Cipaganti Berganti-ganti Penghuni


Bandung - Membelah dua kecamatan yaitu Kecamatan Sukajadi dan Kecamatan Coblong, Jalan Cipaganti tampak asri dibawah naungan pohon-pohon rimbun yang menjulang. Bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang begitu khas dengan atap menjulang, menjadi satu pertanda Jalan Cipaganti memang sarat akan sejarah.

Keberadaan Masjid Cipaganti sebagai salah satu bangunan warisan masa Hindia Belanda itu, makin mengokohkan nilai sejarah Jalan Cipaganti.

Meski tak semua bangunan itu masih utuh sebagai bangunan bersejarah. Sebagian diantaranya kini berganti wajah menjadi bangunan megah dengan arsitektur yang lebih modern. Sebagian lagi, hanya diubah beberapa bagian dengan kekhasan masa kolonial tetap dipertahankan.

Pergantian wajah bangunan Jalan Cipaganti ini tentu tak lepas dari siapa penghuninya, karena setiap rumah tergantung tuannya.

Uju Dimyati (68) pengurus Masjid Cipaganti mengisahkan, dulu rumah-rumah tersebut dihuni oleh orang-orang Belanda. Suasana Jalan Cipaganti saat ditinggali oleh orang Belanda jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Tidak ada keramaian bahkan tak diperbolehkan bunyi apapun kala tuan-tuan Belanda ini tidur siang.

"Menurut cerita orang tua dulu. Saat Belanda di sini kalau waktu tidur siang sekitar pukul 11.00-12.00 WIB jarang sekali ada mobil. Tidak boleh ada bunyi apapun. Bahkan suara tukang patri (las besi-red) saja tidak boleh ada," terang Uju yang sudah menjadi pengurus masjid sejak 1963.

Saat itu, tutur Uju, jalan sudah beraspal tapi pohon-pohon belum setinggi dan serimbun sekarang. Dulu tidak diperbolehkan ada papan iklan atau bentuk spanduk promosi lainnya di Jalan Cipaganti ini.

Setelah terjadi nasionalisasi aset-aset milik Belanda, kepemilikan rumah di Jalan Cipaganti pun berubah. Menurut Uju setelah Belanda pergi dari Bandung, para pejabat pemerintah dan militer lah yang kemudian mendiami rumah-rumah di kawasan Cipaganti.

"Tidak tahu bagaimana prosesnya tapi rumah-rumah ini ditempati oleh pejabat atau dari militer," jelasnya. Sampai akhirnya rumah tersebut pun dijual agar bisa dibagi-bagikan ke anak-anaknya sebagai harta warisan.

Uju menjelaskan dirinya sempat menjadi saksi salah seorang penghuni rumah yang berasal dari militer, akhirnya harus menjual rumahnya untuk dibagikan kepada anak-anaknya.

Maka kepemilikan pun beralih lagi. Rata-rata rumah-rumah tersebut dijual kepada warga keturunan Tionghoa. Sampai saat ini menurut Uju hampir semua rumah peninggalan Belanda di pinggir jalan Cipaganti dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Rumah-rumah itu pun sebagian diantaranya diubah dari bangunan aslinya.

Meskipun awalnya diperuntukan sebagai rumah tinggal. Tidak semua rumah di Jalan Cipaganti ini dihuni keluarga. Ada juga yang dijadikan perkantoran atau hotel. Bahkan ada pula yang dibiarkan rusak tidak terpelihara.

Di kawasan ini bisa ditemukan beberapa hotel untuk menginap para pelancong berdiri seperti Nyland Hotel, Puri Cipaganti Hotel atau Nirmala Hotel yang menggunakan bangunan zaman Belanda. Di sebelah Puri Cipaganti Hotel berdiri radio anak muda yaitu Ardan.

Kuliner sajian di Jalan Cipaganti, ada Ayam Goreng Suharti di penghujung Jalan Setiabudhi, Baso Malang dan suguhan iga Si Jangkung di dekat Masjid Cipaganti atau ayam goreng Dahapati di depan pom bensin Cipaganti.

Di Persimpangan antara Jalan Cipaganti dan Jalan Eijkman, kios Martabak Liana yang menyuguhkan es oyen dan bubur ayam Pak Gober bisa ditemukan. Di samping kios Martabak Liana, toko kaset antik untuk para penggemar musik era 60-an sampai 90-an bisa juga dijelajahi. Selain itu, untuk penggemar keramik ada bursa keramik yang bisa disambangi.

Dari Jalan Cipaganti anda bisa menembus keramaian Jalan Cihampelas atau lurus terus menuju Jalan setiabudhi. Hati-hati karena setiap sore arus lalu lintas di Jalan Cipaganti disergap macet. Angkutan umum yang melalui jalan ini adalah jurusan Kalapa-Ledeng, Cicaheum-Ciroyom, St. Hall-Ciumbuleuit dan Margahayu-Ledeng.
(ema/ern)

0 komentar:

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons