Jam sudah menunjukan pukul 10.30 WIB, namun cuaca terlihat mendung dan suasana di depan Museum Tekstil yang menempati bangunan tua bergaya arsitektur Eropa terlihat sepi seakan tak berpenghuni.
Bangunan dengan pagar pembatas di Jalan Aipda KS Tubun, Tanah Abang itu tergolong antik nan megah bak istana milik kepala negara namun diberi nama Museum Tekstil.
Ketika berjalan menuju teras bangunan gedung utama peninggalan abad ke-19 yang dibangun borjuis Perancis itu, terlihat pekerja berbaju kaos oblong berwarna biru tua membersihkan taman yang luasnya separuh lapangan bola kaki yang dikelilingi pepohonan rindang.
Di sela-sela tiang antik bagian depan pintu masuk gedung Museum Tekstil terlihat seorang pemuda membersihkan teras berlantai marmer dan yang lain menyodorkan buku tamu sekaligus menyobek karcis masuk dari atas meja senilai Rp2.000 per orang bagi pengunjung dewasa.
Kain batik yang dikurung kaca di tengah-tengah ruangan tamu yang memiliki luas seperti lapangan badminton itu, seakan menyambut para pengunjung yang masuk ke museum yang berdiri pada tahun 1976.
Dinding bagian kiri ruangan terpampang berbagai macam batik tulis dengan motif yang berbeda dari Pulau Jawa seperti taman arum dari Cirebon, Jawa Barat dan berbagai jenis "cating" atau alat untuk membuat motif batik, kemudian lilin, parafin, anglo dan wajan.
Sedangkan di dinding bagian kanan di ruangan itu terpampang sejumlah kain daerah lain seperti songket dari Medan, Sumatra Utara yang dipakai dalam upacara adat melayu dan berbagai jenis pewarna alami dari kulit kayu dan buah tanaman.
Tepat di bagian tengah rumah yang memiliki tiga kamar di bagian kanan dan kiri rumah itu dipamerkan peninggalan abad ke-18 berupa batik tertua yang masih tersisa berusia 233 tahun.
Peninggalan itu berupa umbul-umbul atau bendera dari Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat yang dibuat pada tahun 1776 berupa dari bahan katun dan sutera dengan motif kaligrafi Arab serta bergambar dua pedang kembar dengan didominasi warna hijau.
"Bendera ini merupakan ’masterpiece’, dan pada zamannya dijadikan sebagai pelengkap upacara adat seperti tolak bala dan bendera ketika menyiarkan Islam di Cirebon," ujar pengelola Museum Tekstil, Eko Hartoyo.
Batik tulis dengan ukuran panjang 310 sentimeter dan lebar 196 sentimeter pemberian dari Gusti Kanjeng Puteri Mangkunegara VIII yang diserahkan ketika museum itu diresmikan oleh Ibu Tien Soeharto pada 28 Juni 1976.
"Kami hanya memajang duplikatnya saja, kalau bendera yang asli kami simpan bersama dengan benda-benda koleksi tekstil lain di museum ini," kata dia.
Selain batik, bagian dinding dan ruang kamar gedung yang pernah dimiliki Konsulat Turki sebelum dimiliki oleh Departemen Sosial tahun 1962 turut dihiasi berbagai macam jenis kain seperti ulos batak, ikat kepala wanita Bengkulu dan kain geringsing dalam upacara adat Bali untuk kelahiran, potong gigi, perkawinan dan kematian.
Bahkan selimut dari Timor Timur yang berpisah dari pelukan ibu pertiwi juga masih terpampang di salah satu bagian dinding yang kini perawatan dan pengelolaan museum diserahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Museum Tekstil kini memiliki total 1.826 benda-benda koleksi yang berhubungan dengan dunia tekstil termasuk peralatan mulai dari benang, hiasan tekstil, peralatan tenun, kain bukan tenun seperti kulit kayu dan kulit buah, serta kain tenun dan pakaian siap pakai.
Ribuan koleksi itu buatan akhir abad ke-18 sampai paruh pertama abad ke 20 dan sebagian besar benda koleksi dari berbagai daerah di tanah air itu disumbangkan oleh Wastaprema atau himpunan pecinta kain tradisional Indonesia.
"Namun hanya sekitar 100 koleksi saja yang dipamerkan secara bergantian di ruang pameran," ujar Eko.
Museum yang didirikan pada saat Ali Sadikin memimpin Jakarta tidak hanya memamerkan beribu cerita budaya dari benda mati, tetapi juga benda hidup seperti pepohonan yang digunakan sebagai bahan baku pewarna alami batik yang ditanam pada taman seluas 2.000 meter persegi di bagian belakang gedung utama.
Berbagai kursus dan pelatihan juga digelar di museum ini, agar budaya pembuatan tekstil tradisional Indonesia dapat dilestarikan.
"Pelatihan membatik mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat dan mereka yang mengikuti program ini telah mampu mengembangkan karyanya lebih profesional selain hobi," kata pengajar membuat batik Museum Tekstil, Krismini.
Bahkan para warga negara asing (WNA) yang tinggal di Ibukota Jakarta dewasa ini semakin meminati dunia batik baik sekedar belajar membuat atau membawa buah tangan dari tanah air serta dipamerkan.
Murid-murid yang datang dari negeri bunga sakura Jepang secara khusus mempelajari kerajinan tangan yang berasal dari suku jawa itu.
Krismini yang telah menjadi staf pengajar membuat batik selama 10 tahun di Museum Tekstil mengaku telah memiliki murid sekitar 1.000 orang dan separuh di antaranya berasal dari Amerika Serikat, Australia, Perancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Afrika Selatan.
"Awal 2009 hingga kini sedikitnya saya memiliki 20 murid dari luar negeri dan didominasi dari Jepang, kemudian pada bulan Juni-Juli mendatang terdapat beberapa kelompok dari Australia yang dijadwalkan belajar membatik kemari," kata dia.
Produk batik yang dihasilkan murid yang berasal dari luar negeri jauh lebih bagus dibanding batik yang dihasilkan oleh murid yang berasal dari dalam negeri seperti dari perguruan tinggi atau masyarakat Jakarta dan sekitar.
"Murid yang dari luar negeri rasa ingin tahun mereka lebih besar sehingga batik yang dihasilkan lebih halus, memiliki berbagai motif karena mereka sangat sabar dalam pembuatan. Kalau orang kita nggak sabaran dan terkadang hanya sekedar ingin tahu saja," jelas dia.
Suyoun Kim, (32) wanita berkebangsaan Korea Selatan yang ditemui di lokasi itu mengaku telah setahun mempelajari cara pembuatan batik di Museum Tekstil.
"Batik merupakan kain tradisional yang cantik dan membuat saya suka, tapi orang Korea tidak banyak yang tahu. Nanti kalau balik ke Korea saya ingin perkenalkan kain cantik ini dan membuatnya disana," ujar Kim dengan bahasa Indonesianya yang terbata-bata.
Kini museum itu berharap dimanfaatkan agar kebudayaan bangsa Indonesia tidak luntur karena tergerus oleh perkembangan zaman atau suatu saat nanti kekayaan budaya tekstil tanah air itu diklaim menjadi milik negara lain.
Sumber :Ant