Bandung - Papan nama usang berwarna biru muda yang pudar disertai warna karatan di beberapa bagian terpancang dengan tulisan Rumah Makan Babakan Siliwangi sedikit bersembunyi di balik dedaunan. Namun papan inilah yang menunjukan kawasan ini sebagai Babakan Siliwangi, paru-paru kota yang selalu menuai kontroversi.
Rumah makan ini berdiri di lahan yang disebut Lebak Siliwangi. Akibat kebakaran tahun 2003 lalu, yang tertinggal hanya reruntuhan.
Berada di persimpangan Jalan Cihampelas, Jalan Ciumbuleuit, dan Jalan Tamansari. Dari luar tak tampak seperti tempat wisata. Tukang tambal ban menyambut kedatangan kala memasuki kawasan ini. Kemudian kios kecil dengan baju-baju bergelantungan di tali jemuran.
Menuruni beberapa anak tangga atau tanah yang melandai sampai pulalah di Jalan besar yang menghubungkan Jalan Cihampelas dan Jalan Ganesha. Jalan yang diapit oleh rimbunnya pepohonan.
Dua galeri seni berdiri berdampingan. Di kedua galeri yaitu Mitra Art Center dan Sanggar Olah Seni (SOS) ini tampak beberapa orang tengah memulaskan warna di atas kanvas. Mungkin hanya dua galeri inilah yang masih memberikan identitas bahwa tempat ini sebuah kawasan wisata.
Menurut Ketua SOS, Syarif Hidayat asal mula nama Lebak Siliwangi adalah Lebak Gede. Walikota Bandung saat itu, Otje Djunjunan melihat kawasan Lebak Siliwangi potensial untuk dijadikan tempat wisata.
Maka pada tahun 1970-an dibuatlah rumah makan dengan nama Rumah Makan Babakan Siliwangi. Dari sana pula pemerintah Jawa Barat melihat wisata lainnya. Maka atas gagasan seniman Popo Iskandar, Barli, Tony Yusuf dan seniman lainnya Sanggar Seni SOS didirikan pada 1982. Peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pariwisata saat itu Jove Ave.
Kedua galeri ini menawarkan pembelajaran dan pembinaan akan seni, tak hanya seni rupa tapi juga teater, musik dan seni lainnya. Diciptakan sebagai ruang budaya antara seniman dan masyarakat.
Syarif menuturkan, setiap bulannya pada minggu pertama di tempat ini biasa diadakan seni adu domba. "Kalau dulu adu domba ini lebih sering dilakukan lagi," jelasnya.
Menyusuri jalanan hingga menembus Jalan Cihampelas, kawasan ini terlihat tidak begitu terawat. Kawasan yang secara geologi sebagai tempat resapan air ini tercatat sebagai salah satu kawasan terbuka hijau di Kota Bandung.
Pohon-pohon rimbun hijau hampir memenuhi keseluruhan wilayah. Dingin dan sejuk jika dibandingkan kawasan olahraga Sabuga yang berbatasan langsung dengan kawasan ini yang tampak panas, gersang dan berdebu. Namun di beberapa titik tampak tumpukan-tumpukan sampah di antara pepohonan yang juga tidak tertata. Reruntuhan bangunan yang tak lagi terjamah serta beberapa gubug kecil berdiri menjadi 'penghias' lain.
Untuk tempat seluas itu, hanya seorang perempuan bernama Eli yang dipercaya pemerintah untuk menjaga tempat ini. Dia mengaku menggantikan suaminya yang dulu menjaga tempat ini. "Saya menjaga agar tempat ini tidak digunakan oleh orang yang macam-macam," jelasnya.
Eli juga mengaku tidak ada yang menjaga datang untuk melakukan pemeliharaan lingkungan di tempat ini.
Menurut Pengelola Mitra Art, Herman R Suwarna yang memelihara lingkungan masih hanya orang-orang yang tinggal di kawasan ini termasuk para seniman. Herman mengusulkan penerpaan konsep eco wista di Babakan Siliwangi, misalnya dengan menata pohon dan memberikannya nama latin untuk menambah wawasan pengunjung.
Tahun 2001 lalu, penataan dan pengelolaan kawasan ini menjadi kawasan wisata terpadu dicetuskan Walikota Bandung saat itu, Aa Tarmana. Di dalamnya akan dibangun apartemen, wahana kawula muda, pusat seni, serta rumah makan.
Perencanaan yang sudah menggandeng developer PT EGI ini menjadi kontroversi baru meski PT EGI menjanjikan akan melakukan penataan terhadap pohon-pohon di tempat ini.
Kontroversi itu kini kembali mencuat. Berbagai kepentingan saling bersuara untuk mendudukan kawasan ini pada posisi semestinya. Posisi dari sudut pandang yang berbeda di mata pemerintah, pengembang, seniman dan masyarakat.
Semua memiliki dalih dan kepentingan termasuk kekhawatiran para masyarakat dan seniman akan terancamnya kembali satu paru-paru kota. Sekaligus hilangnya satu wilayah kreatifitas yang menjadi media pembelajaran bagi tangan-tangan pecinta seni.
Memang, oase hijau ini seperti kue lezat yang memikat. Dalam perjalanannya menuai kontroversi panjang dengan mempertanyakan, siapa yang akan menikmati kue lezat ini nanti?
(ema/ema)