Polusi Bikin Kupu-kupu Tidak Betah


Bandung - Mungkin tak banyak orang tahu bahwa kupu-kupu adalah salah satu indikator kebersihan udara. Tak heran, di daerah perkotaan udaranya yang telah tercemar polusi, pemandangan kupu-kupu yang sedang terbang pun semakin langka ditemui.

Berangkat dari keprihatinan itulah Taman Kupu-kupu dibuat. "Kupu kupu tidak mau hidup di daerah yang udaranya kotor, penuh polusi, emisi karbon dan debu. Itu membuat daun kotor, dan kupu-kupu pun tak mau memakan tanaman yang tercemar polusi," ujar Ayam Hugeng, pakar kupu-kupu yang menjadi konsultan di Taman Kupu-kupu.

Kondisi udara yang telah tercemar itulah yang membuat kupu-kupu tak betah berada di daerah perkotaan. Kupu-kupu memiliki indra penciuman hingga 15 kilometer. Mereka sangat tidak menyukai bau asap kendaraan atau polusi.

"Kupu-kupu pun memilih tempat yang udaranya lebih bersih," tambahnya.

Hugeng menyebut, kawasan di Cihanjuang Parongpong ini masih terbilang asri dan segar yang cocok sebagai tempat hidup kupu-kupu.

Masyarakat pun dapat mengetes kondisi udara di lingkungannya sendiri. "Jika masih melihat kupu-kupu di sekitar rumah itu berarti udaranya bagus,agar kupu-kupu biasanya suka pekerangan rumah yang asri. Begitu pula sebaliknya, jika udara buruk, maka kupu-kupu akan malas bermain di sekitar rumah tersebut," jelasnya.

Taman Kupu-kupu terletak di Jalan Raya Cihanjuang Km 3,3 No 58, Desa Cibaligo, Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. Lokasi ini baru dibuka pada 29 Januari lalu. Meski terbilang baru, namun taman ini cukup menarik perhatian masyarakat. Tempatnya masih asri dan hijau, ditambah penataan tempat yang begitu apik.(tya/bbn)

Koleksi 35 Jenis dari Seluruh Indonesia


Bandung - Ragam kupu-kupu yang ditangkarkan di Taman Kupu-kupu Cihanjuang, Kabupaten Bandung Barat, ini memang belum terlalu banyak. Baru ada 35 jenis dari sekitar jenis 10.000 jenis kupu-kupu yang ada di Indonesia.

Kupu-kupu yang ada saat ini di Taman Kupu-kupu, kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Mereka pun berencana akan terus menambah koleksi kupu-kupunya itu.

"Kupu-kupu yang sudah telah dibudidayakan di taman ini berasal dari Jawa Barat, Papua, Sulawesi, Kepulauan Aru dan Bali," tutur Ayam Hugeng, Konsultan Taman Kupu-kupu yang merupakan Pakar Kupu-kupu Indonesia.

Jenis kupu-kupu yang saat ini ada di Taman Kupu-kupu Cihanjuang ini misalnya Troides Helena, Papilio Polytes Javanus, Leptosia Nina Chlorographa, Papilio Demolion dan Atrophaneura Coon. Jenis Troides Helena adalah salah satu jenis yang paling banyak ditemui disini, warnanya hitam dan kuning.

Disebutkan Hugeng, di Indonesia, ada sekitar 10.000 jenis kupu-kupu, sementara di dunia ada sekitar 130.000 jenis. "130 ribu jenis kupu- kupu itu hanya kupu-kupu siang saja, belum termasuk jenis kupu-kupu malamnya," terangnya.

Ada cara mudah untuk membedakan kupu-kupu siang dan kupu-kupu malam. Perbedaan tersebut terletak pada antena kupu-kupu. "Semua kupu-kupu siang memiliki antena menyerupai jarum pentul. Sementara kupu-kupu malam kebanyakan bentuk antenannya lurus," jelas Sugeng.

Bentuk kepompong kupu-kupu siang dan malam pun berbeda. Kupu-kupu malam biasanya tertutup dengan baju berupa bungkusan serabut sutera dan daun. Dengan jumlah retasan kepompong sebanyak 30 ekor perhari, Taman Kupu-kupu ingin mempertahankan jumlah kupu-kupu yang terbang di taman tersebut yaitu sekitar 300 kupu-kupu.

"Karena kalau terlalu banyak juga kurang bagus," tutup Hugeng.
(tya/bbn)

Menonton Langsung Proses Metamorfosis

Bandung - Di area seluas 1,7 hektar, pengunjung Taman Kupu-kupu akan diajak untuk menonton secara langsung proses alami kehidupan kupu-kupu secara lebih dekat. Taman Kupu-kupu terletak di Jalan Raya Cihanjuang Km 3,3 No 58, Desa Cibaligo, Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat.

Pengunjung bisa secara seksama melihat tejadinya metamorfosis. Mulai dari ulat, kepompong hingga kupu-kupu. Pengalaman tersebut bisa jadi pengalaman yang menarik.

Ketika masuk ke area taman kupu-kupu, sebelum memasuki pintu utama, pengunjung bisa mengintip si calon kupu-kupu di green house. Agak geli memang bagi pengunjung yang takut dengan ulat. Karena di dalamnya memang terdapat banyak sekali ulat yang sedang berproses untuk menjadi kepompong.

"Enggak mau ah, mama takut ulat, gatal juga. Lihatnya dari sini saja," ujar Debby (35) pada anaknya, Nico (9), yang memaksanya untuk masuk Green House.

Sementara ibunya itu menunggu di luar green house, sang anak begitu antusias mendengar penjelasan penjaga green house seputar ulat-ulat yang nantinya jadi kupu-kupu. Bahkan sesekali ia memberanikan diri memegang ulat hijau di daun jeruk.

Ulat-ulat berbagai ukuran terdapat di green house, mulai dari sebesar kelingking bayi, hingga sebesar pisang susu. Di tempat tersebut mereka diberi makan dengan disediakan berbagai tanaman yang disukai seperti pohon jeruk.

"Usia ulat sebelum berubah menjadi kepompong rata-rata 1 bulan. Sementara usia saat jadi kepompong sekitar 2 minggu," paparnya.

Nah, untuk melihat kupu-kupu yang telah beterbangan, pengunjung bisa masuk ke dalam taman utama tempat penangkaran kupu-kupu. Desain pintu masuk untuk masuk ke taman kupu-kupu begitu cantik dengan hiasan kupu-kupu besar dan berwarna-warni di atasnya.

Ketika masuk, memang bukan langsung ke taman utamanya, melainkan melewati outlet atau toko yang menjual berbagai souvenir serba kupu-kupu.

Jika datang saat terik matahari menyengat, pengunjung tak perlu khawatir, karena topi dari anyaman dapat digunakan secara cuma-cuma. Apalagi dengan warna topi yang berwarna akan membuat kupu-kupu menghampiri.

Dalam taman seluas sekitar 1.800 meter persegi akan melihat sendiri kupu-kupu yang sedang menari. Hinggap di bunga-bunga dan dedaunan. Agar tak keluar dari area taman tersebut sekeling taman dipagari dan dilapisi jaring setinggi 8 meter.

Di area taman ini juga terdapat rumah kepompong yang menjadi penyimpanan kepompong sebelum berubah menjadi kupu-kupu. Disini pengunjung bisa melihat kupu-kupu yang sedang beristirahat sementara di 'rumah'nya sebelum nantinya terbang.(tya/bbn)

Bermain Sambil Belajar di Taman Kupu-kupu


Bandung - Bosan dengan tempat wisata yang terkesan sama saja? Bagaimana kalau mencoba wisata edukasi di Taman Kupu-kupu. Karena selain sebagai tempat wisata, di taman tersebut banyak pengetahuan seputar makhluk cantik ini.

Taman Kupu-kupu terletak di Jalan Raya Cihanjuang Km 3,3 No 58, Desa Cibaligo, Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. Lokasi ini baru dibuka pada 29 Januari lalu. Meski terbilang baru, namun taman ini cukup menarik perhatian masyarakat. Tempatnya masih asri dan hijau, ditambah penataan tempat yang begitu apik.

Selain menikmati pemandangan yang menarik, Anda juga akan mendapatkan pengetahuan seputar kupu-kupu.

"Bisa dibilang ini adalah wisata pendidikan. Karena anak-anak bisa tahu proses perkembangan kupu-kupu," ujar Peneliti Kupu-kupu Indonesia Ayam Hugeng yang menjadi konsultan Taman Kupu-kupu.

Luas keseluruhan area Taman Kupu-kupu ini mencapai 1,7 hektar. Ada sekitar 300 kupu-kupu dari 35 jenis yang ditangkarkan setiap harinya di tempat ini. Mereka terbang dalam sebuah di taman terbuka seluas 1.800 meter persegi yang dilapisi pagar dan jaring.

Pengunjung yang masuk ke taman kupu-kupu akan ditemani oleh pemandu yang akan menjelaskan apa saja yang ingin diketahui seputar Taman Kupu-kupu dan kupu-kupu itu sendiri.

Masuk ke taman ini pengunjung harus membayar Rp 10 ribu, itu sudah termasuk dengan welcome drink yang didapat dengan cara menukar tiket dan juga peminjaman topi untuk berkeliling taman.

Lina (33) seorang pengunjung yang merupakan warga Kota Bandung ini mengaku puas mengajak anak semata wayangnya yang baru berumur 6 tahun. "Bagus juga yah tempatnya, sekalian bisa ngajarin tentang alam pada anak juga," katanya.

Taman Kupu-kupu dibuka setiap hari dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 WIB. Namun biasanya pada hari Senin hingga Jumat, taman ini digunakan untuk waktu kunjungan sekolah meski tetap membuka untuk umum.

Jika ingin mencari souvenir, ada toko aksesoris yang menjual berbagai pernak-pernik serba kupu-kupu. Atau bila merasa lapar, ada tempat makan di seberang taman yang bisa dikunjungi. Ada sekitar 16 meja bertenda yang bisa digunakan untuk duduk-duduk atau makan.(tya/bbn)

Asal Usul Kawasan Ledeng


Bandung - Dulu, di kawasan Desa Sayang Caak (Sarang Gagak) terdapat pipa-pipa aliran air yang tersambung hingga Jalan Sersan Bajuri. Alasan itulah yang kemudian membuat warga menamakan kawasan tersebut dengan nama Ledeng.

Hal itu dikemukakan seorang warga setempat bernama Harun (72). Desa Sayang Caak berada dekat kawasan Terminal Ledeng. Disebut Sayang Caak karena banyak pohon-pohon beringin yang dijadikan sarang burung gagak.

"Dulu di Desa Sayang Caak ada pipa-pipa besar untuk aliran air," tutur Harun. Menurut Harun kemungkinan pipa itu sudah dibangun di zaman Belanda karena ketika dirinya lahir di tahun 1938 pipa-pipa tersebut sudah ada.

Menurut Harun pipa-pipa besar itu dipasang hingga ke Jalan Sersan Bajuri. Kala itu karena jalan masih tertutup tanah, kendaraan tidak diperbolehkan melintas. "Dulu mobil tidak boleh lewat takut pipanya meledak," jelas Harun.

Tapi setelah Jalan Sersan Bajuri di hot mix dan dijadikan jalan alternatif maka kendaraan pun bebas untuk melintas. Menghubungkan antara Ledeng, Parongpong dan Cikalong Wetan. Meski begitu hingga saat ini kawasan tersebut tetap dikenal dengan nama Ledeng.

Kawasan Ledeng merupakan daerah perlintasan yang menghubungkan Bandung, dari Jalan Setiabudhi menuju Kabupaten Bandung Barat yaitu Lembang dan wilayah Parongpong.

Kawasan Jalan Setiabudhi, Lembang maupun Parongpong merupakan kawasan yang sering dituju oleh wisatawan. Banyak tempat wisata terutama wisata alam di Lembang dan Parongpong yang bisa dikunjungi wisatawan.

Misalnya di Jalan Setiabudhi, sudah disuguhi dengan kawasan wisata belanja kuliner dan FO seperti Rumah Mode disusul sederetan wisata lainnya yang didominasi dengan wisata kuliner seperti Suis Butcher, Serabi Enhaii atau Serabi Imut, Cafe Dd Chocolate, Kampung Bakso, Rumah Sosis dan lain-lain.

Di kawasan Lembang menyambut pasar kelinci hias, kuliner dari kelinci seperti sate, jagung dan ketan bakar, Kawasan Wisata Tangkuban Parahu, Tahu Lembang, The Ranch, dan lain-lain.

Sedangkan di kawasan Parongpong ada Taman Bunga Cihideung, Fantasia, Kampung Daun, Sapu Lidi, wisata alam Nature Hill, wisata brokoli petik sendiri dan lain-lain.
(ema/lom)

Jelajah Bandung Utara Yuk!


Bandung - Akhir pekan sudah di depan mata. Segudang rencana mungkin sudah mampir di benak untuk mengisi akhir pekan kali ini dengan sesuatu yang bermakna. Kota Bandung tentunya tetap menjadi tempat yang istimewa untuk menjalankan rencana tersebut.

Tidak perlu lelah berkeliling Bandung, sepertinya di satu kawasan saja bisa cukup memuaskan. Kali ini detikbandung akan mereview beberapa tempat yang bisa dikunjungi jika kebetulan menginap di sekitar kawasan Jalan Setiabudhi.

Dimulai dengan menghirup suasana pagi di Wisata Bunga Cihideung Parongpong. Tidak terlalu sulit untuk mencapai kawasan ini. Lebih mudah diakses dari Jalan Sersan Badjuri yang tepat berbatasan dengan Terminal Ledeng.

Dengan mudah akan menemukan deretan kios-kios yang menawarkan bunga-bunga cantik berwarna-warni. Jenis bunganya bervariasi dari mulai yang populer sampai yang sering dicari para kolektor.

Jika ingin lebih seru, coba tengok juga proses pembibitan atau perawatan bunga langsung oleh para petani. Karena memang sebagian besar penduduk di kawasan Cihideung ini menggantungkan hidupnya dari usaha bunga.

Aroma kesegaran udara Bandung Utara akan membuat anda betah berlama-lama di tempat ini. Jangan lupa membawa oleh-oleh beberapa pot bunga untuk dibawa pulang.

Dari sana, meluncur kembali ke Jalan Setiabudhi, beberapa ratus meter di atas Terminal Ledeng. Ajak keluarga ke Rumah Sosis. Tidak hanya menawarkan aneka sosis dan berbagai sajiannya. Di tempat ini juga disediakan wahana permainan anak dan kolam renang untuk keluarga.

Konsep serupa juga ada di Kampung Bakso yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan Rumah Sosis. Selain menyajikan berbagai menu bakso, di sini juga dilengkapi dengan aneka permainan untuk anak.

Namun suasana di Kampung Bakso lebih tradisional. Tentu saja sesuai dengan namanya yaitu kampung, tempat makannya dibuat seperti saung-saung di pedesaan. Membuat suasana liburan tambah mantap bukan?

Makan siang, tidak ada salahnya menikmati sedikit udara panas Kota Bandung dengan meluncur ke bawah tepatnya Jalan Geger Kalong. Hanya sekitar 20 meter dari perempatan Jalan Setiabudhi dan Geger Kalong ada Rumah Makan Niagara.

Rumah makan ini menyediakan makanan laut yang tidak biasa. Kalau melihat daftar menu, tidak akan ditemukan menu ikan yang sudah umum dijual di warung-warung tenda di antaranya ikan barracuda dan ikan hiu. Khusus untuk ikan hiu dibuat menjadi martabak.

Selain itu ada nasi hitam yang warna hitamnya ternyata berasal dari tinta cumi-cumi, kebayangkan gurihnya?

Untuk malam hari, suasana Lembang sepertinya harus menjadi daftar wajib. Selain melihat view kota yang indah, sederetan menu khas Lembang menanti untuk
dicicipi. Seperti jagung bakar atau sate kelinci.

Alternatif lain, Kampung Daun di Jalan Sersan Bajuri adalah pilihan yang tepat. Suasana yang tradisional dan elegan akan menyambut keluarga untuk menikmati malam sambil menikmati sajian.

Selamat berakhir pekan!
(ema/tya)

Baso Tahu dan Siomay Terbesar di Bandung


Bandung - Porsi yang melimpah adalah ciri khas Bakso Nursijan. Menurut pengakuan Sugiyanto, pemilik Bakso Nursijan porsi itu disajikan untuk para pekerja yang ingin kenyang, tapi dengan harga yang cukup terjangkau.

Tapi ada lagi yang lebih istimewa. Mie Bakso Nursijan menyajikan bakso tahu dan siomay yang diklaim Sugiyanto yang terbesar di Bandung. Benar saja, saat melihat bentuknya, baso tahu dan siomaynya lebih besar hampir tiga kali lipat dari yang biasa.

Terbuat dari tahu putih, kemudian diberikan adonan campuran antara tenggiri, udang dan ayam sehingga menghasilkan rasa yang gurih. Sedangkan untuk siomay, adonannya berisi juga sayuran. Satu buah baso tahu atau siomay saja sepertinya bisa membuat kenyang.

Rasa yang enak juga didapatkan dari kuah bakso yang terbuat dari kaldu ayam. Selain baso tahu dan siomay yang dibuat sendiri, bakso dan pangsitnya pun merupakan racikan sendiri. Sedangkan untuk mie, diakui Sugiyanto memesan dari orang lain.

"Semua kita bikin sendiri, tapi kalau untuk mie pesan ke orang lain," ujarnya.

Untuk satu porsi mie seharga Rp 20 ribu di dalamnya ada pangsit juga babat. Tapi jika ingin porsi yang tidak terlalu banyak terutama untuk wanita bisa memesan setengah porsi Rp 16 ribu. Selain mie bakso, ada juga kwetiaw, baso tahu dan siomay kuah dan lain-lain.

Sedangkan untuk minuman, tidak ada yang istimewa. Namun menurut Sugiyanto di sini juga menyediakan minuman teh herbal yang baik untuk segala macam penyakit.

Berbeda dengan kedai bakso pada umumnya, Bakso Nursijan buka sejak pagi pukul 07.00 WIB hingga pukul 20.30 WIB. Dibandingkan dua tahun lalu, tutur Sugiyanto, pengunjung kedai bakso berkapasitas 30 orang ini mulai menurun.

Bukan hanya daya beli masyakat yang melemah, menjamurnya tempat wisata kuliner menurutnya juga jadi salah satu pemicu.(ema/ern)

Menghirup Aroma Bambu di Saung Galuma


Bandung - Kawasan Bandung Utara memang cukup potensial dijadikan sebagai tempat wisata. Panorama alam dan udara yang segar pun jadi daya jual yang menarik para wisatawan untuk singgah.

Salah satu tempat yang bisa dikunjungi adalah Saung Galuma. Berada di Jalan Pasir Muncang No 37 (Dago atas), di Jalan alternatif Dago-Lembang, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Bisa ditempuh hanya 10 menit dari Lembang dan sekitar 15 menit dari pusat Kota Bandung.

Begitu datang, pengunjung akan langsung disambut dengan aroma tradisional. Alunan lagu Sunda memenuhi ruangan yang juga didekorasi ala Sunda yang didominasi dengan bambu. Tentu, hal itu berkaitan dengan nama Galuma, yang berarti bambu air.

Ada saung-saung yang bisa digunakan untuk lesehan.Dengan nuansa bambu yang kental, bagian tepi saung langsung mengarah pada pemandangan alam di kawasan Bandung Utara yang hijau dan menyegarkan mata. Salah satu pemandangan yang bisa dilihat adalah kawasan Punclut.

Saung Galuma yang berdiri sembilan bulan lalu itu menurut Muhammad Willy, pengelola Saung Galuma, dekorasinya memang bernuansa Sunda. Tapi menu makanan bukan hanya Sunda, melainkan campuran dengan berbagai menu modern dari Eropa.

Biasanya, tempat ini ramai di sore hari atau saat akhir pekan. Di hari biasa buka sejak pukul 12.00-22.00 WIB. Sebaliknya untuk akhir pekan dibuka dari pukul 10.00-24.00 WIB.

Lokasinya yang jauh mungkin membuat pengunjung enggan untuk datang. Tapi jika ingin melihat kawasan Bandung utara lebih dekat lagi, selain makan di Saung Galuma, di sini juga tersedia penginapan.

(ema/tya)

Cipaganti Berganti-ganti Penghuni


Bandung - Membelah dua kecamatan yaitu Kecamatan Sukajadi dan Kecamatan Coblong, Jalan Cipaganti tampak asri dibawah naungan pohon-pohon rimbun yang menjulang. Bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang begitu khas dengan atap menjulang, menjadi satu pertanda Jalan Cipaganti memang sarat akan sejarah.

Keberadaan Masjid Cipaganti sebagai salah satu bangunan warisan masa Hindia Belanda itu, makin mengokohkan nilai sejarah Jalan Cipaganti.

Meski tak semua bangunan itu masih utuh sebagai bangunan bersejarah. Sebagian diantaranya kini berganti wajah menjadi bangunan megah dengan arsitektur yang lebih modern. Sebagian lagi, hanya diubah beberapa bagian dengan kekhasan masa kolonial tetap dipertahankan.

Pergantian wajah bangunan Jalan Cipaganti ini tentu tak lepas dari siapa penghuninya, karena setiap rumah tergantung tuannya.

Uju Dimyati (68) pengurus Masjid Cipaganti mengisahkan, dulu rumah-rumah tersebut dihuni oleh orang-orang Belanda. Suasana Jalan Cipaganti saat ditinggali oleh orang Belanda jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Tidak ada keramaian bahkan tak diperbolehkan bunyi apapun kala tuan-tuan Belanda ini tidur siang.

"Menurut cerita orang tua dulu. Saat Belanda di sini kalau waktu tidur siang sekitar pukul 11.00-12.00 WIB jarang sekali ada mobil. Tidak boleh ada bunyi apapun. Bahkan suara tukang patri (las besi-red) saja tidak boleh ada," terang Uju yang sudah menjadi pengurus masjid sejak 1963.

Saat itu, tutur Uju, jalan sudah beraspal tapi pohon-pohon belum setinggi dan serimbun sekarang. Dulu tidak diperbolehkan ada papan iklan atau bentuk spanduk promosi lainnya di Jalan Cipaganti ini.

Setelah terjadi nasionalisasi aset-aset milik Belanda, kepemilikan rumah di Jalan Cipaganti pun berubah. Menurut Uju setelah Belanda pergi dari Bandung, para pejabat pemerintah dan militer lah yang kemudian mendiami rumah-rumah di kawasan Cipaganti.

"Tidak tahu bagaimana prosesnya tapi rumah-rumah ini ditempati oleh pejabat atau dari militer," jelasnya. Sampai akhirnya rumah tersebut pun dijual agar bisa dibagi-bagikan ke anak-anaknya sebagai harta warisan.

Uju menjelaskan dirinya sempat menjadi saksi salah seorang penghuni rumah yang berasal dari militer, akhirnya harus menjual rumahnya untuk dibagikan kepada anak-anaknya.

Maka kepemilikan pun beralih lagi. Rata-rata rumah-rumah tersebut dijual kepada warga keturunan Tionghoa. Sampai saat ini menurut Uju hampir semua rumah peninggalan Belanda di pinggir jalan Cipaganti dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Rumah-rumah itu pun sebagian diantaranya diubah dari bangunan aslinya.

Meskipun awalnya diperuntukan sebagai rumah tinggal. Tidak semua rumah di Jalan Cipaganti ini dihuni keluarga. Ada juga yang dijadikan perkantoran atau hotel. Bahkan ada pula yang dibiarkan rusak tidak terpelihara.

Di kawasan ini bisa ditemukan beberapa hotel untuk menginap para pelancong berdiri seperti Nyland Hotel, Puri Cipaganti Hotel atau Nirmala Hotel yang menggunakan bangunan zaman Belanda. Di sebelah Puri Cipaganti Hotel berdiri radio anak muda yaitu Ardan.

Kuliner sajian di Jalan Cipaganti, ada Ayam Goreng Suharti di penghujung Jalan Setiabudhi, Baso Malang dan suguhan iga Si Jangkung di dekat Masjid Cipaganti atau ayam goreng Dahapati di depan pom bensin Cipaganti.

Di Persimpangan antara Jalan Cipaganti dan Jalan Eijkman, kios Martabak Liana yang menyuguhkan es oyen dan bubur ayam Pak Gober bisa ditemukan. Di samping kios Martabak Liana, toko kaset antik untuk para penggemar musik era 60-an sampai 90-an bisa juga dijelajahi. Selain itu, untuk penggemar keramik ada bursa keramik yang bisa disambangi.

Dari Jalan Cipaganti anda bisa menembus keramaian Jalan Cihampelas atau lurus terus menuju Jalan setiabudhi. Hati-hati karena setiap sore arus lalu lintas di Jalan Cipaganti disergap macet. Angkutan umum yang melalui jalan ini adalah jurusan Kalapa-Ledeng, Cicaheum-Ciroyom, St. Hall-Ciumbuleuit dan Margahayu-Ledeng.
(ema/ern)

Mantan Bupati Bandung Ke-6 Gantikan Jalan Cipaganti


Bandung - Butuh waktu yang cukup lama untuk membiasakan masyarakat Bandung menyebut Jalan Cipaganti dengan Jalan A A Wiranatakusumah. Mungkin pula tidak banyak yang tahu siapakah A A Wiranatakusumah ini.

Meskipun dalam beberapa literatur disebutkan penulisan namanya bukan Rd A A Wiranata Kusumah tapi R A Wiranatakusumah.

R A Wiranatakusumah (1794-1829) adalah Bupati Bandung ke-6 yang disebut-sebut sebagai pendiri Kota Bandung atau founding father. Bupati beserta rakyatnya pernah tinggal di Cikalintu yang ada di kawasan Cipaganti sekitar akhir tahun 1808. Perpindahan ini bagian dari proses pembentukan ibukota Bandung.

Awalnya tinggal di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot). Setelah dari Cikalintu pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampung Bogor (Kebon Kawung yang sekarang pada lahan Gedung Pakuan sekarang).

Pembangunan Kota Bandung dipimpin langsung oleh Bupati R A Wiranatakusumah. Kota Bandung sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung diresmikan 25 September 1810.(ema/afz)

Radio City yang Kini Mati


Bandung - Seorang lelaki tua penjaga kios rokok dan minuman Didi Wijaya (80) terduduk sambil menunggu pelanggan di depan gedung bersejarah ini. Dia mengungkapkan, dulu dirinya pernah menjadi saksi pembangunan gedung ini.

Radio City, demikian dituturkan Didi nama awal gedung ini ketika dibangun. Terletak di pusat kota antara Jalan Dalem Kaum, Jalan Balong Gede dan bersebelahan dengan Gedung Pendopo. Gedung ini, awalnya berfungsi sebagai bioskop.

Menurut catatan sejarah gedung ini menjadi gedung bioskop peninggalan kolonial yang masih bertahan sampai saat ini, selain gedung Asia Afrika Culture Center (AACC) bekas bioskop Majestic.

"Ayeuna mah jadi tempat futsal (Sekarang jadi tempat futsal-red)," tutur Didi seolah menyesalkan pengalihan fungsi bangunan tersebut. Menurut Didi gedung ini dijadikan tempat futsal sejak lima tahun yang lalu.

Didi yang sudah berjualan dari tahun 1945 di kawasan ini, berpendapat bermunculannya gedung-gedung bioskop baru di Bandung membuat bioskop ini sepi pengunjung sampai akhirnya mengalami kebangkrutan.

Kini Radio City bernama Dian Kancana Futsal Club. Dibangun pada tahun 1923 oleh C.P. Wolff Schoemaker dengan gara arsitektur Art Neveau (Indo Europeeschen Arshitectuur Stijl).

Gedung yang dibangun di atas tanah seluas 1.105 meter persegi ini, dulunya milik orang Belanda bernama Bussye. Setelah ada gerakan nasionalisasi perusahaan Belanda, pengelolaannya di bawah Perusahaan Daerah Jasa dan Kepariwisataan.

Menurut Asep (31), penjaga gedung Dian Kencana, gedung ini disewakan pada pengusaha swasta. Setiap harinya banyak warga sekitar yang menyewa tempat ini untuk kegiatan futsal dengan tarif Rp 65 ribu per jam.

Dikatakan Asep, untuk masalah perawatan diserahkan kepada pihak penyewa. "Pemeliharaan yang pernah dilakukan adalah pengecatan bagian luar gedung," tutur Asep.

Dari luar, bangunan ini terlihat tidak terpelihara dengan baik. Terlebih ketika memasuki bagian dalam gedung. Saat tidak ada kegiatan futsal, suasana gedung cukup mencekam dengan langit-langit atap yang bolong-bolong. Menaungi lapangan futsal yang luas dengan dua gawang terpasang di bagian tepi.

Sebelum menuju balkon, tampak tanda-tanda bahwa gedung tersebut pernah jadi bioskop. Sebuah papan nama penunjuk pemutaran film masih terpasang di dinding.

Naik menuju balkon lebih menunjukan sosok bangunan tua tak terawat. Cat-cat terkelupas, kotor dan beberapa tumpukan sampah di beberapa bagian. Rasa mencekam kian menguat apalagi dengan pencahayaan ruangan yang begitu kurang. Tampak menyeramkan.
(ema/ern)

Hunting Souvenir Pernikahan di Cibadak Yuk!


Bandung - Rayagung bagi masyarakat Sunda adalah bulan yang istimewa. Bulan ini kerap dijadikan momentum yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Dalam kalender Hijriah, bulan Rayagung adalah bulan Zulhijah. Tapi nama Rayagung lebih banyak digunakan oleh umat Islam di Indonesia.

Imbasnya tentu saja pada pengusaha yang terkait dengan pernikahan, undangan, penata rias, sampai souvenir pernikahan.

Jika anda berniat melangsungkan rencana agung ini di bulan Rayagung yang sebentar lagi akan datang, untuk mencari souvenir, Jalan Cibadak adalah tempat yang bisa anda kunjungi.

Meski hanya beberapa pedagang, termasuk pedagang souvenir kaki lima yang berjualan di trotoar, souvenir-souvenir di tempat ini bisa dikatakan komplit.

Dari mulai kreasi-kreasi murah meriah seperti hiasan tas mini seharga Rp 500 per buah sampai souvenir porselen yang eksklusif seharga Rp 7 ribu per buah.

Dituturkan Sugeng (25) pegawai Vin's Souvenir tempat ini memang paling ramai dikunjungi saat bulan Rayagung. Satu bulan selepas itu kembali sepi lalu ramai kembali.

Meski tidak seramai bulan Rayagung diakuinya pembeli souvenir selalu ada setiap hari. Bahkan menurutnya souvenir-souvenir di tempat ini dalam waktu 3-4 hari saja bisa langsung habis.

Anehnya para pembeli lebih banyak dari luar kota seperti Jakarta. "Untuk warga Bandung sendiri terbilang jarang," tutur Sugeng. Menurut Sugeng, pembeli luar Bandung biasanya membeli souvenir minimal 1.000 buah.

Souvenir tersebut dijual per bungkus yang berjumlah 50-100 buah per bungkusnya. Dimulai dari Rp 30 ribu per bungkus sampai Rp 700 ribu dengan pembelian minimal 100 buah. Jika ingin lengkap dengan kartu ucapan terima kasih minimal pemesanan 300 buah.

Sugeng menuturkan 90 persen souvenir yang ada di tempat ini adalah dari Cina. Kipas merupakan souvenir yang paling banyak dicari pembeli.

Jika ingin lebih komplit lagi anda bisa melengkapi souvenir dengan tas khusus souvenir. Di Jalan Cibadak ini sejumlah pedagang tas souvenir berderet menawarkan pembungkus souvenir yang menarik. Tas-tas tersebut menggantung bergiyang-goyang tertiup angin. Selamat berburu souvenir!
(ema/ern)

Lotek dan Cendol Alkateri, Pasangan Seiya Sekata


Bandung - Namanya juga surga kuliner, tak peduli di manapun tempatnya wisata kuliner Bandung selalu dicari. Seperti di salah satu jalan yang menembus Jalan Asia Afrika dan Jalan ABC, Jalan Alkateri.

Entah bagaimana sejarahnya di jalan sepanjang 200 meter ini berderet kuliner-kuliner istimewa misalnya Warung Kopi Purnama atau Ronde Jahe Alkateri.

Tidak hanya itu, hampir mendekati ujung Jalan Alkateri ke arah Jalan ABC satu lagi kuliner lezat murah meriah bisa dimasukan dalam agenda wisata kuliner anda.

Di warung instan yang didirikan di trotoar ini, Oom (42) dengan loteknya dan Asep (31) dengan cendol putihnya berjualan secara berdampingan. Kedua jenis kuliner yang mereka jual ini ternyata bisa membuat pengunjung berjejal terutama akhir pekan.

Bahkan seperti seiya sekata mungkin juga sehidup semati jika lotek habis maka cendol pun habis. Begitu pula jika lotek tersisa cendol pun akan tersisa.

Kelezatan lotek Alkateri ini mulai ada tahun 1984. Usaha itu dirintis oleh ibu Oom kemudian diteruskan olehnya. Setahap demi setahap usaha loteknya terus meningkat dan menambah jumlah pelanggan.

Meski dari dulu sampai sekarang tempat yang dipilih adalah trotoar. Tapi hal itu tidak membuat pelancong Jakarta sungkan untuk datang. Malah merekalah yang berjubel di tempat ini ketika akhir pekan.

Ketika memesan lotek maka Oom akan bertanya 'pait'(pahit-red)'?. Artinya apakah loteknya akan menggunakan buah pare atau daun pepaya yang memang rasanya pahit. Setelah itu barulah Oom bertanya tingkat kepedasannya.

Proses meracik lotek ala Oom terbilang cepat sebab Oom memakai bumbu kacang instan. Sebelumnya bumbu kacang yang sudah berbumbu di racik di rumah. Proses pemblenderan kacang membuat tekstur bumbu tampak halus sehingga mudah menyatu dengan sayuran.

Uniknya, kerupuk yang biasanya dimakan terpisah juga dicampurkan dengan adonan lotek saat dalam ulekan. Alhasil, renyahya kerupuk akan berbaur dengan suap demi suap lotek.

Lotek tidak disajikan dalam piring tapi dalam kertas nasi yang dibuat kerucut mirip seperti es krim. Disajikan dengan taburan bawang goreng lalu diselipkan kerupuk. Dari tampilan saja sudah membuat penasaran.

Kelezatannya pasti sudah begitu pas di lidah banyak orang. Sebab dalam satu hari saja Oom mengaku dalam satu hari bisa menjual sampai 200 bungkus. Jumlah yang sangat banyak bukan? Tidak terbayang ketika akhir pekan yang jumlah pengunjungnya tambah banyak.

Seperti tidak bisa dipisahkan, rata-rata jika memesan lotek pastilah memesan cendol. Mungkin cendol buatan Asep ini satu-satunya cendol berwarna putih di Bandung. Asep mmeulai usaha cendol ini tahun 1995 dan langsung berdampingan dengan Oom di Jalan Alkateri.

Cendol terbuat dari tepung aren (aci kawung-red) yang juga digunakan untuk pembuatan goyobod. Masih ingat goyobod kan? Cendol ini memiliki bentuk yang lebih pipih. Teksturnya juga lebih lembek. Disajikan begitu khas yaitu di dalam gentong sehingga disebut cendol gentong.

Menurut Asep, jika menggunakan gentong cendol yang sudah dituangi es batu akan lebih lama dingin. Jika cendol hijau biasanya menyajikan santan dan gula satu persatu. Cendol gentong sudah dicampur santan saat dalam gentong. Kalau sudah siap diminum barulah ditambahkan cairan gula aren.

Jajan murah meriah ini hanya perlu mengeluarkan kocek Rp 8.500 yaitu lotek Rp 6 ribu dan cendol Rp. 2.500. Menu lain yang juga bisa dinikmati adalah soto Bandung yang satu porsinya Rp 7 ribu. Sikat saja!(ema/afz)

Redupnya Primadona Kelom Geulis


Bandung - Dulu, mojang priangan tidak dikatakan nge-tren kalau tidak memakai Kelom Geulis Keng. kini pasar pun mulai sepi berganti dengan tren lain yang berputar tak henti. Kelom geulis jarang diminati.

Tapi Kelom Geulis Keng tetap bertahan sebagai satu-satunya toko kelom geulis di Bandung sejak tahun 1942.

Adalah Yukim (61) yang meneruskan usaha kelom geulis yang dirintis sang kakek yaitu Keng. Keng, hijrah dari Tasik ke Bandung tahun 1940-an yang bertepatan dengan masa penjajahan Jepang.

Tahun 1942 mulailah Keng merintis usaha kelom geulis di Jalan Pecinan lama karena Keng termasuk warga keturunan Tionghoa.

"Tahun 50-an adalah zaman keemasan Kelom Geulis Keng. Saat itu model-modelnya jadi tren. Siapa yang tidak memakai Kelom Geulis Keng disebut ketinggalan zaman," tutur Yukim.

Yukim menuturkan saat itu, kelom geulis dipakai utuk mempercantik busana kebaya. Penggunanya biasanya turut melengkapinya dengan payung Tasik.

Kelom Geulis Keng pun mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Sekitar tahun 80-an toko Keng pun pindah dari Pecinan lama ke Cihampelas. Yukim mengaku Cihampelas memang tempat tinggal mereka sejak dulu namun membuka toko di Pecinan.

Di tahun ini usaha kelom geulis dimulai lagi dari nol. Menurut cerita Yukim dalam pasang surut tadi ada banyak kendala bagi perkembangan Kelom Geulis Keng termasuk faktor tren. Bahkan selama sepuluh tahun Kelom Geulis Keng pernah menghilang dari peredaran.

Berbekal semangat, Yukim pun mneruskan usaha ini karena dirinya tidak ingin mengerjakan sesuatu setengah-setengah. "Apa yang dikerjakan harus dijiwai. Semua tidak bisa instan," ujar Yukim.

Kini dengan menggunakan pola manajemen keluarga Yukim pun menjalankan usaha ini. Meski tak lagi menjadi primadona karena digempur oleh banyak pesaing Kelom Geulis Keng mencoba untuk terus eksis. Berharap kejayaan zaman keemasan bisa dikembalikan.(ema/afz)

Jalan Pasteur, Gerbang Penyambut Para Pelancong


Bandung - Tercatat tiga bangunan peninggalan zaman kolonial berdiri di jalan ini, yaitu Rumah Sakit Hasan Sadikin, kantor BUMN PT Biofarma, dan Panti Asuhan Dana Mulya. Satu diantaranya menjadi cikal bakal penamaan jalan, yang menjadi jalur utama para pelancong Jakarta untuk pelesir di Parisj Van Java.

Jalan Pasteur. Apa yang anda pikirkan ketika melewati Jalan ini? Pernahkah terpikir dari mana nama Pasteur ini berasal. Setiap nama memang punya cerita, begitu pun untuk sebuah jalan.

Mungkin tak pernah terpikir bahwa nama Jalan Pasteur terkait dengan keberadaan Bio Farma di Jalan Pasteur No 28. Menurut Rizki W Soemadipradja, Dosen Hukum Pranata Pembangunan Arsitektur Itenas, nama Pasteur diambil dari nama ahli kimia dan biolog Perancis Louis Pasteur yang mengembangkan tekhnik pasteurisasi.

Biofarma, ungkap Rizki, adalah salah satu lembaga yang mengembangkan vaksin yang dasar penemuannya dari Louis Pasteur. Nama Pasteur sendiri menjadi lekat karena Bio Farma pernah menyandang kata Pasteur di belakang namanya.

Bio Farma didirikan 1890, yang kala itu bernama Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur. Nama tersebut pun diubah oleh pemerintah Indonesia ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda antara tahun 1955-1960. Hingga akhirnya dari tahun 1997 sampai sekarang menjadi Badan usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).

Selain tiga bangunan bersejarah banyak tempat yang menarik di sepanjang Jalan Pasteur. Terlebih jika terus menelusuri Jalan Terusan Pasteur atau Jalan DR Djunjunan yang membelah Jalan Pasirkaliki ini.

Keberadaan tol Cipularang yang mempersempit jarak antara Bandung dan Jakarta, membuat jalan ini seperti gerbang selamat datang sekaligus selamat jalan. Lihat saja di sepanjang jalan tawaran wisata belanja kuliner begitu menggiurkan.

Beberapa puluh meter dari gerbang tol, kelezatan ikan pesmol Cianjur langsung menyambut. Rupa-rupa rumah makan Sunda, dengan ciri khasnya masing-masing akan membuat anda pusing untuk menentukan.

Misalnya rumah makan Manjabal, Saung Kabayan, Raja Sunda, Warung Cepot, Rumah Makan Oneng, Rumah Makan Wibisana, Griya dahar Ibu Kadi di mana Surabi Imut sudah menyambut di muka gerbang atau Grobak Rakyat di dalam kemegahan Giant Hypermarket yang juga menyajikan makanan tradisional. Kangen dengan yoghurt? Tak perlu jauh ke Jalan Aceh, BMC sudah membuka cabangnya di Jalan Terusan Pasteur beberapa bulan lalu.

Ingin makanan yang lebih eksotis? Rumah Makan Naya menyediakan olahan daging ular selain menu utama lainnya yaitu Chinese Food. Untuk yang hobi makan fast food tentunya bisa menikmati beberapa tempat makan fast food di Bandung Trade Center. Beberapa rumah makan lainnya pun bisa menjadi pilihan dengan kekhasan masing-masing. Tentunya disesuaikan dengan selera anda.

Beberapa hotel seperti Grand Aquila, Hotel Nyland atau Topaz Galeria Hotel bisa menjadi pilihan bermalam agar lebih dekat menuju tol Cipularang. Jika akan pulang, deretan penjual oleh-oleh sudah menyambut ketika turun dari jembatan Pasupati.

Tapi anda harus cukup berhati-hati, arus kendaraan di jalan ini bisa terbilang cukup kencang. Meski ada zebra cross sebaiknya pilih jembatan penyeberangan agar lebih aman. Untuk berjalan-jalan di Kota Bandung, sederetan taksi selalu siap di sepanjang jalan ini untuk menghantarkan anda menuju tempat asyik lain di Kota Bandung.
(ema/ern)

Kereta Api Mini dan Kolam Renang, Sedot Pengunjung TLL


Bandung - Ada 12 wahana bermain yang tersedia di Taman Lalu Lintas (TLL) Ade Irma Suryani, Bandung. Dari jumlah tersebut, rupanya kereta api mini dan kolam renang paling banyak menyedot pengunjung.

Pantauan detikbandung di lokasi rekreasi keluarga tersebut, Minggu (5/10/2008), terlihat ratusan antrean pengunjung yang menunggu giliran menaiki kereta api mini. Sementara di lokasi wahana kolam renang, pengunjung yang mayoritas anak-anak di bawah usia 8 tahun, tampak berjejal di dua kolam yang tersedia.

Menurut Kepala Sarana dan Umum TLL Ade Irma Suryani, Asep Zulkifli, wahana kereta api mini itu memang menjadi andalan. Alhasil, anak-anak pun begitu gemar menaiki kereta api mini yang bentuknya menyerupai kereta api sungguhan itu.

"Rata-rata mereka suka bentuknya. Selain itu, pengunjung bisa menikmati suasana sekeliling taman dengan menggunakan kereta," ujar Asep kepada detikbandung, Minggu (5/10/2008).

Sedangkan kolam renang, tambahnya, karena anak-anak senang bermain air. Terlebih kedalaman kolam yang berada di tempat rekresi keluarga tersebut, ukurannya setinggi lutut orang dewasa. Sehingga, orangtua tidak terlalu was-was untuk mengawasi anak mereka saat bermain di wahana tersebut.

Walaupun dua wahana tersebut ramai dikunjungi, bukan berarti wahana lainnya sepi pengunjung. Di kolam pancing juga terlihat dipenuhi anak-anak yang sedang memancing ikan plastik. Mereka mancing menggunakan kail yang ujung kail tersebut disimpan magnet untuk menarik ikan-ikan yang juga ditempeli magnet.

Selain itu, tiket untuk satu wahana bermain di tempat ini tidak begitu mahal. Rata-rata, tiketnya Rp 3.000 per orang. Dengan jumlah rupaih tersebut, pengunjung bisa langsung menikmati wahana yang ingin dicoba.

Ngabuburit Lihat Bandung dari Atas Menara


Bandung - Bandung diriung ku gunung. Untaian pegunungan yang mengelilingi Bandung itu bisa dilihat meski dari kejauhan dari balik jendela menara Masjid Alun-alun Bandung. Tak hanya itu, dari atas sana mata seluas mata memandang panorama Kota Bandung terlihat dari barat ke timur juga utara ke selatan.

Kendaraan yang lalu lalang begitu pun para pejalan kaki terlihat begitu kecil. Gedung-gedung tinggi yang biasanya membuat wajah tengadah untuk melihat seolah menjadi begitu kerdil.

Begitulah wisata murah meriah yang ditawarkan Masjid Alun-alun Bandung melalui menaranya. Meski tak setinggi menara Petronas di Malaysia, wisata ini bisa jadi alternatif tempat ngabuburit.

Jika di luar bulan ramadan wisata menara tersebut hanya dibuka akhir pekan, selama bulan ramadan warga Bandung bisa setiap hari berkunjung sambil ngabuburit.

Seperti yang dilakukan Santosa (44) warga Antapani yang seringkali sengaja datang untuk berwisata di tempat ini. Sore itu, Santosa mengajak putrinya yang berusia 9 tahun untuk menunjukan wajah Bandung dari atas menara.

"Selama ramadan saya sudah empat kali ke sini sambil ngabuburit," ujar Santosa. Namun di luar ramadan pun Santosa mengaku cukup sering datang berkunjung bersama keluarga.

"Ya, wisata murah meriah lah. Lumayan bisa lihat Bandung dari atas sini," ujarnya sambil menunjuk satu tempat pada putrinya.

Bagaimana tidak murah meriah, hanya dengan Rp 2.000 untuk orang dewasa dan Rp 1.000 untuk anak kecil, pengunjung bisa melewatkan waktu sambil menunggu bedug maghrib tiba.

Menurut penjual karcis Wisata Menara Masjid Agung Yayat Ruhiyat (31) pengunjung di hari biasa bulan puasa bisa mencapai 200 orang sedangkan di akhir pekannya bisa mencapai 300 sampai 400 orang. Penggemar wisata ini tak hanya warga Bandung tapi juga warga luar Bandung terutama saat akhir pekan

"Kalau di luar ramadan hanya buka akhir pekan pengunjung sekitar 200 orang," tutur Yayat. Menurut Yayat kebanyakan pengunjung memanfaatkan wisata rohani di menara Masjid Agung sambil ngabuburit.

Meski sudah dibuka sejak pukul 10.00 WIB, para pengunjung mulai ramai mendekati waktu buka puasa sekitar pukul 17.00-17.30 WIB. Jika pengunjung ramai, hanya diberi waktu 15 menit saja untuk menatap Kota Bandung dari atas menara. Tapi jika sepi maka bisa sepuasnya berwisata sambil bersantai.

Menurut Yayat menara setinggi 87 meter ini sudah ada sejak tahun 2003 bersamaan dengan selesainya pembangunan Masjid agung. Namun ramadan kali ini menara yang digunakan hanya menara bagian selatan karena menara utara sedang dalam perbaikan.

Untuk menuju menara, pengunjung akan diantarkan melalui lift yang dijaga seorang operator. Setelah sampai di lantai 19, pemandangan Kota Bandung segera menyambut dari balik jendela di sekeliling menara yang membulat. Pemandangan Bandung yang dikelilingi oleh gunung-gunung pun dipandang sejuk meski dari kejauhan.(ema/ern)

Swarha, Gedung Tua yang Salahi Tata Ruang


Bandung - Keberadaan gedung Swarha di Jalan Asia Afrika sebagai salah gedung tua yang di Bandung dinilai tidak cocok dengan konsep tata ruang. Tak hanya itu, gedung tua ini pun tak punya nilai sejarah.

Tidak hanya itu, Head of Natural & Build Environmet Bandung Heritage, Dibyo Hartono menyampaikan, dari sisi sejarah, bangunan tersebut dianggap tidak terlalu bersejarah, tidak terlalu memiliki arsitektur tinggi dan tidak terlalu bagus.

Memandang persoalan gedung tua seperti halnya gedung Swarha harus dilihat dari UU Pelestarian Cagar Budaya. Di mana untuk bangunan yang usianya lebih dari 50 tahun memang harus diperhatikan mengenai perawatan dan pemeliharaannya. Namun belum tentu gedung tersebut masuk sebagai bangunan cagar budaya.

"Untuk orang bule, bangunan yang berada di pojok jalan tidak cocok dengan tata ruang," ujar dosen ITB ini.

Bangunan Swarha yang semula difungsikan sebagai hotel tersebut, menurutnya tidak memiliki ruang terbuka seperti halnya kantor pos Bandung atau Hotel Homan yang juga terletak di Jalan Asia Afrika.

"Gedung Swarha terlalu mepet dengan jalan. Dengan bentuk bangunan seperti itu tidak cocok dengan tata ruang," jelasnya.

Lagipula, sambung Dibyo, dilihat dari sisi sejarah bangunan ini tidak terlalu memiliki nilai sejarah. Hanya sedikit terkait dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika 1955. Saat itu, gedung ini dijadikan hotel untuk menginap para tamu undangan dan wartawan yang meliput KAA.

Sebaiknya, lanjut Dibyo, gedung tersebut dihancurkan saja dan dibangun sebagai perluasan Masjid Alun-alun Bandung. Meski disayangkannya bahwa hal itu tidak terjadi karena kini Mesjid Agung diperluas dengan mengambil area taman Alun-alun.

Gedung swarha yang terletak di Jalan Asia Afrika di depan Kantor Pos Besar Bandung saat ini memang dalam kondisi tidak terawat.

Hanya lantai bawah yang diisi oleh pedagang terutama pedagang sandang. Lantai lainnya dibiarkan kosong dengan kondisi cat yang mengelupas, beberapa kaca jendela pecah dan bolong. Hingga saat ini gedung tersebut masih berdiri tanpa sentuhan untuk membuat gedung ini lebih berarti.(ema/ern)

Bermain dan Melepas Penat di Taman Ganesha


Bandung - Rimbunnya daun-daun pohon filicium begitu meneduhkan di tengah panasnya cuaca Bandung. Semilir angin yang meninabobokan berpadu dengan kicauan burung menawarkan rasa betah.

Beberapa orang terlihat asyik dengan kegiatannya di bangku-bangku Taman Ganesha. Ada yang serius di depan laptop, ada sekelompok orang yang bercengkerama.

Di satu sudut terlihat ada yang pasangan yang tampak asyik bercengkrama, ada juga yang sengaja tiduran di atas bangku, bahkan beberapa mahasiswa ITB terlihat memainkan gitar untuk menikmati sejuknya suasana. Di kolam air mancur, yang air mancurnya tak memancar, beberapa orang tengah asyik memancing.

Tiga orang bocah begitu asyik mengayuh sepeda mengelilingi jalur-jalur yang ada di Taman Ganesha. Sesekali tawa riang keluar dari mulut mereka. Hudan (10) dan kedua kawannya hampir setiap hari melewatkan waktu untuk bersepeda di Taman Ganesha. Hudan mengaku biasanya mereka bersepeda usai pulang sekolah pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB.

Dia mengaku lebih menyukai bersepeda di taman daripada bermain play station atau permainan lainnya. "Bersepeda biar sehat," tutur siswa kelas 4 SD itu dengan terengah-engah.

"Di sini juga sejuk," timpal kawannya yang lain, Nadir. Nadir mengaku senang bisa bermain di Taman Ganesha ini, karena selain sejuk juga jalur-jalurnya pas untuk bermain sepeda.

Di sudut lain, Adi (31), terlihat sedang memijit-mijit tombol laptop dengan serius.

"Ya, baru bulan puasa saja saya ke sini karena waktunya lebih luang. Tempat ini pas lah untuk sejenak menenangkan pikiran," ucap pria yang berprofesi sebagai konsultan ini sambil tersenyum.

Adi mengaku biasanya dia datang ke Taman Ganesha dari pukul 13.00 WIB sampai menjelang ashar. "Ya sekalian shalat di Masjid Salman," jelasnya.

Adi menyayangkan, saat ini taman kota di Kota Bandung sangat kurang. Padahal keberadaannya begitu penting di tengah penting. Selain sebagai paru-paru kota juga bisa menjadi alternatif tempat untuk bersantai.

Seperti Taman Ganesha yang ternyata menjadi ruang publik yang nyaman untuk rekreasi dan melepas penat. (ema/ern)

Pasar Baru, Pusat Belanja Sejak Dulu Kala


Bandung - Memposisikan sebagai kota wisata belanja dengan FO dan distronya tak membuat pusat-pusat perbelanjaan lainnya di Bandung surut pengunjung.

Pasar Baru yang terletak di Jalan Otto Iskandar Dinata misalnya sampai saat ini masih menjadi tujuan masyarakat Bandung untuk mencari barang-barang murah meriah sampai kelas kakap.

Secara historis Pasar Baru pernah tercatat sebagai pusat perekonomian di Bandung pada abad ke-19. Dalam catatan Bandung Heritage, Pasar Baru dibangun pada tahun 1896. Saat itu digunakan untuk menampung pedagang yang membuka usahanya di sekitar Alun-alun dan Sumedangweg yang sekarang dinamakan Jl. Otista.

Hingga tahun 1926, Pasar Baru terdiri dari bangunan semi permanen dan kumuh. Namun kekumuhan itu segera berganti seiring dengan pesatnya pertumbuhan kawasan Stasiun yang berada di dekatnya. Pada tahun tersebut didirikanlah bangunan pasar yang baru.

Dengan berdirinya bangunan baru tersebut kawasan ini pun tumbuh menjadi tempat favorit warga kota untuk bersantap malam dan berbelanja. Pasar ini pernah dijuluki sebagai pasar terbersih di Nusantara pada tahun 1936.

Perombakan kembali terjadi di tahun 70-an. Pasar diubah menjadi bangunan bertingkat. Namun sayang banyak ruang-ruang bangunan yang kurang dimanfaatkan dengan baik sehingga jadi ruang terabaikan.

Akibatnya, akhir tahun 90-an, bangunan Pasar Baru dikenal sebagai tempat yang kumuh dan tidak terawat. Barulah pada tahun 2004 pasar baru mengalami perombakan menjadi pasar semi modern dengan nama Pasar Baru Trade Center.

Diakui Supervisor Promotion Pasar Baru Trade Center, G. Suga Setia bangunan pasar baru mengalami perombakan sebanyak tiga kali. Sampai akhirnya sekarang pasar baru sudah menjejakan sebagai pasar tradisional yang modern.

"Saat ini Pasar Baru sudah memasuki generasi ke-4 dengan tiga kali renovasi. Terakhir Agustus 2003," tutur Suga.

Sebelumnya, tutur Suga, Pasar baru masih kumuh dan becek kini sudah disetarakan sehingga konsepnya pun berubah menjadi trade center.

Terdiri dari 12 lantai dengan luas keseluruhan 10 hektar. Di mana lantai 1-5 yang efektif untuk perniagaan sandang sedangkan lantai 6 untuk food court. Basement 1 dan basement 2 digunakan untuk pasar tradisional. Sedangkan Lantai lainnya digunakan untuk mushola dan parkir.

"Meski sudah modern kami tidak ingin menghilangkan konsep pasar tradisionalnya," ujar Suga. Saat ini, tak kurang dari 3.000 pedagang bernaung di Pasar Baru.

Berbagai komoditi menjadi produk-produk yang dijual untuk menarik konsumen. "Kami masih memposisikan sebagai tempat yang menjual barang kualitas harga murah dari mulai kelas teri maupun kelas kakap," ungkap Suga.

Dituturkan Suga, transaksi yang terjadi dalam satu hari bisa mencapai Rp 1 miliar. "Rata-rata para pedagang di sini bisa menghasilkan omzet Rp 3- 5 juta per harinya," tambah Suga.(ema/afz)

Sepenggal Cerita Babakan Siliwangi


Bandung - Papan nama usang berwarna biru muda yang pudar disertai warna karatan di beberapa bagian terpancang dengan tulisan Rumah Makan Babakan Siliwangi sedikit bersembunyi di balik dedaunan. Namun papan inilah yang menunjukan kawasan ini sebagai Babakan Siliwangi, paru-paru kota yang selalu menuai kontroversi.

Rumah makan ini berdiri di lahan yang disebut Lebak Siliwangi. Akibat kebakaran tahun 2003 lalu, yang tertinggal hanya reruntuhan.

Berada di persimpangan Jalan Cihampelas, Jalan Ciumbuleuit, dan Jalan Tamansari. Dari luar tak tampak seperti tempat wisata. Tukang tambal ban menyambut kedatangan kala memasuki kawasan ini. Kemudian kios kecil dengan baju-baju bergelantungan di tali jemuran.

Menuruni beberapa anak tangga atau tanah yang melandai sampai pulalah di Jalan besar yang menghubungkan Jalan Cihampelas dan Jalan Ganesha. Jalan yang diapit oleh rimbunnya pepohonan.

Dua galeri seni berdiri berdampingan. Di kedua galeri yaitu Mitra Art Center dan Sanggar Olah Seni (SOS) ini tampak beberapa orang tengah memulaskan warna di atas kanvas. Mungkin hanya dua galeri inilah yang masih memberikan identitas bahwa tempat ini sebuah kawasan wisata.

Menurut Ketua SOS, Syarif Hidayat asal mula nama Lebak Siliwangi adalah Lebak Gede. Walikota Bandung saat itu, Otje Djunjunan melihat kawasan Lebak Siliwangi potensial untuk dijadikan tempat wisata.

Maka pada tahun 1970-an dibuatlah rumah makan dengan nama Rumah Makan Babakan Siliwangi. Dari sana pula pemerintah Jawa Barat melihat wisata lainnya. Maka atas gagasan seniman Popo Iskandar, Barli, Tony Yusuf dan seniman lainnya Sanggar Seni SOS didirikan pada 1982. Peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pariwisata saat itu Jove Ave.

Kedua galeri ini menawarkan pembelajaran dan pembinaan akan seni, tak hanya seni rupa tapi juga teater, musik dan seni lainnya. Diciptakan sebagai ruang budaya antara seniman dan masyarakat.

Syarif menuturkan, setiap bulannya pada minggu pertama di tempat ini biasa diadakan seni adu domba. "Kalau dulu adu domba ini lebih sering dilakukan lagi," jelasnya.

Menyusuri jalanan hingga menembus Jalan Cihampelas, kawasan ini terlihat tidak begitu terawat. Kawasan yang secara geologi sebagai tempat resapan air ini tercatat sebagai salah satu kawasan terbuka hijau di Kota Bandung.

Pohon-pohon rimbun hijau hampir memenuhi keseluruhan wilayah. Dingin dan sejuk jika dibandingkan kawasan olahraga Sabuga yang berbatasan langsung dengan kawasan ini yang tampak panas, gersang dan berdebu. Namun di beberapa titik tampak tumpukan-tumpukan sampah di antara pepohonan yang juga tidak tertata. Reruntuhan bangunan yang tak lagi terjamah serta beberapa gubug kecil berdiri menjadi 'penghias' lain.

Untuk tempat seluas itu, hanya seorang perempuan bernama Eli yang dipercaya pemerintah untuk menjaga tempat ini. Dia mengaku menggantikan suaminya yang dulu menjaga tempat ini. "Saya menjaga agar tempat ini tidak digunakan oleh orang yang macam-macam," jelasnya.

Eli juga mengaku tidak ada yang menjaga datang untuk melakukan pemeliharaan lingkungan di tempat ini.

Menurut Pengelola Mitra Art, Herman R Suwarna yang memelihara lingkungan masih hanya orang-orang yang tinggal di kawasan ini termasuk para seniman. Herman mengusulkan penerpaan konsep eco wista di Babakan Siliwangi, misalnya dengan menata pohon dan memberikannya nama latin untuk menambah wawasan pengunjung.

Tahun 2001 lalu, penataan dan pengelolaan kawasan ini menjadi kawasan wisata terpadu dicetuskan Walikota Bandung saat itu, Aa Tarmana. Di dalamnya akan dibangun apartemen, wahana kawula muda, pusat seni, serta rumah makan.

Perencanaan yang sudah menggandeng developer PT EGI ini menjadi kontroversi baru meski PT EGI menjanjikan akan melakukan penataan terhadap pohon-pohon di tempat ini.

Kontroversi itu kini kembali mencuat. Berbagai kepentingan saling bersuara untuk mendudukan kawasan ini pada posisi semestinya. Posisi dari sudut pandang yang berbeda di mata pemerintah, pengembang, seniman dan masyarakat.

Semua memiliki dalih dan kepentingan termasuk kekhawatiran para masyarakat dan seniman akan terancamnya kembali satu paru-paru kota. Sekaligus hilangnya satu wilayah kreatifitas yang menjadi media pembelajaran bagi tangan-tangan pecinta seni.

Memang, oase hijau ini seperti kue lezat yang memikat. Dalam perjalanannya menuai kontroversi panjang dengan mempertanyakan, siapa yang akan menikmati kue lezat ini nanti?
(ema/ema)

Babakan Siliwangi Tempo Dulu


Bandung - Babakan Siliwangi (Baksil) dulu terkenal dengan nama hutan Lebak Gede (Lembah Besar - red). Pembangunan demi pembangunan mengiringi kisah kawasan tersebut.

Seperti yang dituturkan oleh penulis buku 'Album Bandung Tempo Dulu', Sudarsono Katam (63). Menurutnya di tahun 1930-an di Lebak Gede tersebut terdapat hamparan sawah yang sangat luas. Sekitar tahun 1940-an di sebelah barat Baksil (sekarang Sabuga - red) bermunculan rumah-rumah penduduk.

"Tahun 1940-an banyak rumah-rumah penduduk dibangun di sebelah barat Baksil. Kondisi tersebut hingga tahun 1960-an," kata Katam saat ditemui detikbandung di kediamannya di Jalan Tanjung, Jumat (29/8/2008).

Baru ditahun 1970-an, masih menurut Katam, muncul komplek seni dan budaya serta rumah makan di Baksil.

"Baru ditahun 1990-an, rumah penduduk di kawasan tersebut tidak ada lagi karena saat itu digusur oleh ITB untuk pembangunan Sabuga dan Sarana Olah Raga Ganesha (Sorga)," tutur pria tua yang masih aktif menulis buku ini.

Katam juga menyayangkan rencana pembangunan di kawasan Baksil. Menurutnya Baksil harus dibiarkan sebagai ruang terbuka hijau.

"Ruang terbuka di Kota Bandung sangat kurang dan kualitas udara saat ini yang buruk. Maka itu perlu adanya paru-paru kota. Kalau mau dibangun, bangunlah taman kota," kata Katam.

Seperti diberitakan sebelumnya, Dinas Tata Kota dan Cipta Karya Kota Bandung mengaku telah mengeluarkan IMB untuk pembangunan rumah makan di kawasan Baksil bagi pengembang PT Esa Gemilang Indah (Istana Group).

Tak hanya itu, dinas itu pun tengah mengurus izin lainnya di kawasan tersebut selain rumah makan. Namun mereka enggan merinci izin apa saja yang sedang diproses.

Kontroversi penataan kawasan Baksil sebenarnya sudah muncul sejak lama. Puncaknya, saat adanya rencana Baksil yang merupakan ruang terbuka hijau alamiah akan dibangun komplek cottage pada 2001, yang di dalamnya tak hanya dibangun rumah makan dan pusat kesenian, juga akan dibangun apartemen.

Konflik Baksil bermula dari tarik-menarik kepentingan tentang siapa yang paling berhak menguasai dan mengelola kawasan tersebut. Pada tahun 1970-an, tarik-menarik kepentingan ini melibatkan Pemkot Bandung dan ITB, namun kemudian mencapai titik temu. Di mana, pada 1990-an, kawasan Baksil dibangun menjadi kawasan wisata alam yang terbuka untuk umum dan tidak eksklusif untuk ITB.(afz/ern)

City Of Flowers


Bandung - Sungguh tepat bila Kota Bandung disebut juga dengan Kota Kembang atau Kota Bunga. Ini adalah alternatif lain selain wisata belanja, kuliner dan rekreasi. Bunga memang menambah cantiknya Kota Bandung.

Untuk menuju wisata bunga kita dapat melalui Jalan Dago menuju Lembang, keluar di sekitar Maribaya. Di area ini kita dapat melihat tanaman kaktus dari berbagai macam jenis dan tingkatan harga serta usianya ( ada yang telah berusia 22 tahun). Ada beberapa supermarket bunga yang dapat menimbulkan rasa kecintaan kita terhadap tanaman.

Setelah menikmati dua atau tiga supermarket tanaman, kita lanjutkan perjalanan dengan melewati Pasar Lembang (jangan lupa dengan tahu tauhid yg lezat). Kita turun menuju area Cihanjuang dan kita berbelanja tanaman di areal Cihideung, Lembang.

Sepanjang mata memandang akan dipenuhi dengan bunga. Berbagai macam bunga dan tanaman terdapat di areal ini, yang dapat menginspirasikan taman rumah kita. Di situ pun banyak rumah makan yang terkenal dengan berbagi keunikan dan konsep penyajiannya seperti Kampung Daun, Sapu Lidi, The Peak dan beberapa strawbery farm yang dapat kita petik langsung.

Dari sinilah Kota Bandung menjadi Kota Kembang.

Mahdi
mahdi@fumira.co.id
Bukit pakar timur IV C4(lom/lom)

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons