"Urang" Bandung "Keur" di Jakarta

Di balik industri kreatif Bandung terdapat orang- orang yang melihat peluang dan mau mewujudkan mimpi mereka. Dicky Sukmana (28), misalnya, membuat majalah Suave tahun 2004.

Setahun sebelumnya dia mendirikan usaha kaos dan produk gaya hidup Invictus. Dalam perjalanan, dia melihat peluang bisnis yang belum dimasuki, yaitu penghubung antara industri clothing, distro, dan konsumennya. Maka, lahirlah Suave.

Bermodal Rp 1,5 juta, Dicky memproduksi 1.000 eksemplar Suave yang terbit bulanan dan disebar gratis ke distro-distro Bandung. Ternyata sambutannya bagus. Majalah ini kini bertiras 15.000 eksemplar per bulan dan disebar di 20 kota di Indonesia. ”Biaya produksi dari produk yang dimuat di Suave,” kata Dicky.

Majalah berwarna itu memuat produk terbaru yang ada di distro-distro. ”Saya tidak takut disaingi industri clothing baru karena itu berarti pasar baru untuk Suave, ha-ha-ha....”

Sedangkan kesuksesan Invictus dibangun melalui komunikasi dengan komunitas. Acara Refresh Your Sunday yang menampilkan band indi, bincang-bincang, atau sosok yang dianggap dapat memperkuat citra Invictus, kini menarik ribuan anak muda.

”Ke depan maunya menguatkan brand di tingkat nasional dan Asia. Ngajak anak muda mencintai produk bangsa sendiri dan membendung serbuan produk impor,” kata Dicky yang belajar fashion brand management di London College of Fashion.

Lain lagi pengalaman Ben Wirawan (32) dan Hanafi, pemilik Maha Nagari Bandung Pisan. Ben melihat peluang bisnis ketika ikut program pertukaran mahasiswa ke Singapura tahun 1998 dan harus memberi kenang-kenangan. ”Kok enggak ada identitas lokal Bandung yang diwujudkan dalam bentuk merchandise,” kata Ben yang saat itu kuliah di Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung.

Ketika tahun 2002 usaha clothing Bandung makin semarak, Ben memilih berhenti sebagai desainer di sebuah perusahaan perlengkapan outdoor untuk berusaha sendiri. Lahirlah kaos dengan desain grafis dan slogan bertema budaya lokal.

Slogan ”Bandung Bermartabat” dipelesetkan jadi Bandung Bermartabak. Di bawah tulisan itu ada gambar martabak manis yang identik dengan Bandung. Kaos lain bertuliskan Urang Bandung dengan gambar wajah orang tersenyum dan tulisan Keur (sedang) di Jakarta dengan wajah tegang di bagian belakang. Desain yang dibuat tahun 2002 hingga kini masih dicari pembeli.

”Kami mempertahankan keunikan melalui desain dan visual yang kuat karena itu jualan kami,” jelas Ben yang menyasar warga Bandung, ekspatriat, dan turis, termasuk orang Jakarta.

Maha Nagari menjadikan kaos media kampanye budaya dengan membentuk komunitas yang rutin pelesir ke obyek bernilai budaya dan bersepeda ke hutan sekitar Bandung.
Efek berganda
Tidak diragukan industri kreatif membangkitkan efek berganda, antara lain lapangan kerja. Maha Nagari memiliki 20 kontributor yang ikut memikirkan desain. Untuk satu desain, kontributor dibayar Rp 200.000 plus royalti dari penjualan produk yang bisa mencapai Rp 2 juta.

Febby Arhemsyah mensubkontrakkan pembuatan Twoclothes ke beberapa pemasok. Untuk kaos, pemasoknya 20-30 tukang jahit, sablon, dan kemasan; untuk jaket pemasoknya punya 8 pekerja; untuk tas ada 8 pekerja; belum untuk topi dan celana. ”Baru-baru ini saya dikontak orang dari Institut Pertanian Bogor yang sedang meneliti kayu dari Indonesia untuk dijadikan papan skate,” kata Febby.

Selama ini, papan skate masih diimpor per bagian dari China karena di Indonesia tidak ada kayu maple. Papan skate membutuhkan tujuh lapis kayu maple supaya kuat.

Sedangkan untuk Invictus, Dicky bekerja sama dengan 15-20 vendor yang rata-rata memiliki karyawan 10-20 orang, belum termasuk industri besar kain di sekitar Bandung. ”Saya memberi masukan kepada mereka kalau ada teknologi baru dari luar soal pewarnaan atau teknik sablon baru,” papar Dicky. (Ninuk MP/Susi Ivvaty)

0 komentar:

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons