Merchandise Persib Diborong Bonek

Selasa, 30 Juni 2009 - 15:37 wib
Yugi Prasetyo - Koran SI
F: Yugi Prasetyo

BANDUNG - Walaupun para Bonek ke Bandung untuk mendukung tim kesayangannya Persebaya melawan PSMS Medan. Namun tidak sedikit dari mereka yang sengaja memburu pernak-pernik Persib Bandung di di Stadion Siliwangi venue pertandingan play-off tersebut.

Mereka ada yang membeli kaos dan juga syal. Hal ini menandaknya adanya jalinan persahabatan diantara kedua tim tersebut. "Lumayan buat oleh-oleh ke Surabaya nanti," ungkap Darianto, salah satu Bonek yang berbelanja syal dan juga topi khas Viking.

Bahkan pedagang pun merasa diuntungkan dengan adanya pertandingan Persebaya melawan PSMS Medan di kota Bandung. Mereka bisa meraup rejeki. Tak jarang beberapa dari pedagang kaos yang biasa menjajakan merchandise Viking itu sengaja membuat merchandise Bonek.

"Mencari berkah sedikit dari pertandingan ini lumayan buat tambah-tambah karena suporternya persebaya banyak yang datang ke Bandung, makanya saya sengaja buat," ujar Ujang salah seorang pedagang kaos didepan Stadion Siliwangi.
(zwr)

Ahmad Dhani Desain Kaos

Kamis, 28 Mei 2009 - 09:28 wib
Tomi Tresnady - Okezone

JAKARTA - Ahmad Dhani mulai mendesain kaos sendiri. Dia merancang kaos dengan gambar pilihan dan diberi kata-kata unik. Musisi kenamaan itu alih profesi menjadi desainer?

Rupanya tidak. Dhani bekerja sama dengan salah satu produk denim. Dia difasilitasi untuk merancang kaos.

"Sejak 2003, saya selalu buat kaos sendiri. Sekarang saya buat kaos difasilitasi Lee Cooper, terima kasih. Nanti dua bulan sekali rencananya ganti desain. Saya jamin lebih bagus desainnya dari saat ini. Desainnya pure (murni) dari meja komputer saya sendiri," beber Dhani di kantor Manajemen Republik Cinta, Jalan Pinang Mas III No E1-E2, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (27/5/2009).

Inspirasi Dhani dalam merancang kaos bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Pernah ketika naik pesawat selama dua jam, Dhani tidak buang-buang waktu. Dia langsung membuat desian kaos.

"Ada beberapa foto Soekarno yang saya kumpulkan di tahun 1950-an menghiasi desain saya. Pastinya kaos tersebut berbau rock 'n roll. Jadi, sangat sesuai karena sehari-hari pun saya sering pakai kaos. Sampai Al, El, Dul (anak Dhani) sering pakai kaos, terutama warna hitam," promonya.

Uniknya, tak semua desain kaos Dhani langsung disetujui oleh Lee Cooper. Banyak rancangan kalimat yang disusun Dhani untuk desain kaos disaring lagi dan tidak disetujui.

"Ada beberapa statement (pernyataan) saya terlalu kontroversial, disaring lagi oleh Lee Cooper. Yang kontroversial dan berbau politik tidak dicantumkan," imbuhnya. (ang)

Kaos "Tahanan KPK" Dijual Bebas


Jum'at, 22 Agustus 2008 - 10:09 wib
Fitra Iskandar - Okezone

JAKARTA - Anda mungkin menganggap mengenakan pakaian tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan sangat memalukan. Padahal tidak juga. Bagi yang senang tampil sensasional, mengenakan baju tahanan KPK malah bisa membuat orang yang mengenakan tampil gaya. Lho...

Pakaian tahanan korupsi itu tentu saja bukan asli yang dikeluarkan KPK, melainkan buatan Robbi Irawan. Kaos yang dirancang pemuda asal Surabaya itu memang jauh dari kesan pakaian tahanan umumnya. Sebab desainnya cukup kasual dan khas distro, yang kini tengah digandrungi anak muda.

Hampir serupa dengan pakaian tahanan yang disodorkan ICW ke KPK, pakaian tahanan imitasi seharga Rp55 ribu yang ditempeli tulisan di dada bagian kanan dan punggung, "Tahanan KPK kasus korupsi," Namun kaos buatan Robbi itu berwarna hitam polos.

"Kaos berani malu," tantang Robbi dalam halaman situs yang ia gunakan untuk menjual kaos-kaos buatannya itu.

Mengenakan seragam tahanan koruptor buatan Robbi memang membutuhkan kenekatan tersendiri, karena tulisan yang tertera di kaos itu cukup besar dan mengundang perhatian, terutama tulisan yang berada di bagian punggung.

"Ini hanya untuk fun saja," jawab Robbi santai saat berbincang dengan okezone, Kamis (21/8/2008).

Robbi memang mengakui bahwa pembuatan kaos itu terinspirasi dengan rencana KPK memberikan seragam khusus untuk tahanan kasus korupsi.

Menurut dia saat ini soal seragam tahanan itu tengah hangat dibicarakan masyarakat, nah seperti yang sudah-sudah, kaos yang mengusung tema yang tengah in itu banyak penggemarnya.

"Yang pengalaman saya, selera pasar begitu. Kaos yang mengangkat tema yang lagi hangat di masyarakat cukup laku," papar pria berusia 29 tahun.

Robbi sendiri sudah menggeluti bisnis kaos dengan cara online sejak satu tahun lalu. Sudah banyak desain kaos yang diciptakan dia mulai daritokoh kartun Naruto, ikon situs Friendster, hingga kaos dengan tema isu global warming."Tapi yang global warming pasarnya biasa-biasa saja, mungkin banyak juga yang buat jadi banyak pesaing," tutur dia.

Animo pembeli untuk kaos KPK itu terbilang besar. Belum sampai satu minggu, kaos itu ditawarkan, tercatatat 20 orang sudah memesan.

Jika sukses dan ide desain kaos tahanan KPK buatannya itu ditiru oleh orang lain, Robbi mengaku tidak risau. Menurut dia sah-saja orang lain menciptakan kaos yang sama. "Itu biar saja, rejeki masing-masing," kata dia.(fit) (fit)

Industri Tekstil Tertolong Pasar Asia dan Timur Tengah

Selasa, 31 Maret 2009 | 17:45 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Turunnya ekspor tekstil dan produk tekstil akibat krisis ekonomi global masih tertolong dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara di Asia seperti Cina dan Korea; serta Timur Tengah, semisal Suriah dan Uni Emirat Arab.

Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, ekspor tekstil dan produk tekstil diperkirakan turun 30 persen pada kuartal pertama tahun ini. Namun secara keseluruhan, angka ekspor tahun ini diperkirakan sama dengan angka ekspor tahun lalu, sekitar US$ 10 miliar atau sekitar Rp 115 triliun.

Beberapa pengusaha mengalihkan barang ekspor ke pasar domestik, namun pengalihan tersebut hanya bisa meningkatkan pangsa pasar 10 persen. Bila sebelumnya pangsa pasar 30 persen untuk domestik dan 70 persen untuk impor, maka tahun ini menjadi 40 persen untuk domestik dan 60 persen untuk impor. “Pasar domestik naik karena ada pergantian barang impor ke barang dalam negeri,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno di Jakarta, Selasa (31/3).

Tak dimungkiri, ini merupakan salah satu dampak dari pelaksanaan pengetatan impor produksi garmen yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 56 tahun 2008. Industri tekstil dalam negeri bisa meningkatkan penjualan antara 15 sampai 20 persen. Adanya kegiatan pemilihan umum juga mendongkrak pembelian seperti benang, bendera, dan kaos.

Agar industri tekstil dan produk tekstil tetap bisa bertahan di tengah krisis, menurut Benny, insentif yang dibutuhkan adalah peningkatan daya beli masyarakat domestik. “Industri dikasih insentif, tapi kalau tidak ada yang beli ya mati juga,” ucapnya.

Benny menambahkan, ada beberapa perusahaan yang melakukan ekspansi di tengah krisis. Ini potensial untuk menyerap tenaga kerja. Dia mencontohkan, South Pasific Viscose yang tahun ini menambah investasi sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,15 triliun untuk satu lini produksi dengan target produksi tahun depan.

PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang berlokasi di Solo, Jawa Tengah, juga memperluas pabrik dengan nilai investasi Rp 500 miliar melalui program restrukturisasi mesin tekstil. Investasi baru Sritex meliputi satu unit spinning dengan kapasitas 200 ribu mata pintal dan satu unit mesin garmen dengan kapasitas 1,7 juta potong per bulan.

Meski demikian, Benny mengakui jumlah tenaga kerja yang terserap melalui program restrukturisasi mesin tekstil tetap lebih kecil dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). “Masih banyak jumlah PHK-nya,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan utilisasi produksi tekstil nasional berpotensi naik 16 persen karena kebijakan Pengetatan Impor dan Program Penggunaan Produk Dalam Negeri. Peningkatan utilisasi itu diperkirakan akan bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 209 ribu orang.

NIEKE INDRIETTA

Kenapa Portal Tekstil Indonesia?

Industri tekstil merupakan salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia untuk ekspor non migas. Saat ini persaingan produk tekstil dunia semakin ketat. Salah satu keunggulan bersaing dari produk Indonesia adalah harga, yang disebabkan tenaga buruh murah dan bantuan dari pemerintah (subsidi, keringanan pajak, pinjaman lunak, proteksi produk luar, dll).

Harga murah saja sudah tidak cukup untuk bersaing saat ini (sudah disaingi oleh China dan India). Untuk terus bersaing maka perusahaan di Indonesia harus dapat mencari competitive advantage yang lebih baik. Baik dari competitive advantage perusahaan itu sendiri maupun dari agregation competitive advantage .

Karena banyaknya permintaan akan sebuah portal industri tekstil dan produk tekstil dan kurangnya portal yang menyediakan kebutuhan tersebut, maka textile.web.id dibentuk. Textile.web.id direncanakan akan diluncurkan pada 1 Januari 2002 dengan beberapa feature utama yang terpenting.

Textile.web.id bertujuan untuk menjembatani antara pemain-pemain TPT di Indonesia dengan pemain TPT di luar negeri. Textile.web.id memiliki misi untuk memperluas pasar tekstil di luar Indonesia, yang dapat memudahkan pihak luar untuk mengetahui mengenai produk tekstil di Indonesia. Dan meningkatkan keunggulan bersaing dari perusahaan Indonesia dengan meningkatkan pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi, baik disediakan oleh textile.web.id, dari pihak lain, maupun dari antar anggota textile.web.id.

"Better Textile Understanding"

Slogan ini mengartikan bahwa tidak ada yang terbaik, yang ada adalah yang lebih baik. Yang terbaik saat ini akan menjadi yang terakhir jika mereka tidak terus melakukan pembelajaran dan perubahan secara berkesinambungan. Karena itu kami akan mencoba terus menerus lebih mengerti mengenai tekstil, dan bagaimana kami dapat menyediakan support pada industri.

Kami percaya bahwa tidak ada jalan cepat yang bisa bertahan lama. Mozart tidak dapat menciptakan lagu yang indah sebelum dia berlatih do-re-mi sebelumnya. Demikian pula penyediaan portal bagi industri tekstil. Saat ini di Indonesia khususnya, industri tekstil belum mengapdosi secara efektif dan efisien teknologi informasi. Industri ini masih membutuhkan waktu pembelajaran dengan tahapan-tahapan. Untuk itu kami akan mengadopsi fitur dan isi yang sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan dari industri.

Tahapan penerapan teknologi informasi pada perusahaan tekstil:

1. Penggunaan teknologi informasi dan internet sebagai pendukung kegiatan administrasi dari suatu perusahaan. Termasuk penggunaan email, chatting, diskusi di forum, dll.
2. Penggunaan teknologi internet sebagai sumber informasi. Seperti menggunakan search engine, browsing pada situs-situs tekstil, dll.
3. Penggunaan internet sebagai sarana promosi dari perusahaan. Di sini diawali dengan memberikan company profile secara online.
4. Menyediakan katalog produk secara online yang dapat diupdate kapan saja. Sehingga calon pembeli dapat langsung meminta inquiry ke perusahaan bersangkutan.
5. Menggunakan fasilitas e-commerce secara penuh (B2B, B2C, e-marketplace, dll).

Tahapan-tahapan tersebut tidak berjalan secara seri murni, dapat saja yang satu mendahului yang lain atau maju secara bersama-sama.

Kantor textile.web.id:
PT Konsep Dot Net

Bandung
Jl. Moh Iskat 26
Bandung 40171
T. +62 (22) 70003839
F. +62 (22) 4236882

Jakarta
Cyber Building 11th Floor.
Jl. Kuningan Barat 8.
Jakarta 12710. Indonesia.
T. +62 (21) 70003839
F. +62 (21) 5277811

Pemkot Akan Tertibkan Toko di Sentra Kaos Suci yang Tak Berizin


Tya Eka Yulianti - detikBandung

Bandung - Sebanyak 261 bangunan usaha kaos di sepanjang Jalan Surapati Cicaheum (Suci) belum kantongi izin. Sulitnya izin adalah karena kawasan tersebut masuk dalam kawasan hijau. Oleh karenanya, Pemkot akan melakukan penertiban secara bertahap di lokasi tersebut.

"Bagaimana pun yang tidak punya izin harus ditertibkan," ujar Dada kepada wartawan usai menghadiri Seminar Strategi Pengelolaan RTH Kota Bandung di Gedung Wahana Bakti Pos Jalan Banda, Kamis (19/11/2009) menuturkan akan melakukan penertiban secara bertahap.

Apalagi kata Dada, para perajin kaos dan sablon di kawasan Suci tersebut akan dijadikan sentra industri yang termasuk dalam 7 kawasan sentra industri Kota Bandung.

"Sentra industri kan pasti ke dalam, bukan di pinggir jalan seperti itu," jelasnya.

Lebih lanjut Dada mengatakan, Pemkot Bandung saat ini sedang mencari lahan untuk merealisasikan rencana tersebut. "Seperti di Cigondewah, kita kan sudah beli, di Binong Jati juga, kita juga sekarang sedang mencari lahan untuk kawasan sentra industri kaos," sambungnya.

Ditambahkan Dada, para pengusaha kaos dan sablon di kawasan suci tersebut menginginkan lahan di daerah sekitar tempat yang saat ini mereka tempati.

"Mereka mintanya disitu, saya bilang ya siapkan saja. Selama tanahnya ada dan bisa terjangkau oleh kita (Pemkot-red), ya akan kita beli," ujar Dada.

Syarat tanah yang akan dijadikan lahan kawasan sentra industri menurut Dada tidak boleh bermasalah. Mulai dari aspek administrasi dan juga pengeluaran. "Karena kan pakai uang rakyat, jadi tidak boleh merugikan," tegasnya.

(tya/avi)

POT Sosialisasikan Lukisan di Atas Kaos

Kamis, 6 November 2008 | 01:45 WIB

JAKARTA, KAMIS--Painting On T-shirt atau POT dari Indonesia yang hadir di ajang Indonesia Japan Expo (IJE) 2008 bertujuan untuk mensosialisasikan melukis di atas kaos, kata pemilik Painting On Tshirt Rini Iskandar, Rabu.

Rini mengatakan di ajang ini ingin memberikan pengetahuan kepada para pengunjung dan diharapkan pengunjung bisa memahami dan mengaplikasikan seni lukis di atas kaos.

Dengan fasilitas warna tinta tekstil, gambar, kaos putih polos serta gambar yang harus di sketsa terlebih dahulu, para pengunjung yang mengikuti workshop bebas mengekpresikan gambar sesuai sketsa yang diinginkannya. Para peserta workshop pun tidak dibatasi menggunakan tinta warna. "Kami menerapkan kebebasan ekspresi para peserta dengan gambar yang diinginkan mereka," tambah Rini.

Sejumlah pengungjung juga mengaku dengan workshop ini tentunya bisa memahami arti melukis di atas kaos secara langsung. "Selama ini melukis identik dengan kanvas. Dengan kaos baru ini saya mencoba. Saya pribadi juga tidak terlalu berbakat melukis. Namun, saya ingin terus mencobanya karena walaupun tidak bakat tapi dicoba berulang kali akan menjadi terbiasa," kata Dimas, salah seorang peserta workshop melukis.

Sementara mengenai pemasaran produk kaos handmade POT ini sudah meluas sampai ke Medan, Jambi, Riau, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Singapura, Jerman, dan Amerika Serikat. Produk ini dengan kisaran harga Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu.(ANT)

Kaus Desain Pelesetan Rengkuh Pasar Lokal

YOGYAKARTA, KOMPAS - Semakin ketatnya persaingan dalam industri pakaian membuat beberapa produsen kaus dengan desain pelesetan khas Yogyakarta harus memperluas jangkauan pasar. Namun demikian, tidak semua strategi pemasaran yang diterapkan mendapat respons positif dari konsumen. Beberapa jenis kaus pelesetan tersebut dapat ditemui di hampir semua pusat perbelanjaan di Yogyakarta. Tempat-tempat itu mulai dari emperan toko di sepanjang Jalan Malioboro sampai yang memiliki gerai sendiri seperti merek Dagadu atau Sarapan.

Marketing Communication Officer PT Aseli Dagadu Djokja Daniell Alkam selaku produsen kaus oblong Dagadu mengemukakan, Jumat (28/9), bisnis kaus berdesain pelesetan di Yogyakarta memang cukup menjanjikan. Iklim kehidupan warga Yogyakarta yang kreatif amat mendukung tumbuhnya bisnis tersebut, bahkan Yogyakarta telah menjadi kutub tren tersendiri bagi desain kaus pelesetan secara nasional. "Masyarakat Yogyakarta umumnya sadar bahwa mereka punya produk yang unik, namun kesadaran ini tidak lagi didukung dengan tindakan nyata, seperti memakai produk kaus yang juga memiliki nilai budaya tersebut," ujar Daniell.

Padahal, tanpa adanya dukungan konsumsi pada tingkat masyarakat lokal, perlahan-lahan usaha kaus pelesetan bisa terpuruk. Tanda- tanda ke arah ini pun sudah bisa dilihat dengan semakin maraknya pertumbuhan gerai kaus berdesain modern, seperti distro atau butik, yang ada di Yogyakarta.

Menyiasati hal ini, Daniell mengatakan sudah menyiapkan strategi untuk merengkuh kembali pasar lokal, di antaranya menggiatkan komunikasi dengan masyarakat dan memudahkan perolehan produk di tempat belanja yang bernilai strategis, seperti Unit Gawat Dagadu (UGD) di Jalan Pakuningratan, Pos Pelayanan Dagadu (Posyandu) di Mal Malioboro, dan Djawatan Pelayanan Resmi Dagadu (DPRD) di Plaza Ambarukmo. "Adapun salah satu bentuk komunikasi itu kami lakukan di bulan puasa ini dengan menggelar omus atau obrolan menjelang buka puasa.

Melalui acara semacam itu, kami juga bisa memperkenalkan produk-produk baru," kata Daniell. Sejumlah produsen kaus pelesetan lain juga mencoba menarik minat masyarakat lokal dengan membuka gerai di pusat perbelanjaan. Sayang tidak semua pengunjung tertarik untuk membeli produk mereka. Seperti gerai kaus pelesetan berdesain ucapan khas pelawak Tukul Arwana yang ada di Plaza Ambarrukmo. Menurut salah seorang penjaga gerai tersebut, produknya sempat laku ketika acara yang dipandu Tukul sedang marak. Namun, saat ini penjualan relatif sepi karena minim desain baru. (YOP)

Cerianya Kaus Pelangi

Siapa tak kenal Nidji, band top yang terdiri atas Giring, Rama, Ariel, Adrie, Andro, dan Randy? Tak hanya konsep musik yang memadukan unsur-unsur rock, pop, progresif, dan funk, penampilan Nidji juga penuh warna seperti pelangi.

Maklum saja, nama Nidji pun diambil dari "niji", kata dalam bahasa Jepang yang berarti pelangi. Tak heran kalau sang vokalis, Giring, kerap memakai baju kaus bercorak pelangi.

Kini, kaus bermotif pelangi itu menjadi tren di kalangan anak baru gede (ABG). Yang memakainya bukan cuma para fan Nidji. Dari cewek, cowok, orang tua, hingga anak-anak suka mengenakannya.

Kaus yang ngetop dengan nama kaus pelangi atau laskar pelangi itu tidak beda dari kaus bergambar barong khas Bali atau kaus bergambar candi ala Yogyakarta. Bahannya pun sama, yakni dari katun rayon, santung, atau kaus.

Yang membedakan hanya gambar motif. Seperti namanya, kaus pelangi menonjolkan motif abstrak dengan permainan warna-warni yang ceria dan mencolok.

Kaus pelangi dalam bahasa fashion lebih dikenal sebagai tie-dye yang dipopulerkan oleh kaum Hippies atau Flower Generation pada era 1960-an.

Istilah tie-dye sendiri memang dipakai untuk menggambarkan proses pembuatan seni tekstil ini. Memang, biasanya baju ini dibuat dari kaus putih yang kemudian diikat lalu dicelupkan ke zat pewarna untuk menghasilkan motif abstrak berwarna tertentu.

Kaus pelangi kini tidak lagi hanya dijumpai di distro-distro favorit. kaus itu dengan mudah bisa ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan modern sampai pasar-pasar baju tradisional. Harganya pun murah meriah, dari Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu per potong dalam berbagai ukuran.

Homsiatun, 25 tahun, karyawan gerai Tas & Accessories di Gading Food City, Kelapa Gading, mengaku, dalam sehari kaus tersebut laku empat sampai lima potong.

"Kalau hari Sabtu dan Minggu untuk yang harganya Rp 25 ribu bisa laku sampai tujuh potong dan yang Rp 35 ribu laku empat potong," dia menjelaskan kepada Tempo Gading, Jumat pekan lalu.

Menurut dia, model yang sering dicari pembeli adalah kaus laskar pelangi dengan tali yang berada di pinggang. Karena stok yang tersedia terbatas, banyak yang terpaksa memesan.

Begitu pula pengakuan Ana, penjaga toko baju di Hypermall Kelapa Gading. Dalam sehari gerainya bisa menjual lima potong, sedangkan pada akhir pekan bisa mencapai tujuh potong.

Motif yang banyak dicari para ABG, kata Ana, adalah yang bercorak gambar. Sedangkan para ibu lebih menyenangi model daster. Harga kaus model daster adalah Rp 50 ribu.

Wanti, 27 tahun, salah satu penyuka kaus pelangi, mengaku membeli karena bahannya yang tipis, tidak terlalu panas, terasa nyaman, dan adem saat dipakai. "Lagi pula ketika dicuci, ternyata tidak luntur," ujar dia.

Rohman, salah seorang pengunjung gerai yang dijaga Ana, mengaku sedang mencari model kaus laskar pelangi yang berbeda dari yang lainnya. Setelah berputar-putar mengelilingi Hypermall, ia akhirnya mendapatkan model unik.

"Saya menemukan model kaus laskar pelangi dengan kerah karet. Selama ini kan kaus laskar pelangi yang saya lihat model kerahnya selalu dibordir," katanya kepada Tempo Gading, Senin lalu.

Nah, jika ingin tampil ceria penuh warna seperti pelangi, mengapa tak coba kaus laskar pelangi? DODY HIDAYAT | M. FAHRIZAL

Industri Kaus Surapati Belum Tergali

BANDUNG, (PR).-
Sentra industri kaus Jalan Surapati Bandung dinilai mempunyai nilai lebih yang dapat mendukung program klaster industri tekstil dan produk tekstil (TPT), yakni sebagai titik masuk bagi industri tersebut. Hal ini dikemukakan berdasarkan hasil survei diagnostik dan pemetaan industri TPT Jawa Barat yang difokuskan pada sentra industri kaus Jalan Surapati oleh PT Perkindo.

Hasil survei ini dipresentasikan dalam sebuah acara Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh PT Perkindo bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat pada Senin (14/8) di Galeri Ciumbuleuit, Jalan Ciumbuleuit Bandung.

Dalam paparannya, Asep Efendi, perwakilan dari PT Perkindo, mengatakan sentra kaus Surapati merupakan salah satu potensi yang masih belum tergali dan menjadi perhatian pemerintah. Padahal, berdasarkan survei yang dilakukannya transaksi usaha industri inti kaus Surapati mencapai lebih dari Rp 5 miliar/bulan.

Produk kaus ini tidak ditujukan pada pasar internasional, tetapi hanya pasar lokal. "Jika dipersentase, hampir 96% untuk pasar domestik, sedangkan sisanya ekspor," ujar Asep. Namun, harus diakui bahwa industri di Surapati ini masih menggunakan sablon hand made, sehingga mampu bersaing dengan pasar domestik maupun produk impor lain.

Dalam surveinya, Asep juga menemukan bahwa belanja pemerintah untuk produk kaus dan atribut lainnya cukup tinggi. "Bisa dibilang belanja pemerintah mempunyai nilai transaksi paling tinggi untuk usaha kaus Surapati," tuturnya. Sejumlah dinas seringkali memesan pakaian olahraga, topi, atau perlengkapan pakaian pemerintah lainnya.

Menurut Asep, kios atau outlet yang ada di sepanjang jalan Surapati mencapai lebih dari 269 mencakup industri inti yang berada di pinggir jalan. Setiap industri kaus didukung oleh industri pendukung, yakni jasa desain, jasa sablon, jasa bordir, dan jasa jahit yang masing-masing berdiri sendiri.

Industri kaus ini mulai menggeliat mulai tahun 1982. Meskipun telah melalui rentangan waktu yang cukup panjang, usaha kaus ini masih dalam proses pencarian identitas. Hal ini didorong oleh keinginan para pemilik usaha kaus untuk menjadikan wilayah Surapati sebagai sentra industri wisata belanja, layaknya Cihampelas atau Cibaduyut. Keinginan ini disampaikan salah seorang pengurus Koperasi Sentra (Kopsen) Kaus Surapati, Drs. H. Asep H. Anshari.

Menurut Asep Anshari, kendala yang dihadapi pengusaha kaus adalah masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap produk mereka. Ke depan, Asep Anshari menginginkan setiap pengusaha kaus mampu menciptakan desain sendiri, tidak hanya menunggu diberikan desain.

Kepala Subdin Bina Program Disperindag Jawa Barat, Ir. Hj. Hani Yuhani, M.P.M, mengatakan, kelemahan pengusaha kaus Surapati yakni mereka masih berorientasi job order. "Wisatawan butuh barang yang siap beli, siap jadi untuk oleh-oleh. Sementara, selama ini kebanyakan industri kaus di Surapati belum menyediakan bahan jadi," ungkapnya. (A-155)***

Bisnis Kaus Sablon Banjir Order

BANDAR LAMPUNG (Lampost):
Bisnis penjualan kaus oblong sablon sangat diminati masyarakat Bandar Lampung. Ini terbukti dengan lakunya kaus sablon yang dijual perajin sablon asal Solo di Artomoro dan Ramayana.

Menurut Krisna, perajin sablon asal Solo, Selasa (26-10), dalam sehari bisa 200-an kaus sablon yang terjual. "Usaha ini baru digelar sepekan di sini, tetapi sudah mampu menghabiskan 1.000 kaus sablon yang dipesan masyarakat Bandar Lampung," katanya.

Krisna mengatakan harga kaus sablon bervariasi tergantung ukuran. Untuk ukuran kaus nomor 5 dijual Rp12.500 (sudah termasuk upah sablon), nomor 6 Rp15 ribu, nomor 8 dijual Rp17.500, nomor 10 dijual Rp20 ribu, nomor 12 dijual Rp22.500, nomor 14 dijual Rp25 ribu, nomor 16 dijual Rp27.500, dan paling besar nomor 18 dijual Rp30 ribu.

Gambar yang disediakan untuk sablon pun bermacam-macam, terdiri dari Spiderman, Mickey Mouse, Tom and Jerry, Tweety, Superman, aneka jenis huruf untuk nama. "Kami memberi keleluasaan konsumen memilih sendiri gambar yang akan disablon," katanya.

Menurut Krisna, untuk bahan baku berupa kaus, pewarna dan alat sablon dipasok langsung dari Solo. "Jika stok kaus oblong habis, kami segera menghubungi pabrik kaus oblong yang sudah lama menjadi rekanan kami di Solo," ujarnya.

Jika konsumen membawa kaus sendiri, kata Krisna, hanya dibebankan upah sablon untuk satu huruf Rp1.000 dan gambar Rp5 ribu. "Biasanya dalam sehari, omzet yang bisa diperoleh paling minim Rp2 juta, tetapi kalau hari Minggu bisa mencapai Rp3 juta-an," katanya.

Krisna mengatakan pangsa pasar kaus sablon di Bandar Lampung sangat bagus, di mana peminatnya anak-anak dan remaja tanggung. Usaha penjualan kaus sablon ini dilakukan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, untuk Bandar Lampung ini yang pertama.

Dari pantauan Lampung Post, meskipun tempat usaha kaus sablon tersebut menyewa tempat yang relatif sempit, tapi antrean panjang orangtua untuk memesan kaus sablon anaknya di lantai dasar Artomoro cukup panjang. "Antrean panjang ini sudah sejak pagi hingga menjelang magrib," kata Krisna.

Menurut Krisna, omzet yang diperoleh per hari bisa menutupi biaya sewa tempat seluas 2x3 meter selama sebulan Rp2,5 juta. "Rencananya penjualan kaus sablon di Bandar Lampung ini hingga akhir Lebaran, tetapi jika dilihat peminatnya masih banyak akan diteruskan sampai semuanya dilayani," kata Krisna.

Krisna mengatakan usaha kaus sablonnya ini memunyai beberapa cabang yang tersebar di Yogyakarta dan Solo. "Sebab itu, kami melakukan penjualan keliling untuk mengetahui pangsa pasar di satu kota termasuk Lampung, jika memungkinkan pasarnya akan membuka cabang di sini," katanya.n ORA/E-1

Stres Melanda Perajin Kaus Kampanye

Stres ternyata tak hanya dialami para calon anggota legislatif (caleg) yang kalah dalam pemilu legislatif (pileg) lalu. Para perajin kaus kampanye di Jalan Suci, Kota Bandung juga menderita tekanan psikis yang sama.

Bagaimana tidak. Pemilu kemarin meninggalkan jejak utang yang menggunung bagi para perajin kaus tadi, berasal dari pesanan kaus kampanye yang sampai sekarang tertunggak dan tidak jelas pelunasannya.

Pemilu 2009 memang sangat berbeda dengan Pemilu 2004. Berharap memperoleh berkah dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemilihan caleg berdasarkan suara terbanyak, ternyata sangat berlebihan. Kenyataannya, para perajin kaus kampanye itu harus gigit jari, bahkan memperoleh "warisan" berupa utang besar akibat para pemesan mengemplang untuk melunasi kewajiban.

Pada awalnya memang menjadi berkah. Ini bahkan telah dirasakan sejak dua tiga bulan menjelang dimulainya masa kampanye terbuka 16 Maret 2009. Order berdatangan dari seluruh Indonesia dengan jumlah ratusan ribu kaus, topi, dan rompi.

Dibandingkan dengan Pemilu 2004, order Pemilu 2009 ini mengalami kenaikan signifikan. Menurut Ketua Koperasi Perajin Kaus Jalan Suci dan Asosiasi Perajin Kaus Sentra Suci Marnawi Munamah, nilai order Pemilu 2004 hanya mencapai Rp 5 miliar, sedangkan total keseluruhan nilai order di Sentra Kaus Suci Kota Bandung selama Pemilu 2009 ini mencapai Rp 15 miliar.

Akan tetapi, ternyata harapan tinggal harapan. Niat hati meraih untung yang dapat malah buntung atau bingung. Inilah yang dialami para perajin Sentra Kaus Suci. Harapan Pemilu 2009 akan menjadi berkah atau kesempatan besar untuk menangguk keuntungan, ternyata sebaliknya. Sejumlah partai, caleg, dan pihak pemesan yang semestinya melunasi sisa pembayaran order, setelah pemungutan suara 9 April 2009, tiba-tiba menghilang dan mendadak sulit dihubungi.

Masalah jadi tambah rumit tatkala tidak sedikit perajin yang mendapat order itu ternyata bukan langsung dari caleg, tapi melalui pihak ketiga yang tidak jelas hubungannya dengan caleg bersangkutan. Hasilnya, ketika utang yang menumpuk ditagih, para perajin hanya dipingpong.

Padahal ratusan ribu kaus, topi, dan rompi sudah dikirim sesuai pesanan pada saat kampanye lalu. Meski belum ada pelunasan, selama ini perajin tetap mengirim pesanan hanya berdasar kepercayaan bahwa si pemesan (caleg) akan membayar atau melunasi utangnya.

Namun, sampai berakhirnya masa kampanye hingga penghitungan suara belakangan ini, para pemesan belum juga melunasi. Tentu saja ini membuat beberapa perajin kaus terancam rugi dan bangkrut.

Tidak tanggung-tanggung, kerugian itu mencapai miliaran rupiah. Padahal, modal yang telah dikeluarkan perajin tidak sedikit, termasuk modal kepercayaan dari pabrik bahan kaus.

Lumbangaol, pemilik CV Rovolin, mengaku telah menambah modal Rp 1,1 miliar demi mengerjakan order dari kantor pusat salah satu partai di Jakarta senilai Rp 3 miliar. Sampai sekarang, ternyata masih menunggak hingga mencapai Rp 2,3 miliar.

"Belum lagi utang-utang saya ke pabrik kaus yang sampai sekarang terus menagih," katanya.

Ihwal order yang diterima dari kantor pusat salah satu partai di Jakarta itu, Gaol mengaku pengerjaannya melalui tiga tahap sesuai Surat Perintah Kerja (SPK) yang ditandatangani langsung oleh ketua partai tersebut. Akan tetapi, dari ketiga tahap itu hanya tahap pertama yang dibayar, sedangkan dua tahap berikutnya belum juga dibayar, repotnya nilainya mencapai Rp 2,3 miliar.

"Setiap saya tagih, alasannya dibuat-buat. Mereka bilang kualitasnya jelek. Kalau komplain soal kualitas kenapa tidak komplain sejak pengerjaan tahap pertama? Komplain itu muncul setelah barang-barang itu dipakai. Ini kan akal-akalan. Saya tempuh dengan cara kekeluargaan, memang ada respons, tapi dipingpong," katanya.

Pengalaman sama dialami H. Wawan Gunawan pemilik Planet Production. Dari Rp 4 miliar total order kampanye yang dikerjakan, hingga waktu yang disepakati masih ada 25 persen yang belum juga dilunasi pemesan. Repotnya, pemesan kebanyakan dari luar Jawa.

Seperti Gaol, Wawan berusaha terus menghubungi pihak pemesan, tapi belum juga ada realisasi kecuali janji-janji. Bahkan, ada juga pemesan yang handphone-nya tak bisa lagi dihubungi.

**

KERUGIAN perajin kaus kampanye dalam pemilu kali ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak awal, saat order membeludak selama masa kampanye, mereka juga diliputi perasaan waswas. Disadari, bahwa keuntungan dari order kampanye tidak terlalu besar dibandingkan dengan mengerjakan order pesanan kaus sekolah atau instansi lain. Untung yang kecil itu sangat tidak sebanding dengan risiko besar kerugian yang kini mulai dikeluhkan.

Bukan sekali dua kali para perajin kaus kampanye ditinggalkan pemesannya yang masih menunggak uang pelunasan. Bahkan, di kalangan perajin kaus, ulah para pemesan order kampanye itu bukan lagi cerita baru.

Hampir dalam setiap musim kampanye, pemilu ataupun pilkada, selalu terdengar ada perajin kaus yang dirugikan akibat ulah pemesan.

Jangankan order pemesanan yang langsung dari caleg atau tim suksesnya, yang langsung ditandatangani ketua partai lewat SPK saja, seperti dialami Gaol, tetap tidak menjamin pembayaran lancar. Sejak awal kampanye dulu para perajin menyambut ramainya order itu dengan harap-harap cemas.

Wawan menyebut order pemilu sebagai untung-untungan, sama dengan berjudi. Apalagi, ia hanya menerapkan aturan pembayaran di muka atau down payment (DP) 50% dari nilai order. Ini sangat berisiko, tambahan lagi sering kali pemesan belum mau membayar pelunasan sebelum barang dikirim. Meski begitu barang terpaksa tetap dikirim walau pemesan belum melunasi.

"Sama dengan gambling, berjudi. Sampai sekarang saya deg-degan. Stres tak hanya dialami caleg yang kalah. Kami juga stres karena pesanan banyak yang belum dibayar. Kami juga tambah stres bila mengetahui caleg yang kalah dan tercatat sebagai pemesan itu stres. Ini berarti harapan untuk melunasi utang ke kami menjadi sangat kecil," ujarnya.

Order yang belum dibayar ke Wawan nilainya mencapai Rp 1 miliar . Meski nilai itu "hanya" 25% dari nilai total omzetnya selama kampanye, tapi bagaimana pun ini menjadi pengalaman dan pelajaran berharga buat dia.

"Ini jadi pelajaran buat kampanye pemilihan presiden (pilpres) nanti. Saya ingin minta pembayaran order lunas saja. Produksi kaus kampanye akan disesuaikan dengan dana yang telah dibayar. Kami tidak mau rugi dua kali," katanya. (Ahda Imran)***
Penulis:
Back

Monique Kocke: Kaus Parental Untuk Edu


Ibu satu anak berusia 30 tahun ini mendirikan Parental Advisory Baby Clothing, sebuah distro baju anak. Desainnya tak biasa. Misalnya, t-shirt bertuliskan: Kill Sinetron-Kids Against Television, Where’s My F*ckin’ Milk, atau gambar gajah dan tulisan: It’s an elephant not a penis. Menyeramkan? Ya. Tapi, Monique punya misi lain di balik desain yang ia gagas.

Kapan bikin Parental Advisory Baby Clothing (PABC)?
Sekitar akhir 2006. Ide awalnya sih karena saya enggak menemukan distro anak yang sesuai selera. Tahun-tahun itu di Bandung banyak distro buka, tapi 90 persen cuma menjual produk untuk remaja dan dewasa, enggak ada produk buat anak. Saya juga enggak begitu tertarik dengan baju anak yang kebanyakan ada.
Nah, kebetulan waktu itu saya baru saja melahirkan. Akhirnya terpikir membuat baju anak. Itu pun tadinya cuma buat anak sendiri atau buat anak teman-teman.

Punya latar belakang desain?
Enggak. Saya lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran, Bandung. Jadi, saya masuk bisnis pakaian ini ya ibaratnya terjun bebas saja. Selain karena soal selera, saya juga melihat ada peluang di situ. Ya sudah, jalan deh.

Kenapa memilih nama PABC?
Karena dari awal, idenya ingin membuat baju anak yang agak nyeleneh. Selain itu, ada misi yang ingin saya sampaikan. Kalau melihat desain atau kata-katanya, baju-baju PABC kata orang terlalu kasar untuk anak-anak. Padahal, justru sebetulnya saya ingin supaya orangtua yang membeli baju buat anaknya bisa menjelaskan maksudnya ke anak. Anak dapat bimbingan (parental advisory). Jadi, bukan hanya bikin tanpa ada makna apa-apa di balik desain. Rata-rata, desain atau kata-kata PABC ada sejarahnya.

Misalnya?
Contohnya t-shirt bertuliskan Kill Sinetron; Kids Against Television. Itu karena menurut saya, anak sekarang enggak bisa hidup tanpa televisi. Sementara acara buat anak-anak di televisi kita sekarang ini kayaknya enggak ada edukasinya, enggak ada yang pas. Baru sekarang ada "Si Bolang" atau "Laptop Si Unyil" lumayanlah. Sebelum-sebelumnya kan sinetron melulu. Hampir di semua stasiun televisi ada sinetron, dari pagi sampai malam. Jadi, kapan jam-jam anak bisa nonton?
Celakanya kalau orang tua juga suka sinetron. Supaya anaknya diam, anak diajak nongkrong di depan televisi, nonton sinetron. Yang ada anak mengikuti adegan di sinetron. Orang marah-marah, memaki-maki enggak jelas. Itu kan membunuh karakter anak.

Contoh lain?
Ada t-shirt tulisannya Where’s My F*ckin’ Milk? Lumayan laku. Penjualannya bagus terus meski sudah beberapa produksi ulang (repeat). Misi tulisan di desain itu adalah supaya ibu-ibu muda mau memberi ASI eksklusif minimal 6 bulan ke anaknya. Syukur-syukur 2 tahun. Soalnya ada kecenderungan, orang sekarang lebih mementingkan pekerjaan ketimbang hak anak. Nah, minum ASI itu hak anak. Ada kekhawatiran yang enggak perlu, seperti, "Aduh kalau saya nyusuin, bentuk badan jadi berubah", "Saya enggak punya waktu nyusuin karena harus kerja," dan sebagainya yang buat saya sangat tidak masuk akal.

Anda sendiri memberi ASI ke putri Anda?
Saya termasuk yang kurang beruntung enggak bisa memberi ASI eksklusif ke anak saya, Magia Calluella Chaszta Az-Zurra (2,8). Waktu itu habis melahirkan, saya harus menjalani operasi, masuk ICU 2 hari. Jadi, enggak bisa langsung kasih ASI. Setelah operasi, ASI jadi terhambat. Saya sudah coba bermacam cara, tapi enggak bisa keluar juga. Saya menyesal sekali. Bukan mau irit, tapi karena itu hak anak. Kalau saya bisa membayar, berapa pun saya akan bayar supaya saya bisa kasih ASI eksklusif ke anak saya. Tapi mungkin saya memang tidak beruntung, ya. Jadi, tolong kalau bisa memberi ASI eksklusif, kasihlah anak ASI eksklusif. Kalau bisa yang alami, kenapa harus kasih susu pabrikan?

Efektif enggak pesan-pesan itu disampaikan lewat desain t-shirt?
Cukup efektif karena desain sangat berbicara. Desain Kill Sinetron tadi misalnya, ternyata banyak orang tua yang memang enggak setuju dengan acara-acara yang ada di televisi.

Orang yang enggak mengerti bisa-bisa berkomentar, "Kok kalimatnya seperti itu?"
Makanya ada product knowledge. Jadi kalau ada konsumen, kami jelaskan satu-satu maksud kalimatnya apa. Pernah ada yang berkomentar, "Gila, ini apa-apaan sih maksudnya? Ya saya sih mencoba berpikir positif saja, menerima itu sebagai masukan. Tapi, rata-rata konsumen yang beli di sini adalah pelanggan tetap yang sudah enggak kaget lagi. Ada sih satu-dua orang yang bilang, "Oh, ternyata ada desain begini buat anak?" Ya kami jelaskan saja. Jadi, kami enggak sekadar jual tanpa makna atau misi.

Pendekatan ke pelanggan personal sekali, ya
Betul. Kami ajak pembeli ngobrol dan memberi pengertian. Tapi sejauh ini enggak ada yang komplain sampai ngotot yang gimana gitu. Kami malah banyak melakukan kerjasama, misalnya jadi sponsor acara anak-anak. Jadi, enggak cuma sekadar jualan.

Sekilas seperti kaus dewasa yang dipakai anak, ya?
Bisa jadi ada yang melihat begitu. Tapi anak sekarang lebih kritis, lho. Banyak pelanggan yang datang anaknya memilih sendiri. Karena saya punya anak, jadi saya tahu juga. Dan memang orang tua harus menjelaskan.

Siapa sih yang membuat desain dan kalimat-kalimatnya?
Saya dibantu teman saya, Phaerly. Karena saya enggak punya latar belakang desain, biasanya kalau ada ide di benak langsung eksekusinya saya serahkan ke dia. Saya bikin gambar gunung aja pakai penggaris ha-ha-ha. Paling kalau ada yang kurang saya kasih masukan.

Sekarang sudah ada berapa desain?
Lebih dari 60 desain. Mayoritas warnanya memang hitam, putih, dan abu-abu. Kami sengaja pilih warna-warna tua karena baju anak-anak sekarang kan kebanyakan warna-warna pastel. Kami ingin beda. Dan ternyata banyak yang bilang justru lebih menarik. Karena itu tadi, warna mainstream-nya kan warna-warna pastel yang colourfull. Kami juga pikirkan bahan dan sablon seperti apa yang yang nyaman buat anak-anak.

Model kausnya juga panjang. Kebanyakan baju anak kan pendek di bagian torsonya. Nah, saya sengaja modifikasi. Saya masih ingat kultur orang Timur, kalau bajunya pendek pusarnya jadi kelihatan. Saya lihat masih banyak kok orangtua yang enggak kepingin pusar anaknya kelihatan. Model memanjang kayaknya juga lebih enak daripada ngatung.

Selain kaus, apalagi yang dijual PABC?
Macam-macam, dari diapers bag, tas anak, topi, jaket, celana, sepatu, sandal. Pasarnya lumayan bagus kok. Omzet per bulan kalau sedang ramai bisa Rp 70 juta. Meskipun sekarang sudah mulai banyak brand lain. Di Bandung aja ada sekitar 5 brand yang konsepnya mirip-mirip PABC. Cuma enggak tahu ya, mungkin orang tahu PABC lebih awal, jadi mereka biasanya membandingkan sama produk-produk PABC. Tapi banyak saingan justru bagus karena kami jadi harus berpikir, bikin saya terpacu.

Rencana bisnis ke depannya seperti apa?
Yang jelas saya mau ekspansi. Banyak sih yang minta atau menawarkan kerja sama, cuma belum ada yang menawarkan display sendiri. PABC ini kan baju anak, kalau display-nya disatukan sama baju dewasa, susah. Enggak kelihatan. Apalagi warna-warna kami warna dewasa.

Soal anak, pola pendidikan seperti apa sih yang Anda terapkan?
Saya dan suami sangat terbuka ke anak. Hal-hal yang masih tabu buat sebagian orang, saya sampaikan ke anak. Contohnya pendidikan seks, sudah saya kenalkan ke Magia sejak dini. Jadi, ia sudah tahu lho, proses kelahiran dia, dia keluar dari mana, dia punya vagina, menstruasi itu apa, dan sebagainya. Tapi tentu disesuaikan dengan perkembangannya. Hal-hal kecil seperti ini menurut saya justru jadi starting point yang harus disampaikan sejak dini.

Sambil bisnis, enggak repot punya anak balita ?
Saya selalu mengajari Magia untuk mandiri. Jadi, saya hampir enggak pernah merasakan repotnya punya anak balita. Saya enggak pernah gendong dia, tidur sendiri, saya tinggal pergi juga enggak rewel. Paling-paling dia nanya, "Ibu mau ke mana? Oh, mau nyari duit ya? Buat beli susu ya?" Dari lahir sampai sekarang enggak pernah pakai pembantu atau baby sitter. Semua saya kerjakan sendiri. Dia juga enggak pernah nonton televisi, kecuali acara musik. Kalau musik, 2-3 jam dia betah. Kalau pas kebetulan lihat adegan sinetron, dia malah suka nanya, "Kenapa sih orangnya marah-marah? Memang siapa yang nakal, kok dimarahin?"
Memang cukup kreatif dan kontroversial juga usaha yang dikelola oleh ibu muda ini. Tetapi di balik kontroversialnya, ia membawa visi dari setiap product-nya. Dan itulah yang disukai dan dicari oleh konsumennya.

Artikel pendukung kontes Stop Dreaming Start Action

Sumber : kompas.com

Cendera Mata Kaus Lawang Sewu

Semarang & Sekitarnya
04 Maret 2009

BAGI wisatawan yang pernah datang ke Semarang, bandeng presto, lumpia, dan wingko babad bukan sesuatu yang asing lagi untuk dibawa pulang sebagai buah tangan khas Semarang. Begitu pula dengan Lawang Sewu, Gereja Blenduk, Tugu Muda, Stasiun Tawang, dan Kelenteng Sam Poo Kong yang merupakan bangunan bersejarah di Kota Semarang.

Tapi, bagaimana bila para wisatawan itu membawa pulang bangunan bersejarah lengkap dengan kisah asal-usulnya? Tentu bisa mereka bisa membawa pulang itu semua bukan dalam bentuk miniatur, buku, foto ataupun gambar, tapi dalam bentuk kaus.

Ya, kaus-kaus dengan gambar bangunan, makanan, dan permasalahan Kota Semarang ini bisa jadi alternatif cendera mata. Beragam desain khas Semarang ditawarkan.

’’Selama ini banyak orang mencari cendera mata dari Semarang yang tahan lama dan tidak cepat habis. Maka dari itu kami memproduksi kaos-kaos bergambarkan ciri khas Semarang,’’ kata Indri Pristiowati dari Jolali KaoSemarang di Jl Brigjend Katamso No 20.

Tak cuma bangunan bersejarah atau landmark Semarang yang tertera dalam kaus-kaus hasil desain sang suami, Heru Setyabudi, yang dijual dengan harga Rp 55.000 - Rp 60.000. Ada pula permasalahan kota dan bahasa Semarangan.

Simak saja salah satu tulisan dalam kaus produksi Jolali yang banyak digemari anak muda. Semarang kaline banjiiir, Aja sumelang ora dipikiiir, Kalau cuma dipikir, mana bisa banjir berakhir?

Apalagi ditambah dengan ilustrasi gambar mobil yang terpaksa didorong karena terjebak banjir, sepeda motor yang macet, dan becak yang juga terpaksa didorong, membuat kaus ini banyak diburu.

’’Wisatawan dari luar kota seperti Kendari, Manokwari, Medan, Surabaya, Jakarta,
Lhokseumawe, banyak yang menggemari kaus Tugu Muda. Kalau yang dari luar negeri seperti Jerman, Belanda, Jepang, suka desain sederhana seperti warna hitam putih pada Gereja Blenduk,’’ tutur pemilik toko yang baru dibuka 4 September 2008 itu.

Ada pula wisatawan yang meski tidak tahu arti bahasa Semarangan seperti asem ëik, gombal mukiyo, barange krenyeh, ndhes, bakule nggedhebus, dan marahi nggondhuk yang tertera dalam kaos, tetap saja membelinya.
Mengukur Langsung Selain itu, jika ingin membawa pulang Lawang Sewu lengkap dengan gambar denah, sejarah, serta tiga dimensinya, Masjid Agung Jawa Tengah dengan site plan, sejarah, dan detail dua dimensinya, atau Stasiun Tawang dengan sejarah dan denah lokasinya, bisa membelinya dengan harga Rp 40.000 - Rp 75.000 di Gambpang Sembarangan Jl Ruko Tri Lomba Juang No 8.

Menurut Manager Gambpang Sembarangan Veronica Graciawati, kaus khas Semarangan ini menampilkan gambar-gambar teknik arsitektur bangunan kuno bersejarah yang dibuat khusus dengan pengukuran langsung di lapangan.

’’Untuk proses desain butuh waktu lama, karena kami harus mengukur langsung dan menggambarnya. Jadi, ukuran gambar di kaus dibuat sesuai skala bangunan aslinya,’’ katanya

Selain kaus, Gambpang Sembarangan juga menyediakan cendera mata dalam bentuk mug, sandal, tas, pengganjal pintu, pin, gantungan kunci, jam dinding, dan bakiak dengan harga terjangkau.

’’Banyak orang Semarang yang mborong untuk dibagikan kepada sanak saudara di luar kota,’’ katanya. (Fani Ayudea-37)

Sukses Kaus, Lirik Distro

Entrepreneurs Wed, 18 Feb 2009 15:17:00 WIB

Bagi sosok Wawan Gunawan, pemilik Planet Production di Jl Surapati Bandung, terjun ke bisnis kaus tidak disesalinya. Malah, kini dia mulai mengembangkan kerajaan bisnis kaosnya itu ke usaha distribution outlet (distro) yang identik dengan anak muda.

Sejak memulai usahanya pada 1998, tidak terhitung berapa banyak potong kaus yang sudah dikerjakannya.

Bisnisnya ini berawal setelah krisis moneter pada 1997, ketika kaus impor dari mancanegara semakin mahal. Akhirnya, banyak yang memproduksi sendiri untuk dijual di pasar dalam negeri.

Kemudian pada 2000-an, tumbuh kaus yang diproduksi di rumahan untuk dipasarkan di jaringan distro, seperti merek 347, Ouval, Airplane atau Eat.

"Industri kaus Suci tumbuh ketika krisis ekonomi tengah melanda negeri ini pada 1998. Ketika itu, banyak yang kehilangan pekerjaan dan beralih ke usaha sablon kaus. Banyak juga yang mendirikan warung kaus dan terbukti kaus memberi kami penghidupan sampai hari ini," katanya bercerita.

Sebelum sukses menjadi perajin terbesar di sentra kaus Suci, dia hanya perajin kecil yang mengerjakan kaus limpahan dari perajin lainnya. Namun, 2 tahun kemudian, tepatnya pada 1998, karena keseriusannya tersebut, akhirnya mampu memiliki pelanggan sendiri.

"Mesin saja tidak punya, pesanan yang dikerjakan pun lemparan dari perajin lainnya. Namanya juga order lemparan, pasti mendapatkan jatah yang sedikit," kata pria kelahiran 13 Maret 1957 ini.

Usahanya mulai berkembang setelah mendapatkan pesanan dari salah satu partai peserta pemilu pada 1999 sebanyak 200.000 potong kaus. Ketika itu, jumlah itu terhitung sangat besar mengingat perajin lainnya hanya mendapatkan pesanan sekitar setengahnya saja.

Sejak saat itu, nama Planet Production mulai dikenal hingga puncaknya terjadi pada 2004, karena mendapatkan pesanan pengerjaan kaus kampanye pemilihan presiden sebanyak 1 juta potong kaus.

Nama Planet Production pun semakin terdengar di telinga para pemesan kaus, yang sebagian besar adalah partai politik. Bahkan, tidak jarang pula setiap parpol tersebut memberikan referensi Planet Production kepada parpol lainnya.

"Sekarang, alhamdulillah sudah punya mesin sendiri sekitar 100 unit mesin obras, 20 unit mesin jahit, dengan jumlah pekerja mencapai 120 orang. Pesanan pun datang hampir dari tiap provinsi," katanya.

Khusus untuk pembuatan kaus pilkada, Planet Production banyak menerima pesanan sejak 2004.

Menurut Wawan, pesanan untuk pilkada lumayan besar jumlahnya, mencapai sekitar 300.000 potong per bulan. Kaus itu biasanya dibuat dari bahan hyget yang murah dengan harga jual Rp 5.000 per potong.

Satu partai atau calon kepala daerah biasa memesan sekitar 5.000 potong untuk satu desain. Keuntungan yang dikantongi hanya sekitar 5%. "Tak besar untungnya, tapi kalau pesanan banyak dan terus, itu bisa menghidupi produksi," kata Wawan.

Namun, dia mengingatkan saat high season seperti sekarang, menjelang pemilihan calon legislatif dan presiden 2009, perajin kaus harus ekstra hati-hati. Pasalnya, banyak rekan usahanya yang merugi saat pemilu 2004, bahkan sampai gulung tikar, karena pesanan kaus tidak dibayar.

"Seorang perajin merugi Rp85 juta karena ada beberapa parpol yang tidak menebus pesanan kaus," katanya.

Bidik distro

Melihat kesuksesan yang diraih Planet Production, kini banyak yang ikut mendirikan industri rumahan kaus di Bandung.

Bagi Wawan, industri kaus bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi, melainkan juga merupakan proses mengembangkan karyawan menjadi manusia mandiri dan produktif.

Hal itu dibuktikan dengan adanya keinginan para pekerja kaus untuk mengembangkan usahanya sendiri. Dengan kata lain, mengekor kesuksesan bosnya.

Kini dia mempunyai empat pabrik, dengan produksi rata-rata 500.000 potong kaus per bulan. Jika tidak dalam musim pemilu, dia memproduksi kaus untuk memenuhi pesanan dari berbagai perusahaan, seperti perusahaan rokok, operator telepon seluler, atau perbankan.

Wawan berencana mengembangkan usahanya dengan membuka sejumlah distro di Kota Bandung. Meskipun belum memiliki merek sendiri, lulusan Akademi Industri dan Niaga pada 1980 ini sangat serius menggarapnya.

Bahkan, seandainya memiliki dana yang cukup, pria yang sempat mengenyam pendidikan Teknik Industri di Universitas Pasundan ini berkeinginan untuk turut membuka cabang Planet Production di kota lain.

"Rencana ke depan, akan membidik distro, sekarang baru punya satu distro, meskipun hanya produksi saja. Nah, tahun ini, selain menambah jumlah distro, saya juga akan punya merek sendiri," terang ayah tiga putra ini.

Rencana ekspansi tersebut akan mulai dikerjakan setelah pengerjaan pesanan untuk kampanye calon legislatif dan presiden selesai.

Meskipun terhitung baru di dunia distro, tidak menyurutkan niatnya untuk tetap berkecimpung dan harus bersaing dengan kreativitas anak muda. Dia yakin, dirinya cukup profesional dan ahli dalam menjalankan usaha distro.

"Usaha distro sedikit berbeda dengan mengerjakan kaus partai, dibutuhkan quality control yang benar dan memang harus ahli dan kreatif," katanya.

Di bisnis distro, Planet Production harus bersaing dengan usaha sejenis yang sudah berdiri lebih dahulu di Jalan Sultan Agung-Trunojoyo, yang telah melejit dan mendapatkan tempat di hati anak muda. (redaksi@bisnis.co.id)

Ajijah
Kontributor Bisnis Indonesia

Sumber: Bisnis Indonesia

Cerita Surabaya dalam Sebuah Kaus






Ditulis oleh : Lisa Febriyanti, Feb 27, 2009, di Usaha Kreatif

Dari namanya saja, CakCuk, sudah langsung bisa ditengarai dari mana brand ini berasal. Yup, ini adalah salah satu kreasi arek-arek Suroboyo. Dengan memanfaatkan bahasa lokal, CakCuk mengisi ruang kreativitas di Surabaya. Dan itu diaplikasikan pada media yang tak pernah usang di makan zaman, kaus.

Jika Bali punya Joger, Jogja punya Dagadu, Surabaya pun sudah punya CakCuk. Produsen kaus CakCuk memang menangkap segala napas khas Surabaya yang dituangkan dalam gambar dan kata-kata dalam designya. Disajikan dengan lugas, kadang dengan parodi dari brand-brand ternama, dipadu dengan lokalitas daerah yang kental. Bukan hanya menarik, CakCuk yang berkibar dengan tagline Kata Kata Kota Kita, kerap mengundang senyum atau bahkan misuh-misuh sendiri jika melihat designnya. Suroboyo pol, pokoke.

Ada juga design lain dengan frasa-frasa nakal yang dikaitkan dengan lokalisasi terbesar se Asia Tenggara, Dolly. Kata Dollywood misalnya, dipajang bersama dengan kata Hollywood dan Bollywood. Biasanya, design yang berhubungan dengan Dolly ini kerap membuat orang tersenyum. Tapi ada juga design-design yang bicara tentang sejarah Surabaya.

CakCuk saya kenal sejak dua tahun yang lalu saat pulang ke Surabaya. Awalnya, produsen memanfaatkan ruang pameran untuk memperkenalkan produknya. Dengan memajang banner contoh-contoh designnya, counter CakCuk tak pernah sepi pengunjung.

Sekarang ini, CakCuk sudah membuka outlet kecil di Jl. Dharmawangsa. Saya pikir, pemilihan lokasi di sana pas, karena Jl. Dharmawangsa tak jauh dari pusat kota dan banyak kampus yang bertebaran di sana. Di outlet kecil itu, puluhan design dan warna dipajang. Sepanjang pengamatan saya, designnya pun terus bertambah dan makin menggelitik.

Perluasan produk pun mulai dijalankan. Jika semula hanya kaus, CakCuk sekarang juga menawarkan tas dan sandal. Untuk kaus, ukuran S hingga XL dipatok dengan harga Rp49.000, untuk ukuran XXL harga bertambah Rp10.000. Bahan kausnya pun enak dipakai dan tidak melar. Sedangkan untuk tas selempang, bisa dibawa pulang dengan harga Rp10.000.

Kreativitas lokal tak pernah mati. Sentuhan yang jeli dalam melihat pasar, mampu meningkatkan daya saing dengan pasar global. Bayangkan saja, Surabaya bukanlah kota wisata, seperti Bali dan Jogja, tapi Surabaya punya banyak cerita lokal yang menarik dan jika diramu dengan kreativitas bisa menjadi usaha yang cukup menjanjikan. Jadi, sekarang jika cari oleh-oleh dari Surabaya, tak melulu kerupuk udang atau petis saja, CakCuk-in saja!

catatan: foto diambil dari koleksi pribadi

Kaus "Cap Duit"

Coba lihat baik-baik, logo apa saja yang tercantum di dada kaus pemain bola. Semua logo itu artinya uang atau duit, sebab logo sponsor itu hasil rundingan serius antara kesebelasan finalis Liga Champions dengan suatu perusahaan. Entah itu bank, maskapai penerbangan, perusahaan otomotif dan elektronik, merek bir, hotel sampai kasino, itu sah-sah saja tercetak di kaus bagian dada pemain yang keringatan dan jungkir balik di lapangan.

Pemasangan logo sponsor di kaus pemain zaman sekarang sudah terang-terangan dan kagak pake malu-malu lagi. Semua finalis jagoan itu akan berlari-lari memainkan bola sebagus mungkin sambil mengenakan kaus kebanggaan berikut logo sponsor yang berani bayar mahal. Cuma sayangnya, di antara semua kesebelasan itu ada yang unik.

Coba lihat dan perhatikan kaus FC Barcelona, apakah Ronaldinho cs yang kausnya loreng biru-merah itu ada logonya. Sebab, kaus Barcelona sampai tutup tahun 2006, memang polos-polos saja. Meski klub kaya raya dari Spanyol ini seumur-umur emoh pake sponsor, meski mulai 2007 akan memakai logo juga, bermerek "Unicef". Uang pemasukan sponsornya akan diserahkan bundar-bundar ke badan sosial PBB. Bravo!

Sponsor dalam dunia olahraga memang sudah merambah ke mana-mana. Malah pesta olimpiade yang seharusnya kelas "amatiran" dunia sejak dua dekadean ini mottonya yang "citius altius fortius", mungkin jamak kalau diimbuhi kata "sponsorius". Dunia panggung olahraga memang arena ngeceng dan gelanggang nampang paling tepat buat logo perusahaan besar. Penonton, suporter, dan pemirsa tayangan peristiwa olahraga, khususnya sepak bola, memang menjadi incaran sponsor untuk menyertakan logo atau nama perusahaan sebagai penyandang dana.

Sepak bola yang konon tontonan olahraga paling top menjadi sasaran utama. Tercatat kesebelasan Ajax dari Belanda menjadi kesebelasan voetbal pertama di Eropa yang berani nempelin merek ABN AMRO di kausnya di gelanggang Liga Champions 1995. Sejak itu pula, perusahaan besar lain pun ikut mengincar kesebelasan yang mau deal agar mau disponsorinya. Mulailah logo sponsor menjadi hiasan dada dan punggung kostum pemain kelas dunia.

Warna ada maknanya

Kaus berbahan tahan robek dengan celana pendek menjadi kostum bola sejak permainan ini distandarkan organisasi dunia. Dulu ya dulu, begitu kisahnya "jadul" alias jaman dulu, kaus dengan warna-warninya, konon memiliki makna dan arti keramatnya. Katanya kata, warna merah menjadi warna favorit karena dianggap macho, berani, garang macam dongeng film Rambo. Warna biru yang juga amat disukai, katanya anggun dan harmoni, damai dan indah.

Pokoknya warna-warni khusus itu menjadi merek khas tiap kesebelasan nasional ataupun klub sepak bola. Warna pun menjadi lambang dan "karakter" setiap kesebelasan.

Soal kaus saja, tahun akhir 1980-an pernah turun tim penelitian psikologi. Pakar ilmu kejiwaan ini sempat membahas dan menganalisis dan akhirnya berstetmen: "Warna-warni seragam pemain sepak bola, itu suatu ekspose yang rada ekshibisionis kalau pemain bola itu hendak dirinya diperhatikan lawan, juga pemujanya," begitu katanya. Juga jenis warna pun sempat dihimpun dari berbagai sudut positif dan negatifnya. Hingga tersebutlah kalau ada warna yang "ragu-ragu, banci, lemes, ketakutan, kematian, dan lainnya".

Kini yang terjadi pun terjadi sudah. Finalis Liga Champions yang tahun 2007 akan mejeng dengan kostum full sponsor. Mereka akan terang-terangan pakai kaus "cap duit", tanpa malu-malu dan malu-maluin klubnya. Juga asal tahu saja, misalnya Manchester United yang pasang logo AIG, duit kontrakkannya setahun 14,13 juta poundsterling. Malah, perusahaan minyak Tamoil dari Libya berani bayar 15 juta pound untuk sponsorin Juventus.

Samsung berani bayar per tahun untuk Chelsea sebanyak 10 juta pound, Liverpool menerima 5 juta pound per tahun dari Carlsberg, Real Madrid dapat 14 juta pound dari BenQ yang telkomnya Taiwan. Tottenham Hotspur dibayar 8,5 juta pound oleh Mansion yang punya rumah judi. Arsenal pun menerima 5,5 pound per tahun dari Emirates, termasuk penamaan Emirates bagi stadion selama 10 tahun yang dibayar lagi 1.000 juta pound.

Berapa banyak rupiahnya, ya hitung saja kalau kurs poundsterling itu sebiji menjadi 18.000-an rupiah, jadi berapa rupiah kalau 15 juta pound itu.

Wah, banyak uang gara-gara kaus bola "cap duit". Mudah-mudahan kesebelasan Indonesia yang kini masih ribut-ribut dengan ribet, soal pemasangan logo merek rokok di kostumnya, bakalan terima rezeki dari sponsornya. Namun, katanya ada klub menolak karena hanya kebagian berita, bukan berjuta-juta uang rupiah. Payah!

RUDY BADIL Wartawan, Tinggal di Jakarta

Kaus Dagadu Laris Manis, Terjual 40.000 Potong Sebulan



Kamis, 24 September 2009 | 18:56 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Mohamad Final Daeng

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Kaus Dagadu yang menjadi salah satu ikon Kota Yogyakarta pada libur Lebaran ini laris manis diserbu pembeli. Kebanyakan pembeli adalah pemudik yang mencari buah tangan untuk dibawa pulang ke kota masing-masing seusai libur panjang Lebaran ini.

Suasana padat terlihat di Unit Gawat Dagadu (UGD), outlet Dagadu terbesar dari tiga outlet di Yogyakarta, Kamis (24/9). Parkir kendaraan pembeli memenuhi Jalan Pakuningratan, lokasi UGD, hingga sepanjang sekitar 100 meter dan sempat menimbulkan kemacetan kecil.

Heri Azis (55), warga Bintaro, Jakarta, khusus menyempatkan datang ke Yogyakarta dari perjalanan mudiknya di Purworejo hanya untuk membeli kaus-kaus yang dikenal dengan desain-desain kreatifnya ini. "Saya bersama rombongan keluarga setiap tahun selalu datang ke sini untuk membeli kaus Dagadu," katanya.

Kaus-kaus itu ada yang dipakai sendiri dan ada juga yang untuk oleh-oleh bagi kerabat dan teman di Jakarta. "Kalau membeli makanan kan cepat habis, kalau kaus kan bisa awet dipakai sampai Lebaran tahun depan lagi," katanya.

Hal serupa juga dikemukakan Giri (31), warga Sentul, Bogor, yang membeli delapan potong kaus Dagadu. "Saya sebenarnya mudik ke Solo. Ini sudah mau pulang, tapi mampir dulu ke Yogya membeli oleh-oleh," katanya.

Giri menyatakan, tidak ada anggaran khusus untuk membeli oleh-oleh itu. "Fleksibel saja. Kalau ada yang desainnya bagus saya beli. Hari ini habis hampir Rp 500.000 untuk membeli kaus," katanya.

A Noor Arief, direktur sekaligus salah satu pemilik Dagadu, menyatakan bahwa pada saat libur Lebaran seperti ini, penjualan bisa mencapai dua kali lipat dari bulan biasa. Kalau penjualan di bulan biasa mencapai sekitar 20.000 potong. "Kalau liburan panjang seperti ini bisa mencapai 40.000 potong sebulan," katanya.

Untuk menyiasati agar konsumen tidak bosan, Arief mengatakan bahwa pihaknya selalu memperbarui desain setiap satu bulan sekali. Khusus menyambut libur Lebaran ini, Dagadu menyiapkan tujuh desain baru kaus dengan tema "Roemah Moedik".

"Tema besarnya juga masih dikaitkan dengan perayaan 17 Agustus dan isu nasionalisme yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan masyarakat," ujar Arief.

Beramal lewat Kaus


general, people ~ {September 11th, 2008 - 1:09 am}

BANYAK cara berkampanye untuk memerangi HIV/AIDS di dunia. Salah satunya dengan menggelar penjualan busana seperti yang dilakukan Julia Roberts, 41.
Si ‘Pretty Woman’ itu bekerja sama dengan desainer Italia Giorgio Armani mengeluarkan produk baru berupa kaus dengan label bertuliskan Red atau singkatan dari revolution, evolution, devotion.

Julia pun menyempatkan melukis gambar pohon yang menjadi gambar utama pada kaus karya Armani itu. Di balik kaus terdapat tanda tangan Julia Roberts.
‘’Kata Red diambil dari nama produk atau merek penggalangan dana untuk Global Fund guna memerangi AIDS, tuberkulosis, dan malaria,’’ jelas Julia.

Sebetulnya Armani telah menjual produk fesyen berlabel Red sejak 2006 dan telah terkumpul uang senilai US$110 juta. Bergabungnya Julia dengan rumah mode Imperio Armani merupakan kedua kalinya. Sebelumnya Julia juga terlibat dalam penggalangan dana amal untuk HIV/AIDS, tepatnya tahun lalu. Kala itu, Julia mengenakan gelang kulit bergambar pohon.(Reuters/M-6)

SLANK Jual Kaus Gratis Album


Pipit
Published 09/28/2009 - 9:15 a.m. GMT

Pembajakan yang makin merajalela membuat Slank jengah, tapi Slank punya strategi. Strategi ini tergolong unik. Jika biasanya band-band lain gencar memasarkan kaset dan VCD album terbarunya, Slank yang beranggotakan Kaka, Bimbim. Ridho dan Abdee, malah jualan kaus untuk mempromosikan album terbarunya.

Cara ini dinilai efektif untuk menghindari pembajakan yang kian merajalela. Kaus dengan hadiah kaset dan VCD album baru Slank akan dijual dengan seharga Rp 50.000.

“Jadi kalau biasanya orang beli album dapat kaus, kita malah jualan kaus, gratis album.” ujar Kaka tersenyum.

Album yang dijual adalah album “Anthem for The Broken Hearted” yang tahun lalu sudah dirilis di AS, dan kini kembali dirilis di negeri sendiri atas permintaan penggemar setia Slankers. “Sekarang baru bisa dirilis di Indonesia, kebetulan juga ada permintaan dari para penggemar,” ujar Kaka, saat ditemui disela-sela manggung di salah satu stasiun TV, akhir September lalu.

Impian merilis album di Amerika sudah mulai dirintis sejak tahun 2006. Dari lagu-lagu pilihan yang tergabung dalam ‘Anthem for The Broken Hearted’ ini, aransemennya tidak banyak yang diubah. Bimbim menambahkan “Masih ada aranseman asli dari dari lagu-lagu terdahulu, hanya beberapa saja yang dirubah sedikit.” katanya.

Selain itu slank juga akan mengangkat tema peristiwa peledakan Bom Kuningan. Kata Bimbim, tema ini membawa pesan bahwa teror bom tidak pernah bisa dibenarkan dengan dalil apa pun

Melestarikan Cagar Budaya Surabaya Dalam Kaus



Kamis, 26 Maret 2009

Mengkoleksi sejarah Surabaya tidak lagi monopoli foto, tulisan maupun lukisan. Setidaknya, itulah cara pandang baru yang digagas Kuncarsono Prasetyo. Sejak setahun lalu, lelaki 31 tahun ini mulai mendokumentasikan semua warisan budaya Surabaya dalam bentuk kaus dengan merak dagang Sawoong.

Awalnya desain tidak hanya tentang Surabaya, ada banyak desain yang umumnya berkarekter pop art. Langgam desain yang lagi tren. "Namun diperjalanannya, yang laku adalah desain yang berbau cagar budaya Surabaya, aneh ya," kata Kuncar saat dihubungi detiksurabaya.com, Rabu (25/3/2009).

Sejak saat itu dia kemudian mengubah konsep awal. Menggarap urusan desain dengan lebih serius selain mengejar kualitas bahan. Dia banyak riset dan mengumpukan foto dokumentasi sejarah Surabaya, termasuk buku dan koran tempoe doloe sampai bertemu para ahli sejarah.

"Ini semua agar hasil desain Sawoong tidak menjadi bahan tertawaan karena salah mengambil tema," ungkapnya. Selain kaus, dia juga memproduksi pin yang bergambar beragam bangunan bersejarah Kota Pahlawan.

Bersama sejumlah anak muda yang ahli desain grafis, Kuncar melakukan terobosan desain. Karakternya diputuskan tunggal yaitu retro dengan aroma heritage atau warisan budaya.

Agar lebih berbau tempo dulu, uniknya semua tulisan dalam desainnya menggunakan ejaan van Ophuijsen, ejaan melayu pasar yang populer sejak 1901. Tidak hanya desain di kaus, di brosur, desain banner, hingga desain webnya juga karekternya sama. Pilihan huruf di kata kata juga disesuaikan dengan karakter huruf art deco yang.

"Tren desain di masa akhir kolonialisme," katanya bangga.

Hasilnya bisa dilihat sekarang. Hampir semua gedung dan kawasan bersejarah di kota ini mejeng sudah di kaus. Mulai Hotel Majapahit, Balai Kota, Gedung Brantas, Jalan Panggung, Stasiun Semut, Balai Pemuda, Gedung Cerutu, hingga Pintu Air Jagir.

Bahkan karena kekuatan risetnya, dia berani menghadirkan latar belakang kisah tiap gedung. Misalnya Balai Kota yang dibangun 1920-1925 oleh arsitek CG Citroen.

Atau yang lebih lengkap adalah kisah Gedung Brantas di Jl Pahlawan 116. Sawoong menghadirkan riwayatnya. Mulai nama De Prootel, kantor redaksi koran De Soerabiasche Handelsblad, menjadi koran Soeara Asia, berubah menjadi Surabaja Post.

"Saya kisahkan sosok wartawan pejuang A Aziz dalam kisah gedung ini," ujar Kuncar.

Belakangan karena risetnya semakin dalam, Sawoong juga mengangkat tema lain. Di antaranya iklan promosi dagang Surabaya yang diambil dari iklan sebuah surat kabar 1931.

Ini unik karena kalimatnya campuran bahana melayu pasar dan Belanda. Juga desain prangko yang terbit tahun 1935 plus stempel Surabaya. "Saya tidak hanya menjual kaus, namun mempromosikan sejarah Kota Surabaya yang mulai memudar," ujar pengusaha muda ini.

Modal Cekak
ika kini Sawoong telah berkibar dengan dua gerai dan sebuah website untuk penjualan online, modal awalnya ternyata hanya Rp 4 juta. Pertengahan 2007, dia memulai dengan memproduksi100 kaus. Masing-masing desain jadi dicetak 10 kaus. Modal yang cukup tipis itu pun ludes, apalagi kaosnya saat itu belum diminati.

"Bingung memikirkan kaus menumpuk di rumah, saya beranikan membuka konter," ungkapnya. Dengan modal utangan Rp 5 juta, lulusan FISIP Unair ini pun nekat memilih menyewa gerai di City of Tommorrow (Cito). Belakangan karena terobosan desain itu, Sawoong semakin dikenal sebagai tempat cinderamata Surabaya.

Hampir semua agen perjalanan wisata perusahaan modal asing di kota ini, hingga Dinas Pariwisata menggiring tamunya ke Sawoong. Transaksi lewat online juga semakin sibuk. Belum lagi pesanan kaus promosi dan perusahaan.

Sejak empat bulan lalu Kuncar tidak lagi berbagi garapan kaus ke temannya, karena satu set masin jahit dan mesin potong sudah mampu dibelinya, melengkapi dua set alat sablon yang sudah ada.

Dia juga menyewa rumah untuk workshop di kawasan Sidotopo Wetan. Ada lima pekerja di workshop, enam tenaga marketing dan bagian administasi.

"Sekarang rata-rata omzet perusahaan di kisaran Rp 4 juta per hari," kata arek Suroboyo ini. Kini counternya tidak hanya satu di Cito, namun juga mulai menjajah di mal lain. Giliran pengunjung di Jembatan Merah Plasa 1 yang dibidik.

Tahun 2009 ini, Kuncar tengah menyiapkan membuka dua cabang Sawoong lagi di mal lain. "Saya juga sedang menjajaki kerja sama membuat rumah Sawoong di tengah kota. Tempat bertemunya para penggila ide kreatif sekaligus promosi Surabaya," ungkap dia.

Kini Kuncar bisa tersenyum, bisnis sekaligus upaya untuk ikut melestarikan cagar budaya yang ada di Kota Pahlawan mulai menuai hasil.(gik/gik)

Achmad Dhani Rilis Koleksi Kaus

Tak hanya piawai merangkai musik, Achmad Dhani rupanya berbakat jadi designer, baru baru ini pentolan grup band Dewa tersebut melauching koleksi kaus hasil rancangannya.


Untuk merealisasikan proyek bisnis fesyen tersebut, Dhani bekerja sama dengan Lee Cooper, brand ternama asal Inggris.

"Kami senang bekerja sama dengan Ahmad Dhani. Kebetulan tahun ini Lee Cooper juga mengusung tema koleksi yang bernapaskan musik. Untuk itulah, kesempatan emas ini tidak kami sia-siakan," tutur Marketing Manager Lee Cooper Indonesia, Suharti Sadja saat berbincang dengan okezone, Senin (19/5/2009).

Suharti menjelaskan, pihak Lee Cooper bertugas memproduksi kaus yang didesain khusus Ahmad Dhani. Namun, produksi kaus tahap awal masih ada campur tangan dari Lee Cooper. Artinya, tidak seutuhnya desain tersebut karya Dhani, melainkan ada perbaikan di sana-sini oleh tim kreatif Lee Cooper.

"Desain karya Dhani lebih dominan pada produksi tahap kedua. Saat itulah kemampuan Dhani mendesain kaus benar-benar teruji," tambah Suharti.

Kaus ala Dhani pun tak banyak memanfaatkan variasi warna, kecuali putih dan hitam, yang menjadi warna favorit ayah tiga anak ini. Sementara untuk desain kaus sendiri, Dhani bermain dengan gambar orang, grafis, dan tagline tulisan.

"Kami akan memproduksi kaus tersebut dengan ukuran lebih bervariasi, mulai XS, S, M, L, XL. Jadi, koleksi XS masih bisa dipakai wanita bertubuh ramping, karena kaus tersebut memang membidik pasar pria dan wanita," sebutnya.

Rencananya, kaus ala Ahmad Dhani tersebut dipasarkan di 22 gerai Lee Cooper di seluruh Indonesia pada 22 Mei mendatang. Selain itu, pihak Dhani sendiri juga akan memasarkan ke seluruh jaringan Manajemen Republik Cinta.
(sumber:okezone)

Perajin Kaus Kampanye Rugi Rp 4 M

BANDUNG, (PR).-
Sejumlah perajin Sentra Kaus Suci Kota Bandung mengalami kerugian hingga Rp 4 miliar akibat kampanye pemilu legislatif beberapa waktu lalu. Masih banyaknya pesanan kaus kampanye calon anggota legislatif (caleg) yang belum dibayar membuat sejumlah perajin terancam bangkrut.

Menurut Ketua Koperasi Sentra Kaus Suci Marnawi Munamah kepada "PR", Rabu (15/4), kerugian diperkirakan mencapai kisaran Rp 3 miliar-Rp 4 miliar. Jumlah itu berasal dari beberapa perajin kaus yang melayani order kaus kampanye dalam jumlah besar, sedangkan perajin yang menerima order kecil tidak mengalami kerugian.

"Pihak asosiasi tetap akan memberikan dukungan dan membantu advokasi para perajin kaus yang dirugikan. Bagaimanapun mereka bagian dari keluarga besar Sentra Kaus Suci dan kami akan membantu sampai masalah ini selesai dan para perajin mendapatkan haknya," katanya.

Marnawi mengatakan, pihaknya sedang menyusun laporan mengenai masalah kerugian itu. Ia mengungkapkan, apabila sampai batas waktu pengumuman resmi pengangkatan caleg menjadi anggota legislatif belum juga ada pelunasan, pihaknya akan memerkarakan masalah tersebut kepada pengadilan.

Sementara pemilik Planet Production di Sentra Kaus Suci, Wawan Gunawan, kebingungan dengan banyaknya tunggakan. "Saya rugi besar karena sekitar 220.000 pieces lebih atau senilai Rp 1 miliar belum dibayar. Itu karena beberapa caleg belum melunasi sisa kewajiban pembayaran order kaus hingga batas waktu yang sudah disepakati," ucapnya.

Menurut dia, caleg yang menunggak berasal dari berbagai macam daerah dan partai politik. Sebagian besar caleg yang belum membayar berasal dari luar Pulau Jawa. Wawan mengatakan, tunggakan terbesar berasal dari salah seorang caleg DPR RI dari Sulawesi Utara yang menunggak sekitar Rp 570.000.000,00 atau sekitar 130.000 kaus. Padahal, sebelumnya sudah disepakati pembayarannya pada awal April sebelum pemilu.

"Keuntungan dari kaus kampanye kan hanya sedikit, jadi ruginya hampir sama dengan jumlah yang ditunggak, apalagi saya juga memiliki rekanan yang belum dibayar. Saya jadi pusing mikirin-nya, bisa-bisa usaha saya bangkrut," ujarnya dengan nada lemas.

Ia mengakui, dari lima belas caleg yang belum membayar, beberapa berniat membayar. Namun, ujar dia, beberapa caleg sulit sekali dihubungi. Sementara untuk caleg yang jauh akan ditempuh jalur hukum karena sebagian besar sudah melalui perjanjian tertulis, sedangkan yang dekat akan didatangi langsung. "Ada dua caleg dari Kota Banjar yang belum bayar. Kami pun akan segera menagihnya langsung," ungkapnya.

Hal senada dikatakan pemilik CV Rovolin, Lumbangaol yang mengaku rugi sekitar Rp 2,3 miliar. Ia mengungkapkan, setidaknya ada empat parpol yang seharusnya sudah melunasi sisa tunggakan saat pembuatan atribut kampanye selesai dilakukan. Beberapa caleg, kata dia, juga masih menunggak hingga sekitar Rp 1 miliar.

"Tunggakan paling besar itu berasal dari satu parpol baru. Order atribut kampanye mereka berasal dari DPP pusat di Jakarta. Tapi bukan hanya partai itu yang masih menunggak kepada kami," ujar Gaol. (A-190)***

Berkah dari Usaha Kaus Dakwah


Kamis, 7 Mei 2009 | 10:10 WIB

KOMPAS.com — Anda mungkin tergelitik dengan banyolan khas yang tertulis pada kaus buatan Joger, Dagadu Yogya, atau gambar dan tulisan ala C59. Nah kali ini, dari Kota Kembang muncul lagi pendatang terbaru di bisnis kaus. Bedanya, tulisan dan gambar pada produk mereka menggunakan slogan dakwah.

"Dengan memproduksi kaus, kami ingin mewarnai dan memberi aura positif," ujar Lucky Rahmat, Manajer PT Diplus Indonesia, sang produsen kaus religi.

Bisnis kaus dakwah ini bermula dari pertemuan rutin Ihaqi, kelompok pelatihan manajemen berbasis religi dengan anggota sekitar 6.000 orang. Dari pertemuan itulah tercetus ide membuat merchandise. Erick, pemilik PT Diplus, memutuskan mencetak kaus bernada dakwah. Modal awalnya Rp 10 juta.

Awalnya, Ihaqi hanya memproduksi 100 kaus. Proses pembuatannya pun masih menumpang pada pabrik kaus kenalan Erick. Karena menuai respons bagus, Erick memproduksi lebih banyak lagi. Dari hanya kaus, ia mulai membuat pin, topi, serta tas kecil tempat mukena dan Al Quran.

Masing-masing produk selalu bergambar dan bertuliskan pesan-pesan religi, misalnya bertutiskan 'Senyum Itu lbadah" dan "Muslim Ritual Pray".

Saat ini, kata Lucky, perusahaannya memproduksi 6.000 kaus setiap dua bulan. Adapun produksi pin sekitar 5.000 buah per bulan, topi dengan tiga model sekitar 900 buah per bulan, dan tas sekitar 200 buah setiap bulan. Semua merchandise tersebut dipajang di gerai Ihaqi yang terletak di Jalan Trunojoyo, Bandung.

Untuk kaus anak-anak, Ihaqi membanderol produknya dengan harga Rp 50.000 per helai. Kaus lengan panjang untuk perempuan harganya Rp 90.000 per kaus, dan kaus lengan pendek untuk laki-laki Rp 80.000.

Lucky mengatakan, dalam sebulan bisa melego 2.500 lembar kaus, sedangkan penjualan aksesori lain, seperti pin sebanyak 2.000 unit per bulan, topi 100 buah, dan tas 100 buah per bulan. Dari penjualan itu, Lucky meraup omzet Rp 150 juta sebulan. Sekitar 20 persennya masuk kantongnya sebagai keuntungan.

Andalkan agen

Bagi Lucky, prospek bisnis ini cukup bagus. Lucky menyebut peluangnya besar karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim.

Dari mutu produk, kata Lucky, Ihaqi membidik segmen kelas menengah. "Kami tak bisa main terlalu ke bawah karena bahan baku yang kami gunakan juga bukan sembarangan," katanya, berpromosi. Sementara kelas atas, belum tentu suka dengan produk ini karena biasanya mereka lebih memilih kaus branded.

Kata Lucky, pada hajatan Ina Craft di Jakarta April lalu, produk Ihaqi ternyata banyak diminati. Bahkan, langsung mendapat tiga agen yang siap membeli produk Ihaqi dalam jumlah besar, yakni dari Bogor, Cirebon, dan Balikpapan. Mereka ini umumnya meminati kaus dan pin. Hingga berakhirnya Ina Craft, Ihaqi mampu menjual hingga 1.200 lembar kaus.

Saat ini Lucky sedang membentuk komunitas agen Ihaqi. Dia berniat merekrut agen dari tingkatan SMP, SMU, perguruan tinggi, hingga ibu-ibu pengajian. Sebab, Lucky menilai, pemasaran lewat agenlah yang paling cepat.

Jika agen sudah mencapai 50 orang, Ihaqi memberikan pelatihan entrepreneurship gratis. (Dupla Kartini PS/Kontan)

Jati Diri Bandung dalam Kaus


Sabtu, 17 Januari 2009 | 08:01 WIB

MENARA Eiffel di Paris. Demikian obyek utama gambar desain yang tercantum di kaus itu. Namun, menara ini diletakkan pada posisi terbalik. Bagian pucuk justru ada di bawahnya. Terbalikkah kita membacanya?

Ternyata tidak. Desain pada salah satu kaus Mahanagari ini ternyata merupakan suatu bentuk satire atas kondisi Bandung. Di belakang kaus yang didesain Febrian, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung ini, memunculkan sebuah simbol tanda tanya besar dan huruf Bandung.

"Bandung yang dulu katanya indah, sampai dijuluki 'Paris van Java', sekarang ini kan sudah berubah," tutur Direktur Mahanagari Ben Wirawan (32), Jumat (16/1) di salah satu tokonya di Mal Cihampelas Walk sambil membalikkan ibu jarinya ke bawah untuk menjelaskan makna Menara Eiffel terbalik di kaus itu.

Jika desain di atas sarat kritik sosial, desain lainnya pun tidak kalah menggelitik. Sebuah kaus berdesain gambar mirip perut buncit. Lengkap pula dengan pusarnya. Di sebelahnya tertulis kata-kata: Kebanyakan jajan makanan di Bandung. Kemudian, salah satu desain yang lagi ngetop, tampilannya sekilas mirip kaus anak-anak hardcore, tetapi tertulis: Tempat Pemakaman Umum Cikutra Bandung.

Alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu menuturkan, konten-konten yang ditampilkan tradisional, kolonial, dan kontemporer. Meskipun sama-sama mengusung ikon kota dan ikut menonjolkan permainan kata di dalam desain kausnya, Ben Wirawan menolak disamakan dengan Dagadu (Yogyakarta) ataupun Joger di Bali yang lebih dulu muncul. Harga kaus yang disebut Bandung Pisan ini antara Rp 75.000 dan Rp 80.000.

Menurut Hanafi Salman (32), pendiri Mahanagari yang lainnya, kaus bisa menjadi media berkampanye. Dalam hal ini tentu bukanlah politik. Melainkan, kampanye budaya, pariwisata, dan keunggulan Kota Bandung. Berbeda dengan label clothing lainnya, Mahanagari pun ikut aktif ambil bagian, baik dalam kampanye-kampanye budaya, maupun soal lingkungan.

Desain bungkus (packaging-nya) pun unik, terbuat dari karton yang didesain ala folder file-file jinjing. Ada empat macam bungkusnya yang masing-masing mengangkat persoalan heritage, perlindungan habitat burung-burung, Gua Pawon, dan Bandung Utara. Packaging ini, ujar Ben, jadi bisa dibawa ke kampus-kampus atau kantor sehingga, secara tidak langsung, bisa menjadi media kampanye pula. Departemen Perindustrian pun menganugerahi penghargaan atas desain ini.

Edisi terbatas

"Beda lagi dengan Siloka. Label kaus yang satu ini memilih desain yang simpel yang penekanannya lebih pada font (huruf) Bandung. Font Bandung itu selalu kami buat lebih besar dari gambar lainnya karena Bandung inilah yang jadi identitas," ujar Firmansyah, Pemilik Siloka. Toko label ini bertempat di Jalan Laswi Nomor IA. Gedung Sate, Gedung Merdeka, dan Cepot adalah obyek-obyek desain yang dominan di kaus ini.

Namun, salah satu ciri khas Siloka, tiap-tiap desain itu tidak diproduksi lebih dari dua lusin (24 buah) kaus. Jika sudah habis, maka tidak dibuat lagi. Diakuinya, konsep ini adalah bawaan umum dari pola distro. Pembeli seolah-olah akan merasa memiliki barang terbatas limited atau eksklusif. Tiap buahnya, kaos ini dihargai Rp 50.000. Pembelinya, ucapnya, mayoritas turis luar negeri, khususnya Malaysia.*

Kreativitas Jangan Pernah Mati


Sabtu, 1 November 2008 | 06:06 WIB

Di tengah gejolak nilai tukar rupiah saat ini, pengusaha industri kaus di Bandung, Jawa Barat, tetap bertahan. Mereka kreatif memanfaatkan euforia pilkada dan pemilu. Ada pula yang jeli bermain di ceruk pasar atau niche market.

Para pekerja di Planet Kaos di Jalan Surapati, bilangan Suci, Bandung, Rabu (29/10), sibuk bekerja. Dadi (30) dan Yadi (45) sejak pagi menjahit kaus berwarna merah dan kuning. Ian (28) memotong-motong kain berwarna hijau. Itu bukan warna pelangi, tetapi warna kaus pesanan partai politik. Menjelang pemilihan anggota legislatif, pengusaha kaus di Bandung kebanjiran order.

Persoalan ekonomi yang tengah melanda dunia seakan tidak lewat Kota Bandung. Setidaknya, sampai hari ini pekerja di Planet Production itu tetap sibuk berproduksi. ”Selama masih banyak yang pesen kaus, saya tetap saja kerja,” kata Dadi.

Ade Sutarsih (53), yang membuka gerai di samping Planet Production, sibuk mencatat dan menata bahan kaus pesanan pelanggan. ”Ini kaus pesanan dari toko-toko. Saya hanya memotong-motong terus nanti dijahit keponakan saya,” ujar pemilik gerai kaus Muararajeun Sport.

Ade bekerja dibantu keponakannya, Dewi Nurjanah, yang bersama empat pekerjanya mendapat bagian menjahit dan mencetak kaus. Seminggu terakhir, Ade sebenarnya ketar-ketir juga karena nilai rupiah terus melemah. Sekarang harga bahan baku kaus dari Rp 51.000 per kilogram menjadi Rp 54.000 per kilogram. Namun, kekhawatiran itu tak sebesar ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997. Saat itu usaha Ade, yang mempekerjakan 30 orang, ambruk.

Kali ini Ade mencoba strategi baru agar usahanya tetap bertahan meskipun modal minim dan kondisi rupiah masih tak menentu. Ade hanya menerima pembuatan kaus dari pelanggan yang mau membawa bahan baku sendiri. Ini untuk memperkecil modal. Muararajeun Sport tinggal memotong, menjahit, dan mencetak sesuai pesanan. Pola ini tentu tidak mudah karena pelanggan belum terbiasa.

Namun, pelanggan setia Ade tertarik dengan cara ini karena biayanya lebih murah daripada membeli jadi. ”Sekarang tak kurang dari 30 toko dan distro (distribution outlet) langganan ke saya,” kata Ade yang enggan menyebutkan omzet. Kiat lainnya adalah dengan mengambil keuntungan moderat. Meskipun untuk sepotong kaus hanya untung Rp 200, Ade tetap berani mengerjakan pesanan. Ini semata-mata untuk membangun kepercayaan pelanggan.

Lain lagi kiat Lutfi (29), pemilik Kubiq Shop. Ia menerima pesanan semua jenis kaus asal pelanggan bersedia membayar uang muka di atas 60 persen. Besaran ini cukup untuk membeli bahan baku. Untuk benang jahit dan kebutuhan percetakan ia mengambil dari modal usaha.

Lutfi meminta uang muka minimal 60 persen untuk menutupi modal yang cekak sekaligus demi keamanan usaha. Sebab, tak jarang pelanggan enggan membayar kekurangan biaya. Kini usaha Lutfi relatif maju. Keuntungannya mencapai Rp 15 juta per bulan. Dia juga mendapat pesanan dari berbagai kota, termasuk dari luar Jawa. ”Sekarang saya sedang mengerjakan pesanan dari Bangka Belitung. Lumayan, nilainya puluhan juta rupiah,” ujarnya.

Pemilik industri kaus Planet Production, Wawan Gunawan (52), mengaku hampir setiap hari ditelepon pabrik penstok kain bahan baku kaus. Mereka meminta Wawan jangan mudah mengeluarkan barang karena bahan baku kemungkinan akan sulit didapat dalam sepekan ke depan.

Wawan menduga, pabrik itu tetap memproduksi, tetapi menimbun barang menunggu harga naik. Ini tentu saja merugikan pengusaha kaus. ”Kenaikan bahan baku kaus memang sangat terasa bagi pengusaha besar,” kata Wawan yang omzetnya mencapai Rp 1,5 miliar per bulan.

Meskipun saat ini banyak partai politik dan politisi memesan kaus kampanye hingga jutaan potong, Wawan hanya menerima pesanan kaus dalam jumlah ratusan ribu. Ia menangguhkan pesanan berjumlah satu juta potong ke atas. Alasannya, harga bahan baku belum menentu. ”Kalau sudah telanjur sepakat harga, kemudian harga bahan baku naik, saya bisa rugi banyak,” ujarnya.

Wawan kini lebih waspada. Menjelang Pemilu 2004, dia mendapatkan pesanan kaus dari salah satu calon presiden dan wakil presiden sebanyak 1 juta kaus senilai Rp 5 miliar. Untuk memenuhinya, dia meminjam modal bahan kaus dari beberapa pengusaha. Begitu kaus selesai dikerjakan, hanya sebagian yang diambil pemesan. Sisanya ditinggalkan di tempat Wawan. ”Mau saya simpan di mana barang sebanyak itu. Akhirnya, saya kirim saja ke rumah pemesan,” ujarnya.

”Kunci menjalankan usaha ini adalah bisa dipercaya konsumen, tepat waktu, menjaga kualitas, dan cermat menghitung. Kalau ini tidak bisa dijalankan, pengusaha sendiri yang rugi,” kata Wawan.

Pengusaha kaus berlabel C-59, Marius Widyarto Wiwied (52), merasakan betul dampak dampak krisis moneter 1997. Saat itu dia mempekerjakan 1.500 orang yang kemudian menganggur. ”Tapi saya tak mau memecat mereka,” ujarnya.

Sebagai jalan keluar, Wiwied tidak hanya membuat kaus khusus C-59. Dia menerima order cetak, jahit, atau sekadar obras kaus. Yang penting, karyawannya tetap bekerja.

Untuk menekan biaya produksi, Wiwied meminta pekerjanya bekerja di rumah masing- masing agar biaya listrik lebih murah karena dihitung sebagai listrik rumah tangga, bukan industri. Pekerjanya yang sejak awal dididik menjadi wirausaha ini tak kesulitan. Belakangan, mereka bahkan mampu mandiri dan menjadi rekanan bisnis C-59. Sekitar 800 pemilik usaha kaus di bilangan Suci adalah bekas karyawan Wiwied. Selain itu, tak kurang dari 100 rumah tangga di Kampung Cigadung menjadi industri rumahan membantu C-59.

Kini C-59 bertahan dengan 300 karyawan resmi dan ratusan rekanan. Omzet mencapai 50.000 lembar kaus per bulan. Selain memasok ke berbagai daerah di penjuru Tanah Air, C-59 juga membuka jaringan di Jepang dan Malaysia. ”Saya juga sedang melirik Dubai dan Tunisia,” kata Wiwied.

Ia juga bermain di niche market, misalnya dia tertarik untuk mengangkat tema suku Asmat dengan sasaran pasar ekspatriat yang bekerja di PT Freeport, Papua, atau tema orangutan untuk para bule yang peduli lingkungan. Isu aktual, seperti korupsi, batik, dan wayang, juga dia transformasikan ke dalam desain kaus. ”Intinya, kreativitas jangan pernah mati dan kita harus jeli melihat pasar,” ujarnya.

Monique Kocke, Lewat Kaus "Parental" Raup Puluhan Juta Rupiah


Senin, 20 April 2009 | 08:46 WIB

KOMPAS.com — Ibu satu anak berusia 30 tahun ini mendirikan Parental Advisory Baby Clothing, sebuah distro baju anak. Desainnya tak biasa. Misalnya, t-shirt bertuliskan: Kill Sinetron-Kids Against Television, Where’s My Fuckin’ Milk, atau gambar gajah dan tulisan: It’s an elephant not a penis. Menyeramkan? Ya. Tapi, Monique punya misi lain di balik desain yang ia gagas.

Kapan bikin Parental Advisory Baby Clothing (PABC)?
Sekitar akhir 2006. Ide awalnya sih karena saya enggak menemukan distro anak yang sesuai selera. Tahun-tahun itu di Bandung banyak distro buka, tapi 90 persen cuma menjual produk untuk remaja dan dewasa, enggak ada produk buat anak. Saya juga enggak begitu tertarik dengan baju anak yang kebanyakan ada.
Nah, kebetulan waktu itu saya baru saja melahirkan. Akhirnya terpikir membuat baju anak. Itu pun tadinya cuma buat anak sendiri atau buat anak teman-teman.

Punya latar belakang desain?
Enggak. Saya lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran, Bandung. Jadi, saya masuk bisnis pakaian ini ya ibaratnya terjun bebas saja. Selain karena soal selera, saya juga melihat ada peluang di situ. Ya sudah, jalan deh.

Kenapa memilih nama PABC?
Karena dari awal, idenya ingin membuat baju anak yang agak nyeleneh. Selain itu, ada misi yang ingin saya sampaikan. Kalau melihat desain atau kata-katanya, baju-baju PABC kata orang terlalu kasar untuk anak-anak. Padahal, justru sebetulnya saya ingin supaya orangtua yang membeli baju buat anaknya bisa menjelaskan maksudnya ke anak. Anak dapat bimbingan (parental advisory). Jadi, bukan hanya bikin tanpa ada makna apa-apa di balik desain. Rata-rata, desain atau kata-kata PABC ada sejarahnya.

Misalnya?
Contohnya t-shirt bertuliskan Kill Sinetron; Kids Against Television. Itu karena menurut saya, anak sekarang enggak bisa hidup tanpa televisi. Sementara acara buat anak-anak di televisi kita sekarang ini kayaknya enggak ada edukasinya, enggak ada yang pas. Baru sekarang ada "Si Bolang" atau "Laptop Si Unyil" lumayanlah. Sebelum-sebelumnya kan sinetron melulu. Hampir di semua stasiun televisi ada sinetron, dari pagi sampai malam. Jadi, kapan jam-jam anak bisa nonton?
Celakanya kalau orang tua juga suka sinetron. Supaya anaknya diam, anak diajak nongkrong di depan televisi, nonton sinetron. Yang ada anak mengikuti adegan di sinetron. Orang marah-marah, memaki-maki enggak jelas. Itu kan membunuh karakter anak.

Contoh lain?
Ada t-shirt tulisannya Where’s My Fuckin’ Milk? Lumayan laku. Penjualannya bagus terus meski sudah beberapa produksi ulang (repeat). Misi tulisan di desain itu adalah supaya ibu-ibu muda mau memberi ASI eksklusif minimal 6 bulan ke anaknya. Syukur-syukur 2 tahun. Soalnya ada kecenderungan, orang sekarang lebih mementingkan pekerjaan ketimbang hak anak. Nah, minum ASI itu hak anak. Ada kekhawatiran yang enggak perlu, seperti, “Aduh kalau saya nyusuin, bentuk badan jadi berubah”, “Saya enggak punya waktu nyusuin karena harus kerja,” dan sebagainya yang buat saya sangat tidak masuk akal.

Anda sendiri memberi ASI ke putri Anda?
Saya termasuk yang kurang beruntung enggak bisa memberi ASI eksklusif ke anak saya, Magia Calluella Chaszta Az-Zurra (2,8). Waktu itu habis melahirkan, saya harus menjalani operasi, masuk ICU 2 hari. Jadi, enggak bisa langsung kasih ASI. Setelah operasi, ASI jadi terhambat. Saya sudah coba bermacam cara, tapi enggak bisa keluar juga. Saya menyesal sekali. Bukan mau irit, tapi karena itu hak anak. Kalau saya bisa membayar, berapa pun saya akan bayar supaya saya bisa kasih ASI eksklusif ke anak saya. Tapi mungkin saya memang tidak beruntung, ya. Jadi, tolong kalau bisa memberi ASI esklusif, kasihlah anak ASI eksklusif. Kalau bisa yang alami, kenapa harus kasih susu pabrikan?

Efektif enggak pesan-pesan itu disampaikan lewat desain t-shirt?
Cukup efektif karena desain sangat berbicara. Desain Kill Sinetron tadi misalnya, ternyata banyak orang tua yang memang enggak setuju dengan acara-acara yang ada di televisi.

Orang yang enggak mengerti bisa-bisa berkomentar, “Kok kalimatnya seperti itu?”
Makanya ada product knowledge. Jadi kalau ada konsumen, kami jelaskan satu-satu maksud kalimatnya apa. Pernah ada yang berkomentar, “Gila, ini apa-apaan sih maksudnya? Ya saya sih mencoba berpikir positif saja, menerima itu sebagai masukan. Tapi, rata-rata konsumen yang beli di sini adalah pelanggan tetap yang sudah enggak kaget lagi. Ada sih satu-dua orang yang bilang, “Oh, ternyata ada desain begini buat anak?” Ya kami jelaskan saja. Jadi, kami enggak sekadar jual tanpa makna atau misi.

Pendekatan ke pelanggan personal sekali, ya
Betul. Kami ajak pembeli ngobrol dan memberi pengertian. Tapi sejauh ini enggak ada yang komplain sampai ngotot yang gimana gitu. Kami malah banyak melakukan kerjasama, misalnya jadi sponsor acara anak-anak. Jadi, enggak cuma sekadar jualan.

Sekilas seperti kaus dewasa yang dipakai anak, ya?
Bisa jadi ada yang melihat begitu. Tapi anak sekarang lebih kritis, lho. Banyak pelanggan yang datang anaknya memilih sendiri. Karena saya punya anak, jadi saya tahu juga. Dan memang orang tua harus menjelaskan.

Siapa sih yang membuat desain dan kalimat-kalimatnya?
Saya dibantu teman saya, Phaerly. Karena saya enggak punya latar belakang desain, biasanya kalau ada ide di benak langsung eksekusinya saya serahkan ke dia. Saya bikin gambar gunung aja pakai penggaris ha-ha-ha. Paling kalau ada yang kurang saya kasih masukan.

Sekarang sudah ada berapa desain?
Lebih dari 60 desain. Mayoritas warnanya memang hitam, putih, dan abu-abu. Kami sengaja pilih warna-warna tua karena baju anak-anak sekarang kan kebanyakan warna-warna pastel. Kami ingin beda. Dan ternyata banyak yang bilang justru lebih menarik. Karena itu tadi, warna mainstream-nya kan warna-warna pastel yang colourfull. Kami juga pikirkan bahan dan sablon seperti apa yang yang nyaman buat anak-anak.
Model kausnya juga panjang. Kebanyakan baju anak kan pendek di bagian torsonya. Nah, saya sengaja modifikasi. Saya masih ingat kultur orang Timur, kalau bajunya pendek pusarnya jadi kelihatan. Saya lihat masih banyak kok orangtua yang enggak kepingin pusar anaknya kelihatan. Model memanjang kayaknya juga lebih enak daripada ngatung.

Selain kaus, apalagi yang dijual PABC?
Macam-macam, dari diapers bag, tas anak, topi, jaket, celana, sepatu, sandal. Pasarnya lumayan bagus kok. Omzet per bulan kalau sedang ramai bisa Rp 70 juta. Meskipun sekarang sudah mulai banyak brand lain. Di Bandung aja ada sekitar 5 brand yang konsepnya mirip-mirip PABC. Cuma enggak tahu ya, mungkin orang tahu PABC lebih awal, jadi mereka biasanya membandingkan sama produk-produk PABC. Tapi banyak saingan justru bagus karena kami jadi harus berpikir, bikin saya terpacu.

Rencana bisnis ke depannya seperti apa?
Yang jelas saya mau ekspansi. Banyak sih yang minta atau menawarkan kerja sama, cuma belum ada yang menawarkan display sendiri. PABC ini kan baju anak, kalau display-nya disatukan sama baju dewasa, susah. Enggak kelihatan. Apalagi warna-warna kami warna dewasa.

Soal anak, pola pendidikan seperti apa sih yang Anda terapkan?
Saya dan suami sangat terbuka ke anak. Hal-hal yang masih tabu buat sebagian orang, saya sampaikan ke anak. Contohnya pendidikan seks, sudah saya kenalkan ke Magia sejak dini. Jadi, ia sudah tahu lho, proses kelahiran dia, dia keluar dari mana, dia punya vagina, menstruasi itu apa, dan sebagainya. Tapi tentu disesuaikan dengan perkembangannya. Hal-hal kecil seperti ini menurut saya justru jadi starting point yang harus disampaikan sejak dini.

Sambil bisnis, enggak repot punya anak balita ?
Saya selalu mengajari Magia untuk mandiri. Jadi, saya hampir enggak pernah merasakan repotnya punya anak balita. Saya enggak pernah gendong dia, tidur sendiri, saya tinggal pergi juga enggak rewel. Paling-paling dia nanya, “Ibu mau ke mana? Oh, mau nyari duit ya? Buat beli susu ya?” Dari lahir sampai sekarang enggak pernah pakai pembantu atau baby sitter. Semua saya kerjakan sendiri. Dia juga enggak pernah nonton televisi, kecuali acara musik. Kalau musik, 2-3 jam dia betah. Kalau pas kebetulan lihat adegan sinetron, dia malah suka nanya, “Kenapa sih orangnya marah-marah? Memang siapa yang nakal, kok dimarahin?”

Masih suka masak buat suami dan anak?
Oh masih. Suami saya, Mulki Fajar, seorang konsultan IT, jadi kami punya kesibukan sendiri-sendiri. Eh, memasak itu ternyata menyenangkan lho, bisa menghilangkan stres ha-ha. (Hasto Prianggoro/Nova)

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons