri sekolah, yang terdiri dari berbagai ruangan. Seperti ruang belajar, kesenian dan ruang kesehatan. Di ruang-ruang ini diselipkan juga ajaran-ajaran tentang budaya di Indonesia.

Harga untuk kaos berkisar Rp 65 ribu, tas mainan Rp 55 ribu, buku Rp 99 ribu dan untuk paket ayah dan anak atau ibu dan anak plus tas kain harganya Rp 99 ribu.

Bagaimana, tertarik membelikannya untuk buah hati anda?

(ema/dip)

Bidik Pasar Lewat Dunia Maya

Lil' Opiie
Bidik Pasar Lewat Dunia Maya
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Respon masyarakat dengan kehadiran clothing anak Lil' Opiie, diakui pemilik Lil' Opiie, Arsi Marsia (36) atau Aci cukup baik. Konsep penjualannya memang tidak seeksklusif clothing. Lil' Opiee dipasarkan di beberapa toko dan factory outlet anak di Bandung. Selain itu, penjualan secara online juga menjadi andalan.

"Saat ini kita belum punya toko sendiri mungkin baru nanti," tutur Aci.

Menurut Aci untuk memasukan ke toko-toko sebelumnya agaksulit karena menurut mereka harga Lil' Opiie cukup mahal. Namun konsep yang dimiliki memudahkan Aci memasukan Lil' Opiie ke toko-toko tersebut. Di beberapa outlet, Lil' Opiie sudah disediakan tempat tersendiri.

Selain itu, pembeli juga bisa mengakses lewat www.littleopiie.com yang dikelola oleh suami Aci, Satria Setia. Untuk pembelian lewat online ada penawaran spesial dengan memberikan tambahan tas kain yang cocok untuk digunakan anak-anak menemani kesehariannya.

"Lewat online juga bisa dilakukan dari rumah," ujarnya.

Produksi Lil' Opiie sendiri menurut Aci, masih terbatas karena bisa dibilang termasuk kelas home industry. Dalam satu bulan Lil' Opiie hanya memproduksi antara 600 sampai seribu pieces.

Sebagai clothing baru, dikatakan Aci, hasilnya belum begitu terlihat. Tapi Opiee yakin kalau peluang Lil' Opiie akan lebih besar dari pada 'kakaknya', Opium.

"Dunia anak tidak memiliki tren yang harus terus dikejar seperti dunia remaja. Produknya pun akan terus universal dengan ide yang terus berkembang." tutur Aci

Bahkan, dalam prakteknya bukan hanya anak-anak yang menyukai produk Lil Opiie, karena teryata ABG juga berminat.

Melalui Aci, LIl' Opiie berkomitmen untuk membantu dunia pendidikan, dengan memberikan lima persen dari keuntungan untuk disumbangkan.

(ema/dip)

Ingin Go Internasional

Lil' Opiie
Ingin Go Internasional
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Teks yang digunakan Lil' Opiee untuk desain-desain busana anaknya menggunakan bahasa Inggris. Hal itu karena pendirinya, Arsi Mersia (36) yang akrab disapa Aci ini ingin produk-produk Lil' Opiie bisa go internasional.

"Saya milih bahasa Inggris agar nantinya produk Lil' Opiee bisa juga diterima di luar negeri bukan hanya di lokal," tutur Aci saat ditemui di kediamannya sekaligus tempat workshop Lil' Opiie Jalan Batik Jonas No 11.

Selain itu, dengan teks bahasa Inggris, anak-anak juga bisa belajar bahasa Inggris lewat kaos-kaos mereka.

Penjualan melalui website pun diyakini Aci bisa menjadi salah satu pintu menuju pasar internasional. Meski untuk saat ini jalan ke arah sana masih belum terlihat karena yang melalui jalur online baru teman-teman terdekat saja.

Ke depannya, Aci pun rencananya akan bekerjasama dengan sekolah-sekolah internasional yang notabene memang sudah familiar dengan bahasa Inggris. Bahkan Aci berharap bisa bekerjasama dengan penerbit untuk membuat buku top up tapi dalam versi kertas sehingga lebih fleksibel.

Tidak sampai di sana, ibu dari A.A Al Kareem ini memiliki cita-cita untuk membawa Lil' Opiie ke layar lebar. Untuk itu, Aci juga akan menggandeng penulis chicklit untuk bekerjasama membuat cerita. Aci berharap dua tokoh Lil' Opiie, Opiee dan Opik bisa jadi dua tokoh yang nantinya bisa jadi figur anak-anak di layar kaca.

Efeknya, secara tidak langsung produk-produk Lil' Opiee akan menjadi merchandise "Itu baru mimpi lho!' Ujar lulusan desain graphis ITB ini. Ya, kita doakan saja!
(ema/dip)

Yuk, ke Bandung Akhir Pekan Ini!


Yuk, ke Bandung Akhir Pekan Ini!
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Liburan panjang di depan mata. Bandung tentunya tetap menjadi tujuan wisata yang mengasyikan untuk dikunjungi. Berikut beberapa rekomendasi tempat yang bisa dituju untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga.

Clothing untuk anak Lil Opiie

Clothing yang satu ini jelas-jelas beda. Tidak hanya membuat anak lebih fashinable, tapi juga sisi edukatif. Memiliki beberapa seri kaos yang mengajak anak berinteraksi langsung, merangsang imajinasi dan kemampuan kognitif mereka. Ada seri alphabet, puppets atau wayang, topeng, emotional intelegence dan lain-lain.

Tidak hanya kaos, tersedia juga tas, mainan dari kain, buku top up yang edukatif dan produk perlengkapan bayi.

Mencari produk Lil Opiie tidak terlalu sulit. Datangs aja ke outlet-outlet anak di Bandung seperti Anak Kecil di Jalan Cilamaya, Rumah Anak di Jalan Pelajar Pejuang, Lavie di Jalan Imam Bonjol. Atau bisa intip dulu produk-produknya di www.littleopiie.com.

Food Dreamland

Festival kuliner yang digelar di IBCC Jalan Ahmad Yani ini wajib disambangi. Sebanyak 70 tenan kuliner di Bandung tumpah ruah untuk memuaskan keinginan para penggila kuliner. Jadi tidak perlu keliling Bandung untuk makan-makanan enak, cukup datang ke tempat ini.

Tentunya beberapa tenan ada yang sudah dikenal seperti Lomie Imam Bonjol, Es Oyen, Rumah Kepiting, Evieta Klappertart, Tahu Brintik, Sate Maranggi, Kedai Rais, Soto Ojolali, Ampera dan lain-lain. Untuk pendatang baru ada Sate Domba Afrika, Nasi Jambronk dan Nasi Bumbung, Nasi Goreng Echo, Ayam Kendil, dan lain-lain.

Festival ini berlangsung dari 10 Desember-27 Desember 2009. Serbu yuk!

Everything You Know About Art is Wrong!

Jangan cuma distro, FO atau kuliner yang kunjungi, coba sekali-kali datang ke galeri. Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pajar Timur menggelar pameran bertajuk 'Everything You Know About Art' yang baru dibuka kemarin, Kamis (17/12/2009).

Dalam pameran ini ada banyak kejutan yang tidak bisa ditemukan dalam pameran manapun. Menampilkan karya-karya dari alumni ITB.

Selepas menikmati pameran, anda bisa juga duduk santai di Kopi Selasar sambil bersantap sajian menu istimewa sari Selasar Sunaryo. Pemandangan Bandung Utara membuat suasana kian hangat dan membuat betah.
(ema/ema)

Wajah Baru 18th Park di Jalan Sumatera




Wajah Baru 18th Park di Jalan Sumatera
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Sebagai salah satu distro yang sudah berdiri tiga tahun lamanya, nama 18th (eighten) Park tentu tak asing lagi di kalangan wisatawan. Terutama untuk mereka yang kerap menyambangi Jalan RE Martadinata Bandung, tempat 18th Park dulu berdiri.

Ya, sejak Oktober lalu, bangunan 18th Park tidak lagi menghiasi Jalan Martadinata No 18. Dan setelah rehat sebentar, Sabtu (19/12/2009), kawasan distro ini melaunchingkan tempat barunya di Jalan Sumatera No 31.

Dimana sebelumnya, di lahan seluas 6.000 meter persegi ini, FO Bale anak berdiri. Selain karena waktu sewa bangunan sudah habis, menurut General Manager 18th Park, Hanny, kepindahan 18th Park karena ingin menyesuaikan dengan konsep baru 18th Park.

Konsep baru ini menuntut ruang yang lebih luas agar bisa mengakomodir segala fasilitas yang ingin dihadirkan untuk pengunjung. Tanpa melenceng dari konsep awal sebagai kawasan distro, di wajah barunya kali ini, Hanny menuturkan, ingin membagi porsi clothing 18th Park dengan tenan-tenan kuliner.

"Kita ingin konsepnya nanti antara clothing dan kuliner fifty fifty," ujar Hanny.

Konsep kuliner diperkuat karena pengalaman di 18th Park sebelumnya, respon masyarakat terhadap kuliner di kawasan tersebut sangat tinggi.

Bahkan, dua tenan kuliner yang memulai usahanya dari titik nol, kini sudah semakin besar dan kian populer.

"Dulu di kita ada The Risol dan Tulang Jambal. Sekarang The Risol sudah punya tempat sendiri dan Tulang Jambal juga sudah terkenal," ungkap Hanny mencontohkan.

Tetap Eksis dengan Skate Park


Tetap Eksis dengan Skate Park
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Salah satu ciri khas yang dimiliki 18th Park adalah keberadaan skate park. Tempat para skateboarder Bandung untuk nongkrong dan bermain skate. Nah, meski berpindah tempat dan memiliki konsep yang baru, 18th Park tidak menghilangkan ciri khasnya.

Sebuah skate park akan dibangun plus in line skate. Menurut Hanny, General Manager 18th Park, memang tidak hanya skate park tapi, 18th Park bekerjasama dengan komunitas in line skate di Bandung dan membuat juga tempat in line skate.

Meski identik dengan skate park, tapi dengan konsep 18th Park yang baru Hanny meyakini bisa merangkul komunitas lebih banyak lagi. Terlebih dengan fasilitas yang disediakan , ruang yang luas, tenan kuliner dan kenyamanan tempat untuk nongkrong. Khususnya untuk kaum muda.

Bahkan sebuah panggung disediakan bagi band-band yang ingin eksis, dengan syarat membawa massa yang banyak ke 18th Park.

Ke depannya, rencananya akan ada salon atau tenan lain untuk membuat pengunjung betah. Bagi Hanny, dengan konsep baru ini, 18th Park tidak akan kehilangan imagenya sebagai kawasan clothing tapi lebih memperkuat sebagai tempat berkumpul komunitas. Hanny percaya dengan berbagai fasilitas yang ada, akan lebih banyak lagi komunitas yang berkumpul.
(ema/dip)

Quickening, Si Cozy yang Cadas


Quickening, Si Cozy yang Cadas
Pradipta Nugrahanto - detikBandung

Bandung - Ketika kebanyakan distro berlomba-lomba hadir dengan toko yang luas dan megah, Quickening mencoba tampil beda. Mengusung konsep cozy yang hangat dan minimalis, membuat distro ini tampil unik.

Di ruangan 3x3 m yang sekelilingnya terbuat dari tembok kaca, terpajang rapi aneka pernik band luar negeri.

Sebutlah New Found Glory, Death Cab For Cutie, Comeback Kids, hingga band-band veteran seperti NOFX, Minor Threat dan Youth of Today.

Sementara itu di sisi lainnya, sebuah rak berisi ribuan rilisan band cadas luar negeri juga terpajang apik. Dari mulai CD hingga vinyl.

Kaca-kaca yang dipenuhi berbagai poster band juga menjadi ciri khas tersendiri distro ini. Menurut sang owner Yongki Perdana, konsep ini ditemukannya secara tidak sengaja.

"Tadinya saya cuman mau bikin distro dengan budget terbatas namun tetap mengena pada target marketnya. Namun setelah jadi dan berjalan, ini jadi ciri khas kami malah," tuturnya.

Karena ruangan yang tidak begitu luas itu, tak pelak pengunjung harus agak berdesakan ketika toko penuh. Namun ternyata hal itu tidak menyurutkan minat pecinta musik dari Bandung dan luar bandung untuk berburu di sini.

"Dengan begini malah suasana hardcore, punk dan indienya semakin kental. Ada kebersamaan juga di dalamnya," ujar Yongki.

Yang membuat distro ini semakin berbeda adalah di sini semua barang rata-rata hanya 1 item. "Si produsen di luar sana memang memproduksi merchandise sangat terbatas. Sudah begitu, distribusinya ke seluruh dunia. Jadi jangan khawatir jadi pasaran desainnya," imbuh Yongki.

Ke depan, Yongki berencana memperluas tokonya. "Kalau rencana perluasan tentu ada. Tapi bagaimana konsep barunya nanti masih kita matangkan dulu. Supaya tidak melenceng jauh dari yang sekarang," tuturnya.
(dip/ern)

Untuk Pecinta Hardcore, Punk dan Indie


Untuk Pecinta Hardcore, Punk dan Indie
Pradipta Nugrahanto - detikBandung

Bandung - Selama ini banyak pecinta musik aliran non mainstream luar negeri yang kerap bingung kemana harus mencari pernak-pernik band kesayangan mereka. Namun kini, Quickening sebuah distro yang mengkhususkan diri pada distribusi merchandise dan rilisan band hardcore, punk, dan indie, hadir seolah ingin memuaskan dahaga akan problem itu.

Berlokasi di Jalan Tamansari No 3 Bandung, Quickening tidak hanya sekedar mengklaim diri sebagai sebuah distro. Tapi mengembalikan konsep distro ke maksud awalnya sebagai distribution outlet.

"Sekarang banyak distro bertebaran yang jadi salah kaprah. Masukin clothing line A-Z dan jadilah 'distro'. Padahal kalau menurut saya
yang seperti itu sih fashion retail. Makanya kita sebagai distro hanya mendistribusikan merchandise dan rilisan. Dalam hal ini rilisan musik hardcore, punk dan indie," tutur owner Quickening Yongki Perdana.

Distro yang berdiri sejak tahun 2007 ini berawal dari hobi Yongki yang gemar mengkoleksi atribut-atribut band luar negeri.

"Tadinya saya sering membeli merchandise dan rilisan band luar. Karena sering beli jadinya dapat katalog. Nah teman-teman banyak yang tertarik. Jadilah Quickening di garasi rumah tahun 2005. Baru dua tahun kemudian pindah ke sini," imbuhnya.

Merchandise-merchandise yang disediakan Quickening di antaranya t-shirt, topi, tas, hingga sweater dan sepatu. Sedangkan untuk rilisan, Quickening menyediakan, vinyl, CD, dan DVD.

Hingga saat ini tak kurang dari lima ratusan merchandise band non mainstream luar negeri tersedia di Quickening. Belum termasuk rilisannya.

"Yang jelas barang-barang di kita original semua. Jadi kualitas dan kenyamanan saat digunakan tidak perlu dipertanyakan lagi. Begitu pula
dengan rilisan," lanjut Yongki.

Bagaimana soal harga? "Harga di sini berkisar Rp 150 ribuan hingga Rp 250 ribuan. Kalau merchandisenya benar-benar jarang dan eksklusif, harganya bisa sampai Rp 300 ribuan," ucap Yongki.

Meski harganya terbilang di atas rata-rata, Yongki merasa tidak takut distronya minim pembeli. "Harga segitu kalau kata generasi sekarang
sudah hampir sama dengan harga clothing lokal. Apalagi sekarang semakin banyak generasi muda yang ngeband. Mereka kalau manggung banyak yang pakai t-shirt band luar," tuturnya.(dip/ern)

Ramai Dikunjungi Kaum Hawa


Ramai Dikunjungi Kaum Hawa
Pradipta Nugrahanto - detikBandung

Bandung - Umumnya distro yang memfokuskan diri pada merchandise band terlebih band-band tensi tinggi lebih banyak diminati kaum adam. Tidak demikian halnya dengan Quickening. Di sini, kaum hawa pun tak segan untuk berbelanja dan memilih merchandise band kesayangannya.

"Kita memang sengaja menyediakan merchandise-merchandise band untuk cewek juga. Responnya ternyata enggak kalah dengan konsumen laki-laki," tutur owner Quickening Yongki Perdana.

Menurut Yongki, banyaknya wanita yang menggilai merchandise-merchandise band luar beraliran cadas seperti ini, bukanlah hal yang baru. "Mereka ada karena musik itu universal. Bebas dinikmati siapa saja, tanpa batasan laki-laki atau perempuan," ujar Yongki.

Ramainya pembeli wanita di distro yang buka setiap hari pukul 10.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB ini, bisa jadi karena Yongki menerapkan sistem online dalam penjualannya.

"Adanya sistem online juga mendorong orang untuk datang. Kalau tidak sempat atau malu ke toko langsung,
bisa melalui mail order," lanjut Yongki.

Selain menjual merchandise dan rilisan yang tersedia di toko, Quickening juga menerima pesanan untuk band-band yang merchandisenya tidak tersedia di sana.

"Kita ingin memberikan keleluasaan pada konsumen. Kalau tidak ada di sini bisa pesan. Jangkanya antara 1 hingga 2 bulan. Ukurannya juga bisa disesuaikan. Tapi kalau dari sananya tidak ada ya kita akan memberi tahu si konsumen," tutur Yongki.

Di musim liburan panjang seperti sekarang, Quickening kebanjiran pembeli. Tidak hanya dari Bandung, tapi juga Jakarta, Yogya hingga Surabaya.

"Kalau liburan agak panjang seperti kemarin jadi berkah buat kita juga. Soalnya yang beli semakin banyak," papar Yongki.
(dip/ern)

Ralij, Clothing Muslim untuk Anak Muda


Ralij, Clothing Muslim untuk Anak Muda
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Sebuah merek clothing dikenal konsumen antara lain karena identitasnya. Dari sekitar 1.300 clothing di Bandung pun memiliki karakter yang berbeda dari mulai musik, skateboard, lingkungan atau sekadar desain.

Tapi ada satu peluang yang mungkin tidak jeli dilihat para pengusaha clothing. Sebuah ide yang kini direalisasikan oleh Tubagus Fiki Chikara Satari, pemilik brand Airplane. Melihat mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim, Fiki menciptakan brand baru bernama Ralij yang berkarakter muslim.

Relight The Spirit of Our Religion, demikian kepanjangan dari Ralij. Brand yang menurut Fiki baru diluncurkan bertepatan dengan Ramadhan tahun 2009 lalu.

"Clothing itu terkait karakter, sementara identitas menunjukkan lifestyle dan belum ada yang mengambil peluang karakter muslim," ujar Fiki saat ditemui di Space Shop Jalan Aceh.

Saat ini, papar Fiki, pakaian muslim tersebar di mal-mal dan pusat kota, begitupun dengan butik. Namun untuk pakaian muslim yang ready to wear untuk anak muda masih langka. "Kita di tengah-tengah antara butik dan retail," ujar Fiki.

Konsepnya pun tentu masih dalam koridor clothing tapi menyesuaikan dengan karakter Ralij itu sendiri. Fiki mengistilahkan konsep Ralij itu adalah hijrah antara dua kultur yaitu muslim dan kontemporer.

Tetap ada syiar yang disampaikan namun tidak kaku. Bahkan bisa jadi kolaborasi dengan konsep musik atau punk. Namun dimaknai dengan filosofis yang enggak asal-asalan. Karena diakui Fiki untuk meluncurkan Ralij dilakukan penggodokan yang enggak sebentar.

"Kita juga punya editor khusus untuk Ralij ini," sambung Fiki. Mengingat konten yang disampaikan di Ralij bukan tulisan biasa, tapi di antaranya ada seri wise word yang mengutip hadits-hadits atau kata-kata bijak dalam Islam.

Namun tidak serta merta dikutip secara keseluruhan, kata-kata tersebut diambil intisarinya. Begitupun tidak dicantumkan ayat dan nama perawi hadist.

"Bajunya kan dipakai kemana aja, bisa ke WC, ke mal, jadi kita tetap menjaga itu," ujarnya.

Selain seri wise word, ada juga seri kota-kota Islam seperti 'I Love Mecca atau I Love Medina'. Sebagai penguat, produk yang diluncurkan tidak hanya seputar kaos, ada juga celana khas yaitu pangsi, sarung, peci, sajadah, bahkan ke depannya akan meluncurkan tasbih yang dikolaborasikan dengan musik punk. Kita tunggu saja!(ema/ern)

Ralij, Tetap Pede di Segala Suasana


Ralij, Tetap Pede di Segala Suasana
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Pemakaian baju muslim biasanya selalu diasosiasikan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan atau hari-hari besar. Namun dengan konsepnya, Ralij ingin mencairkan kekakuan tersebut dan membuat baju muslim bisa digunakan di manapun, khususnya oleh anak muda, tanpa rasa malu.

"Biar enggak malu jadi muslim," tutur Fiki saat ditemui di Space Shop, Jalan Aceh. Sebab produk-produk Ralij keluar dari pakem fashion baju muslim pada umumnya. Semisal untuk sarung, Ralij mengeluarkan produk sarung polos yang diberikan sentuhan desain yang kontemporer dengan sentuhan Islami.

Selain itu juga produk peci tidak hanya terpaku pada peci yang sudah ada. Ralij membuat dari bahan-bahan yang lebih umum semisal denim atau kain kotak-kotak.

"Sehingga bisa dipakai kemanapun, bahkan ke mal, tapi bentuknya seperti peci," ujar mantan Ketua KICK ini.

Selain itu, lanjut Fiki, celana pangsi yang dikeluarkan Ralij juga bernilai budaya. Kini, pemakaiannya juga diakui Fiki sudah mengundang perhatian banyak pihak. Meskipun diakui FIki kebanyakan produk Ralij masih didominasi laki-laki, sebab dia masih belum menemukan formula yang tepat untuk busana muslimah.

Pemasaran Ralij belum dilakukan secara besar-besaran karena masih tahap perkenalan. Konsumen yang jadi sasaran pun memiliki sedikit pergeseran dibandingkan brand yang sebelumnya dibangun yaitu Airplane.

Khusus untuk Ralij, Fiki coba meraih komunitas-komunitas masjid seperti DKM-DKM atau anggota Rohis. "Kita sudah memiliki data DKM-DKM dan akan masuk ke sana," tutur Fiki.

Meski kini belum meluas, Fiki meyakini dalam tempo satu tahun, Ralij akan memiliki pasarnya sendiri. Ralij, tambah Fiki, bukan sekadar transaksi bisnis tapi juga menjembatani nilai-nilai Islam.

Dengan mendekati komunitas-komunitas Islam diharapkan akan ada loyalitas yang terbangun.

Untuk harga masih di kisaran menengah ke atas. Misalnya untuk t'shirt harganya Rp 85 ribu, sarung Rp 120 ribu, peci Rp 45 ribu, dan celana pangsi Rp 170 ribu.

Produk Ralij bisa ditemui di Spaceshop Airplane, Jalan Aceh dan Rockhouse, Jalan Dewi Sartika. Dalam waktu dekat, sambung Fiki, pihaknya akan bekerjasama dengan pengusaha Turki yang tertarik dengan konsep Ralij.

(ema/ern)

Sejarah Clothing dan Distro

Sejarah Clothing dan Distro
Sumber: FlashOver

Siapa sangka, dari sebuah skatepark kecil di salah satu sudut Taman Lalu Lintas Bandung (Taman Ade Irma Suyani), di awal tahun 1990-an, menjadi tempat bersejarah yang melatar belakangi perkembangan fashion anak muda Bandung dalam satu dekade terakhir ini. Skateboard kemudian menjadi benang merah yang menjadi ciri dan eksplorasi fashion dan lifestyle yang dielaborasi oleh para pelakunya dan membentuk gaya anak muda Bandung hingga saat ini.
Pertemuan di Taman Lalu Lintas membuat Didit atau dikenal dengan nama Dxxxt, Helvi dan Richard Mutter (mantan drumer Pas Band), kemudian bersepakat mengelola sebuah ruang bersama di Jalan Sukasenang Bandung. Ruang ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal yang munculnya bisnis clothing lokal untuk anak muda di Bandung. “Cari nama dit, si helvi bilang gitu..waktu itu lagi ngomong-ngomong soal Cihampelas,” Dxxxt mengawali ceritanya ketika saya bertanya darimana nama Reverse berasal. “Kenapa ya, si Cihampelas itu ngga bikin produk-produk dengan merek-merek sendiri, kenapa mereka bikin mereknya reply lah, armani lah.. kenapa ga bikin sendiri, reverse misalnya.. trus Helvi bilang nama itu bagus. Ya udah akhirnya dipakai buat nama toko.” Tahun 1994, mereka membangun studio musik dan toko yang menjual CD, kaset poster, T-shirt, majalah, poster dan asesoris band yang diimport langsung dari luar negeri. Pilihan yang spesifik, membuat barang yang dijual di Reverse, tak bisa didapatkan di toko-toko lain di Bandung pada saat itu.
Reverse pada saat itu menjadi tempat berkumpulnya komunitas-komunitas dari scene yang berbeda. Punk, hardcore, pop, surf, bmx, skateboard, rock, grunge, semua bisa bertemu di tempat itu. PAS dan Puppen adalah beberapa band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse. Richard sendiri sempat membentuk record label independen 40.1.2.4 yang rilisan pertamanya berupa album kompilasi “Masaindahbangetsekalipisan”, pada tahun 1997. Band-band yang ikut dalam rilisan itu diantaranya Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room sebagai band satu-satunya dari Jakarta yang masuk dalam kompilasi ini.
Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, bisnis yang dijalani Reverse, mengalami masa sulit sampai akhirnya tutup. Mereka tak mampu lagi membeli barang-barang dari luar negeri kerena nilai dolar terhadap rupiah melambung tinggi dan tak terjangkau. Namun kondisi sulit ini justru melahirkan fase baru dalam perkembangan industri clothing Bandung. Helvi vetaran Reverse, kemudian membangun clothing label bernama Airplane yang memulai usahanya pada tahun 1997. Bukan hanya itu, bersama Dxxxt dan Marin, Helvi membangun record label bernama Fast Foward pada tahun 1999.
Airplane yang didirikannya bersama dua rekannya yang lain: Fiki dan Colay, resmi berdiri pada tanggal 8 Februari 1998. “Awalnya sih kita udah ngga mampu lagi beli barang-barang impor karena mahal dan krisis moneter. Waktu itu kita mikir, kita bikin apa ya? Soalnya kalau beli, ngga ada yang cocok, pengen kaos yang kaya gini ngga ada.. yang gitu ngga ada.. awalnya dari situ, ya udah kita bikin sendiri deh yang pasti dengan background masing-masing. Semua dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari yang kita senangi aja.. biasanya dari skateboard, trus kita juga main musik, trus itu mempengaruhi ke grafis desain clothing itu sendiri. Jadi emang akhirnya macam-macam.” Jelas Helvi ketika saya temui di kantor Airplane di jalan Titiran Bandung.
Transformasi Reverse sebagai clothing company, dimotori oleh Dxxxt pada bulan Februari 2004. Didukung oleh Marin, Wendi Suherman dan Indra Gatot sebagai mitra usahanya. Reverse kemudian menjelma menjadi label yang memfokuskan dirinya pada fashion untuk pria. Urban culture yang menjadi keseharian tim kreatifnya, menjadi inspirasi dalam desain produk-produk Reverse.
Sementara kegemaran skateboard, bmx dan surfing yang ditekuni Dandhy dan teman-temannya, justru memotivasi mereka untuk membuat produk-produk yang mendukung hobi yang mereka cintai. Bukan hal yang mudah untuk menemukan fashion penunjang kegiatan surfing di Bandung pada saat itu. Maka tahun 1996, dari rumah di dago 347 Bandung, mereka mulai memproduksi barang-barang yang menunjang hobi mereka untuk digunakan sendiri. Ternyata apa yang mereka pakai, menarik perhatian teman-teman mereka. Seperti halnya Airplane, dengan modal patungan seadanya mereka mulai memproduksi barang-barang yang mereka desain untuk kebutuhan hobi mereka itu, untuk dijual di kalangan teman-teman mereka sendiri dengan label ‘347 boardrider co.’ Toko pertamanya dibuka pada tahun 1999 dan diberi nama ‘347 Shophouse’ di Jalan Trunojoyo Bandung. Demikian pula Ouval yang muncul di tahun 1998. Awalnya juga dibentuk dengan semangat untuk mengelaborasi hobi skateboard para pendirinya.
Hobi dan semangat kolektivisme terasa sangat kuat mewarnai kemunculan clothing label dan clothing store pada masa itu. Masih di tahun 1996, Dadan Ketu bersama delapan orang temannya yang lain membentuk sebuah kolektif yang diberi nama Riotic. Kesamaan minat akan ideologi punk, menyatukan ia dan teman-temannya. Riotic menjadi label kolektif yang memproduksi sendiri rilisan musik-musik yang dimainkan oleh komunitas mereka, menerbitkan zines, dan membuka sebuah toko kecil yang menjadi distribusi outlet produk kolektif yang mereka hasilkan. Riotic juga dikenal konsisten dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan musik punk rock dan underground yang saat itu kerap diselenggarakan di Gelora Saparua Bandung.

Generasi Global

Saat saya menceritakan apa yang dilakukan anak-anak muda Bandung dengan industri clothingnya, pada teman saya, seorang penulis buku “Lubang Hitam Kebudayaan”_ sebuah buku yang mencermati perkembangan budaya massa di Indonesia sampai fase reformasi 1998_Hikmat Budiman, dia berkomentar “Anak Bandung itu jago menyerap desain ‘arsitektur’ global, dibanding dengan anak muda di kota lain. apa yang terjadi di tingkat global, bisa diterjemahkan dan disiasati oleh mereka dan dijadikan komoditas gaya hidup baru dan menjadi trend. Mereka mendefinisikan kembali coolness yang sesuai dengan konteks mereka. selain itu juga ada pasar yang menyerap komoditas baru itu.”
Jika dicermati lebih jauh, apa yang terjadi di bandung pada dekade 90an, memang tak bisa lepas dari kecenderungan global pada saat itu. Musik dan gaya hidup, sebagai dua hal yang tak terpisahkan, memberi pengaruh sangat besar dalam perkembangan fashion anak muda Bandung. Sejak generasi Aktuil di tahun 70’an, Bandung dikenal sangat adaptif pada perkembangan musik dunia. Ketika merunut aliran musik apa saja yang berkembang dalam dekade 90’an, kita bisa melihat bagaimana perkembangan musik itu mempengaruhi eksplorasi anak muda Bandung di bidang fashion. Grunge, yang dipengaruhi oleh punk, muncul di awal tahun 90’an. Sepatu Doc Martens, Converse high top sneaker dan kemeja flanel yang menjadi trend fashion sampai pertengahan tahun 90. Pada kenyataan flanel di gunakan para musisi beraliran grunge ini karena murah dan hangat. Saat grunge kemudian digantikan oleh musik alternatif di pertengahan 90’an dan Nu-Metal yang dimotori oleh Korn sampai menjelang akhir 1990, fashion ini masih terbawa. Hip hop yang banyak digemari para skateboarders dan mempengaruhi perkembangan musik R&B memberi warna lain pada dekade itu. Scene hardcore atau scenecore atau disebut juga emo dan gaya yang dibawa aliran musik pop punk yang dipengaruhi membawa trend fashion yang bersilangan diantara keduanya dan dipengaruhi oleh gelombang ketiga pop punk yang dipelopori oleh Green Day, Good Charlote, Simple Plan.
Extreme sport (diantaranya skateboarding dan surfing), mencapai popularitasnya di tahun 1995. ESPN sebagai saluran extreme sport dan hanya dapat ditonton melalui antena parabola, menjadi salah satu rujukan para skateboarder Bandung pada saat itu. Rujukan lain seperti majalah Thrasher, yang mencitrakan skateboarding sebagai olah raga yang didasari oleh semangat pemberontakan dan akrab dengan ideologi punk, sementara Transworld Skateboarding terasa lebih moderen, beragam dan menjaga citra para bintang skateboarding. Termasuk juga masuknya MTV ke Indonesia yang memperkenalkan lifestyle baru dengan jargon-jargonnya: ‘MTV beda’, ‘MTV Gue Banget’. Perbedaan menjadi komoditas yang dirayakan bersama-sama.
Ketika awal 90’an, fashion skateboarding dunia dipengaruhi oleh perkembangan street skateboarding yang sangat kental nuansa punk rocknya. Baggy dengan oversize denim dan t-shirt extra large menjadi trend pada saat itu. Sementara pertengahan sampai akhir tahun 1990an, trend fashion dalam dunia skateboarding berubah lebih ‘ramping’. Ukuran jeans dan T-shirt, menjadi lebih pas di badan. Bahkan beberapa skateboarder menggunakan jeans dan t-shirt ekstra ketat. Perubahan ini membuat gaya fashion dalam dunia skateboarding terbagi menjadi dua kategori: “punk” (ketat dan ngepas badan) dan “baggy” meski pada prakteknya pembagian itu menjadi sedikit lebih rumit. Celana shagging jeans atau baggy, sweater dari bahan katun atau poliester dengan pull over dan kantong kangguru di depannya atau disebut juga hoodie, baseball caps, dan sepatu vans. Gaya skate punk inilah yang kemudian banyak dieksplorasi dalam desain clothing anak-anak muda Bandung. Majalah katalog seperti Suave, yang terbit di Bandung dengan jelas memperlihatkan pengaruh itu. Pada akhir 90’an apa yang disebut “punk style clothing” menjadi tagline baru dalam perkembangan industri clothing global. Gaya punk kemudian menjadi sesuatu yang mainstream, mendunia dan menjadi mapan.
“Kita emang banyak dipengaruhi oleh musik yang kita sukai, dari label-label skateboard yang kita pakai dulunya, karena kita besarnya, growing upnya di situ. Karena musik ini kan sangat terkait dengan fashion,” Helvi yang juga creative director Airplane, mengakui hal itu.
Pendapat helvi diperkuat Arian tigabelas, mantan vokalis Puppen dan kini menjadi vokalis band Seringai “Ada fenomena yang menarik ceuk urang mah, dulu Bandung terkenal dengan band-band yang keren-keren tapi waktu berlalu dan rupanya band nggak terlalu menghasilkan/menghidupi, dan kini para pelaku band tersebut pindah ke clothing. Jadinya terus terang band Bandung yang punya nama ‘gede’ sekarang udah ngga signifikan. Tapi clothing jadi industri yang lebih jelas bisa menghidupi iya, karena main band ternyata tetap kere sementara realitanya musti punya modal hidup.”
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam dekade 90’an, menjadi faktor penting dalam proses yang disebut Hikmat Budiman sebagai penyerapan desain arsitektur global. Ketika tahun 1995 bisnis Internet Service Provider (ISP) mulai berkembang di Jakarta, menurut catatan Kompas, Bandung menjadi salah satu dari tiga kota pengguna jasa internet terbesar. Jika saat itu tercatat di ada sekitar 14 ribu pemakai internet di Indonesia, Bandung menjadi kota pengguna internet terbesar ketiga (1.000 pengguna), setelah Jakarta (10.000 pengguna) dan Surabaya (3.000 pengguna). Bagaimana kemudian perkembangan teknologi informasi ini diserap dalam waktu yang hampir bersamaan di Bandung. Belanja online yang dilakukan Reverse untuk memperoleh produk-produk import yang mereka jual kembali di Bandung. Juga yang dilakukan Anonim yang muncul tahun 1999, mengikuti jejak pendahulunya dengan menjual t-shirt import merchandise band yang dipesannya melalui internet.
Dalam perkembangannya, eksplorasi desain clothing anak-anak muda Bandung, banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang terasa lebih eklektik dan eksperimental. Majalah Trolley (alm 2001-2003), sempat menerbitkan suplemen khusus mengenai gaya street fashion Jepang ini dalam salah satu edisinya.
Pergeseran kiblat kreatif global dari Amerika ke Inggris/Eropa dalam tiga tahun terakhir ini, juga terasa pengaruhnya. Perubahannya sangat jelas terasa dalam scene musik. Street culture Inggris dan Eropa kemudian menjadi sumber rujukan baru dalam mengelaborasi desain produk-produk clothing kemudian. Tahun 2006 ini, Fast Foward record, telah dua kali mendatangkan grup musik dari Eropa untuk pentas di Bandung_King of Convinience (Norwegia) dan Edson (Swedia).
Ketika masa kekuasaan Orde Baru berakhir, kehidupan sosial politik Indonesia mengalami banyak perubahan di era reformasi. Warga Bandung memperlihatkan pola relasi yang baru dengan ruang-ruang publik yang ada di kota Bandung. Beragam aktivitas dan perayaan dilakukan di jalan. Jalanan seperti Dago, menjadi catwalk publik yang mengundang siapa pun yang datang untuk menampilkan gaya dandanan mereka. Individu kemudian mendapat ruang untuk mengekspresikan diri. Saat itu, banyak pertunjukan-pertunjukan musik yang kemudian disponsori oleh clothing company yang mulai memiliki kemampuan ekonomi.
Selain karena minat pada musik yang mereka sponsori, acara-acara seperti itu kemudian menjadi salah satu strategi bersama untuk mempromosikan merek produk-produk clothing yang mereka buat. Monik, Celtic dan Popcycle management, dikenal secara berkala menyelenggarakan konser La Viola bekerjasama dengan pusat Kebudayaan perancis (CCF) bandung. Marin, selain menjadi salah satu pemilik Monik, Celtic, Fast Foward, Reverse clothing Company, juga memiliki TRL bar di Jalan Braga. dari bar kecil itu pula, eksplorasi musik elektronik yang banyak mewarnai perkembangan musik global beberapa tahun terakhir ini, banyak dilakukan. Salah satu pilihannya adalah sekolah Drum n Bass yang dimotori oleh DJ xonad, jenis electronic dance music ini berkembang di Inggris pada dekade 90’an dan semakin dikenal pada awal tahun 2000 serta berkembang di beberapa negara Eropa dalam dua tahun terakhir ini.
“Karena Bandung kotanya kecil, jadi mau ngapa-ngapain gampang… lagian orang-orangnya kekeluargaan, cair banget, babaturanlah, semua dianggap sama,” Ujar Dede anonim, seperti saya kutip dari tulisan Gustaff H. Iskandar, ‘Fuck You! We’re from Bandung. Kondisi inil, masih menurut Gustaff, membawa berkah istimewa bagi perkembangan musik dan juga street fashion di Bandung. Dan mendorong pertumbuhan clothing store (distro) di Bandung.

Sejumlah Persoalan

Di masa boom clothing store 2003 lalu, Kompas pernah menulis: “Adapun untuk membuka sebuah distro, hanya dibutuhkan modal “nekat”. cukup menyediakan sebuah ruangan kecil, misalnya mengambil salah satu sudut rumah seperti garasi. Lalu barang-barangnya bisa digunakan sistem jual titip, dengan menerima titipan barang dari berbagai clothing company. Bila barang-barang titipan itu laku terjual, barulah disisihkan keuntungan untuk si distro (clothing store).”
Namun pada prosesnya tidak sesederhana itu. Modal nekat saja tidak cukup. Bagaimanapun bisnis yang dilatari oleh hobi dan kesenangan pun mengandung bermacam resiko. Benturan kepentingan yang mempertentangkan antara bisnis dan idealisme, menyeruak sebagai sebuah konsekuensi yang harus dihadapi dan disiasati.
“Saya bukan orang bisnis tadinya, akhirnya saya harus belajar bisnis, kasihan guanya gitu..” Seloroh Dandhy dalam sebuah Gathering Komunitas Kreatif di Bandung, bulan April lalu. “Gua ngerasa banyak hambatan dalam kreativitas karena banyak kepentok,” meski ucapan Dandy itu bernada main-main, namun pada prakteknya, keseriusan dalam mengelola bisnis ini memang menjadi proses adaptasi yang berat. Beberapa Clothing yang sudah cukup kuat seperti Airplane dan 347/eat, sengaja menyewa konsultan manajemen dan bisnis untuk memberi masukan dalam pengembangkan usaha mereka. Fiki manajer bisnis sekaligus salah satu pendiri Airplane mengaku, saran-saran bisnis dari konsultan profesional tidak seluruhnya bisa di terapkan. “Tetap aja, kita harus nemuin cara yang paling sesuai dan enak buat kita jalani. Ngga bisa sepenuhnya berdasarkan teori manajemen.” Hal serupa juga dirasakan Dandhy. Konsultan bisnis yang mengawasi kinerja dirinya dan teman-temannya, malah membuat mereka bekerja dalam suasana yang tidak nyaman. Akhirnya Dandhy memilih mengembalikan suasana kerja yang nyaman, meskipun itu berarti tanpa konsultan bisnis.
Fiki, menjelaskan, untuk membesarkan bisnis yang semula dibangun berdasarkan hobi, butuh kedisiplinan tinggi dalam mengelolanya. “Gua ngejalanin Airplane ini bener-bener disiplin. Kita muterin duit yang ada dan disiplin untuk ngejalanin itu. Dan ngga pernah ada suntikan dana lagi sejak dana awal. Airplane bediri udah sejak tahun 1997, tapi bener-bener ngejalanin bisnisnya sejak buka toko, tahun 2001. Sejak September 2001, waktu itu kita mulai dengan uang kurang dari 10 juta untuk sewa tempat dan kita udah punya omset yang lumayan, tapi kalau ada lebihnya kita simpen dan dipake untuk produksi lagi, nambahin modal. Karena kita punya sedikit pengetahuan tentang administrasi juga, makanya bisa tertib administrasi dan itu kerasa banget gunanya.”
Namun tidak semua clothing company memiliki kemampuan untuk membayar konsultan bisnis atau melakukan pembagian kerja yang jelas. Bagi clothing company yang muncul belakangan, idealisme dan keterbatasan modal menjadi tantangan yang harus disiasati lebih keras lagi. Karena secara bisnis, mereka harus berhadapan dengan clothing teman-temannya yang muncul dan mapan lebih dulu.
Dari segi pengembangan desain, tidak banyak juga yang melakukan riset dan pengembangan desain secara serius. Akibat dari boom clothing di tahun 2003, follower yang muncul belakangan, banyak yang asal jiplak desain-desain yang sudah ada. Karena untuk membangun sebuah karakter desain yang kuat dibutuhkan waktu dan proses yang lama. Menanggapi kekawatiran desainnya dijiplak, baik Helvi maupun Dandhy, justru tidak merasa kawatir. Bagi Helvi, kondisi seperti itu, malah membuat ia lebih fokus lagi menemukan karakter desain Airplane. Begitu pula Dandhy, jika imagenya sudah kuat, tak perlu kawatir dengan para peniru. Keseriusan dalam soal desain dan visual inilah yang kemudian membedakan dan menjadi ciri antara clothing satu dengan yang lain.
United we stand
Waktu menunjukan hampir tengah hari. Cuaca begitu cerah. Ruang tengah Jalan Kyai Gede Utama 8 Bandung, terasa guyup, menggantikan kelengangan yang biasa terasa. Sekelompok anak muda duduk-duduk santai di bangku-bangku kayu, di taman terbuka. Wajah-wajah lama, generasi pertama clothing Bandung paska 1995, bercampur dengan wajah-wajah baru generasi pengikutnya. Bukan hal yang mudah, mengumpulkan mereka dalam satu waktu. Riuh suara canda dan tawa, bercampur kicauan burung-burung yang sejak lama menghuni pepohonan di sekitarnya. “Sekarang kita mau jadi seperti apa? Arahnya apakah asosiasi yang dijalankan dengan praktek mafia? Atau gimana? Apakah kita bikin asosiasi untuk bikin counter yang menjegal praktek kartel? Atau asosiasi ini hanya mengakomodasi kepentingan dan ideologi yang sama, dan menghancurkan lawan yang berbeda pandangan? Atau tujuannya sosial atau kemanusiaan.” Dandhy pemilik clothing 347/eat, melemparkan pertanyaan itu ke forum. Perdebatan panjang tiga puluh orang yang hadir disitu pun dimulai. Canda tawa, berubah serius. Masing-masing sibuk memikirkan jawaban dan saling beragumen sampai berjam-jam kemudian. Saya hadir disitu, mencatat waktu. Hari itu, Senin, 12 Juni 2006. Hari dimana asosiasi para pengusaha clothing yang dinamai ‘Forum Komunikasi Pengusaha Clothing Bandung’, di deklarasikan.
Bagi saya, ini memang sudah waktunya, ketika akhirnya para pengusaha muda clothing Bandung ini mau bersatu padu membuat Forum Komukasi. Hal ini bukannya tanpa sebab. Mereka yang selama ini tak terpetakan sebagai potensi ekonomi, tiba-tiba bukan hanya dilirik, tapi coba dirangkul pemerintah lewat program bantuan Industri Kecil dan Menengah, Disperindag. Mengutip apa yang diberitakan Harian Pikiran Rakyat tanggal 8 Juni 2006, Drs. H. Agus Gustiar, M.Si., selaku Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), “Bagaimanapun kekuatan kita ada pada IKM. Supaya lebih kuat, semua IKM harus bersatu untuk membuat terobosan baru yang bisa mengangkat Bandung khususnya.” …Agus yakin, industri distro Bandung memiliki ciri khas tersendiri yang diilhami dari kreativitas anak muda Bandung.” Jangan sampai ini hilang seperti beberapa merek Bandung yang sekarang mulai memudar, bahkan tidak dikenal orang. Padahal ini merupakan potensi Bandung yang harus ditonjolkan.”
Dalam kegiatan Gathering Komunitas Kreatif dan Online conference yang diselenggarakan selama bulan April-Mei 2006, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Urban Desain dan Common Room Networks Foundation, mengidentifikasi persoalan-persoalan eksternal yang dihadapi selama ini. Masalah-masalah itu muncul, ketika selama ini pemerintah sama sekali tidak mendukung aktivitas yang mereka lakukan. Tidak adanya regulasi pemerintah yang jelas dalam pengembangan industri berbasis kreatifitas seperti yang dilakukan Clothing company selama ini, juga strategi pengembangan industri berbasis kreatifitas sebagai salah satu pengembangan ekonomi kota yang berkelanjutan. Belum lagi pengelolaan pajak yang tak jelas timbal baliknya. Persoalan ketiadaan infrastruktur dan ketidak jelasan pengaturan tata guna lahan di Bandung untuk kawasan komersial, menyebabkan nilai ekonomi lahan semakin mahal dan tak terjangkau dalam mengembangkan usaha yang selama ini mereka jalankan. Pada akhirnya, dukungan yang digembar-gemborkan pemerintah untuk mendukung Industri Kecil Menengah dan membangun kecintaan akan produk dalam negeri, hanya menjadi jargon belaka.
Disadari atau tidak, clothing industry yang muncul dan berkembang di Bandung ini, justru memicu perkembangan industri-industri kecil baru yang juga berbasis kreatifitas. Secara organik, infrastruktur pendukungnya, bermunculan satu persatu. “Waktu itu lagi booming-boomingnya clothing, trus gue pikir, ngapain juga ikut-ikutan bikin clothing, mendingan gue bikin usaha lain yang bisa mendukung usaha mereka. Ada kesadaran itu di gue dan tiga orang teman gue yang lain, gue ngeliatnya orang-orang ini udah harus profesional lah, kalo mereka berbisnis ya harus berpromosi, mereka punya produk yang bagus, buat apa kalo ngga berpromosi,” ungkap Uchunk, salah satu pendiri Suave, Free Catalogue Magazine, ketika saya temui disebuah tempat nongkrong di Bandung. Suave awalnya dicetak sebanyak 3000 eks dengan modal sebuah komputer pribadi. Kini tirasnya mencapai 8000 eks dengan 90 halaman full color. Selain didesain dengan tampilan yang menurut Uchunk, terlihat mainstream, jauh dari kesan indie dan underground, Uchunk juga memberi halaman galeri bagi siapapun yang ingin memamerkan karya grafisnya di satu halaman Suave.
Menurut uchunk, saat ini banyak clothing company yang kemudian menggunakan jasa desainer grafis, fotografer dan biro iklan untuk menggarap materi promosi produk yang bersangkutan. Baginya kondisi ini sangat menggembirakan, karena bidang industri kreatif lainnya kemudian bermunculan. Helvi menambahkan, “Waktu kita bikin ini, ngga kepikiran kalau di depan ternyata akan berhubungan dengan segala macam. Fotografer, advertising, itu kan seru jadinya. Jadi kaya punya dunia sendiri, infrastrukturnya jadi kebentuk dan ini adalah wilayahnya anak muda.”
Wajar saja, jika kemudian tawaran yang datang tiba-tiba ini, disikapi dengan membentuk Forum Komunikasi yang bertujuan untuk memperkuat dan saling mendukung satu sama lain. Banyak persoalan baik internal maupun eksternal yang selama ini harus disiasati dan dipecahkan sendiri oleh mereka. Karena itu, tawaran pemerintah, seperti sesuatu yang to good to be true. Mereka bukannya resistan terhadap niat baik pemerintah, namun yang mereka harapkan adalah kejelasan dalam proses negosiasi dimana posisi tawar kedua belah pihak bisa berjalan dengan seimbang. Dalam hal ini mereka memperlihatkan, apa yang disebut Gustaff H. Iskandar dalam tulisan yang sama, sebagai kemandirian politik dan ekonomi.
Perspektif kemandirian, kemudian menjadi prinsip yang selalu dimaknai kembali oleh mereka. Ketika kemandirian berarti memulai impian besar dengan langkah-langkah kecil. Dengan patungan modal seadanya. Juga ketika usaha ini berkemban dan mendapatkan perhatian, kemandirian berarti membangun posisi tawar mereka ketika bertarung dengan banyak kepentingan-kepentingan lain. Pemerintah salah satunya.

***

Dan disaat, banyak orang kemudian mengeluh, bahwa produk clothing menjadi seragam, waktu yang akan membuktikan mana yang kemudian konsisten menjalani proses eksplorasi terus menerus untuk menemukan kematangan produk atau malah inovasi-inovasi baru dan mana yang kemudian hilang seperti merek-merek Bandung yang memudar dan tak dikenal orang seperti yang dikawatirkan Agus Gustiar.
Setidaknya sampai hari ini, setelah satu dekade yang panjang mereka berproses terus menerus, kekawatiran itu tidak terbukti. “Yang paling keren menurut gua adalah, dimana sekarang anak-anak muda ngga gengsi dan malu lagi pake produk lokal. Dan kita juga seneng, karya kita dihargai orang dari mulai yang naik angkot sampai mobil mewah, pake kaos lokal.” Helvi mengatakan itu dengan mata-mata berbinar-binar lega. Kelegaan yang saya rasakan bukan hanya miliknya, tapi juga komunitasnya, teman-teman sepermainannya, ketika kerja keras mereka, membuktikan sesuatu, bukan sekedar jargon belaka.

Tulisan ini adalah versi pertama untuk PB Magz yang tidak di terbitkan
posted by vitarlenology

Pembajakan Produk Distro Dan Clothing Luar Biasa

Pembajakan Produk Distro Dan Clothing Luar Biasa
Laporan wartawan KOMPAS Dwi Bayu Radius

BANDUNG, KOMPAS.com - Pembajakan produk distro dan clothing di Jawa Barat dianggap sudah luar biasa. Maraknya pembajakan membuat sebagian konsumen memilih produk palsu. Bahkan, beberapa pengusaha distro ditawari untuk memasarkan produk palsu hasil bajakan busana buatan mereka sendiri.
Pemilik Distro Airplane dan Ralij Clothing, Fiki Chikara Satari di Bandung, Minggu (21/3/2010), mengatakan, ia pernah kedatangan calon konsumen dari Batam dan meminta potongan harga untuk pembelian dalam jumlah besar. Jika potongan harga tak sesuai keinginan pembeli itu, ia akan membeli produk bajakan.
"Saya juga pernah ditawari produk bajakan. Padahal, produk yang dibajak itu aslinya buatan saya. Harga produk distro asli mulai Rp 50.000 per potong," katanya. Di Bandung, terdapat sekitar 1.200 usaha distro dan clothing. Setiap bulan, sekitar 2.000 desain baju, celana, dan sepatu dikeluarkan.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jabar Ferry Sofwan mengatakan, pelaku distro disarankan untuk membuat desain busana dengan masa pakai singkat. Desain baru perlu terus dikeluarkan , sebaiknya setiap satu bulan sekali. Langkah itu diperlukan agar konsumen menganggap desain produk bajakan tidak baru lagi.
"Saya belum menerima laporan tentang tingkat keparahan pembajakan. Meski demikian, saya amati memang sering ditemukan kemiripan antardesain produk," katanya.

Lebih Puas Belanja dalam Satu Kawasan

Lebih Puas Belanja dalam Satu Kawasan
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Lelah berbelanja dari satu toko ke toko lain bukan lagi halangan. Munculnya komplek-komplek clothing di Bandung memberikan kemudahan dan memberikan banyak alternatif dalam berbelanja. Bahkan bisa sambil makan enak.

Ada beberapa komplek clothing atau distro yang bisa dikunjungi. Bahkan di antaranya ada yang mengusung konsep one stop shopping. Dimana selain produk clothing, ada juga wisata kuliner, salon, sekaligus sarana tempat nongkrong komunitas.

Sebut saja 18th Park. Kawasan clothing yang dulu dikenal di Jalan Martadinata ini kini sudah pindah ke Jalan Sumetera. Di lokasi barunya ini, selain menawarkan produk fashion, 18th Park juga menonjolkan wisata kuliner dengan perbandingan 50:50. Dengan jumlah clothing yang tertinggal sebanyak 15 dari semula 27 clothing.

Tapi tentu saja tanpa meninggalkan ciri khasnya yaitu skate park. 18th Park masih memberikan ruang bagi komunitas untuk berkarya. Sebuah panggung pun disediakan sebagai salah satu cara unt uk meraih lebih banyak pengunjung.

Konsep serupa juga diadapatasi Rangga Point di Jalan Ranggamalela. Lokasinya di Jalan Ranggamalela ini membuat Rangga Point tidak terlalu kelihatan. Padahal dengan mudah bisa diakses dari Jalan Sulanjana atau Jalan Ir H Juanda.

Kawasan ini juga menggabungkan konsep one stop shopping. Tak hanya clothing, di sini juga ada kuliner, salon, pijat refleksi, bahkan tempat bermain saham. Dengan konsep ini diharapkan perputaran uang tidak pergi kemana-mana dan membuat pengunjung enggan beranjak karena semua kebutuhan konsumen sudah tersedia.

Selain di dua tempat tadi. Aneka produk clothing juga bisa ditemui di Distro House Jalan Setiabudhi dan The After di Dago Plaza. Di beberapa distro kecil juga tersedia berbagai macam produk clothing namun dalam jumlah yang lebih terbatas.(ema/tya)

Belanja Clothing di Jalan Seram

Belanja Clothing di Jalan Seram
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Bandung sepertinya kian menggeliat saja sebagai kota tujuan wisata. Usaha-usaha baru di bidang kuliner, hotel, rekreasi, tak terkecuali fesyen juga terus bertambah.

Sebuah distro di Jalan Seram pun baru dibuka pertengahan Desember lalu, namanya Raising. Tempatnya berdampingan dengan Waroeng Siliwangi yang masih ada di dalam satu kawasan.

Dengan konsep minimalis dan elegan, setiap clothing memiliki ruang-ruang tersendiri. Ada sekitar 8 clothing yang sudah bergabung di distro ini, antara lain Pro Shop, Rockster, Epidemic, Signature from Robe Noerm, Distro Sunda (Disun) dan lain-lain. Namun menurut pengelola Raising, Indraprasta Yogaswara, masih ada lima clothing yang menunggu untuk bergabung.

Sasaran utama Raising adalah anak muda yang funky dan stylish. Sehingga pemilihan clothing yang akan bergabung pun cukup selektif. "Kita lihat dari kualitas dan stylenya," ujar pemuda berusia 21 tahun ini.

Namun tidak semua clothing seratus persen menyuguhkan produk anak muda. Di antaranya ada juga yang ditujukan untuk orang tua dan anak-anak meski dalam prosentase yang lebih sedikit.

Selain pakaian, berbagai macam aksesoris juga jadi produk pemanis yang bisa jadi pilihan konsumen.

Sejak dibuka, menurut Indra pengunjung sudah lumayan banyak. Apalagi saat itu bertepatan dengan liburan akhir tahun. Para pengunjung sampai saat ini masih didominasi oleh wisatawan luar kota khususnya Jakarta. "Untuk lokal paling masih 10-20 persen saja," tuturnya.

Ke depannya, Raising juga akan merangkul komunitas. Secara reguler akan digelar pertunjukan musik sebagai salah satu cara untuk menggaet konsumen yang loyal.(ema/tya)

Untuk yang Big Size dari Teapot

Untuk yang Big Size dari Teapot
Ema Nur Arifah - detikBandung

Bandung - Bagi kaum hawa pemilik tubuh ekstra large, Teapot, butik ini hadir untuk memuaskan selera fashion anda. Menyuguhkan model-model pakaian yang fashionable, simple sekaligus anggun.

Baru tiga bulan berdiri. Teapot yang ada di Jalan Trunojoyo No 25 ini berada di antara deretan distro dan clothing. Meldi, sang pemilik memang memanfaatkan celah pasar yang langka, yaitu untuk wanita-wanita dengan tubuh berukuran besar. Sasaran usia konsumen dari 20-45 tahunan.

"Saya ingin buat baju-baju yang lebih fashionable untuk yang berukuran besar, bukan model-model yang stylenya biasa saja," ujar lulusan Esmod Jakarta ini. Dengan sasaran kelas menengah atas, Teapot menawarkan harga di bawah label-label big size yang sudah ada.

Desain-desain Teapot sendiri lebih ke arah anggun, simple, fashionable dengan warna-warna kalem. "Warna-warnanya bukan warna bright tapi lebih ke warna lembut karena saya suka warna itu," jelasnya.

Tapi untuk sementara, lanjut Meldi, karena baru buka tiga bulan. Produk-produk di Teapot belum 100 persen berlabel Teapot. Kebanyakan masih mengimpor barang dari luar negeri khususnya Hongkong.

"Untuk saat ini kita baru buat cardigan saja, sepatu dan beberapa tas. Produk lainnya dari Hongkong dan brand-brand lokal di Bandung," papar Meldi. Setidaknya ada 6 brand lokal yang turut bergabung termasuk di antaranya juga aksesoris.

Sementara itu untuk produk-produk dari luar, karena konsepnya butik tentu saja produk yang disediakan juga terbatas. Menurut Meldi untuk satu model pakaian,
dirinya hanya memilih satu pieces dari setiap warna yang ada.

Modelnya yang beragam juga ternyata tidak hanya menarik perhatian pemilik tubuh besar. Sehingga Meldi pun akhirnya menyediakan pula produk untuk yang tubuhnya kecil atau proporsional.

Namun Meldi memastikan dia tidak akan sampai keluar konsep, kalau Teapot memang disediakan untuk yang bertubuh gemuk. "Meski ada untuk yang langsing, saya tetap komitmen Teapot untuk yang bertubuh besar,' ujarnya.

Sesuai konsepnya pula yaitu butik, ke depannya, pelan-pelan Meldi akan membuat rancangan Teapot sendiri dan tidak akan mengimpor pakaian dari luar negeri.

Meski penjualan sudah cukup lumayan untuk tempat yang masih terbilang baru, Meldi tidak khawatir. "Mudah-mudahan nanti setelah seluruhnya label Teapot penjualan akan lebih baik," ujarnya.

Teapot buka dari pukul 10.00-21.00 WIB. Tapi kalau hari Minggu mulai buka pukul 11.00 WIB. Nuansa dekorasi ruang yang vintage dengan dominasi cat warna putih akan membuat suasana berbelanja jadi lebih nyaman.(ema/tya)

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons