Apa Kata Kaos Oblong

Apa Kata Kaos Oblong


Asal katanya adalah “shirt”. Kata imbuhan “T”, konon dikarenakan oleh bentuknya yang menyerupai huruf “T”. Maka jadilah “T-shirt”.

Di Indonesia, kata “T-shirt” diterjemahkan menjadi “kaos oblong”. Terjemahan ini pun tidak terlepas dari sejarah perjalanan kaos itu sendiri. Dalam Kamus Indonesia-Inggris Hassan Shadily (1997) menyamakatakan “kaos oblong” dengan kata “kaos dalam”, “singlet”, dan “undershirt”.

Sejarah T-Shirt
Dulu benda ini yang tidak jelas siapa penemunya ini hanya dipakai sebagai pakaian dalam oleh kaum pria. Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan.

T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Tak pelak, muncullah polemik seputar kaos oblong.


Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.

Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.

Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.

Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.

Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.

Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain.

Selanjutnya, tidak hanya di Amerika dan Eropa, di Indonesia pun kaos oblong sudah menjadi media berekspresi. Kaos oblong yang berwarna putih itu diberi gambar vinyet, dan waktu itu sempat menjadi tren/mode di kalangan anak muda Indonesia, tapi tidak lama. Berikutnya vinyet digeser oleh tulisan-tulisan yang berwarna-warni. Tekniknya sepeprti sablon. Selain itu, ada juga gambar-gambar koboi, orang-orang berambut gondrong, dan lain-lain. Warna bahan kaos oblong pun sudah semarak, yaitu merah, hitam, biru kuning. Dan, tren kaos oblong rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong”

(Harian Kompas, 14 Januari 1978).
Oleh : Agustinus Wahyono
Sumber : www.kaos-oblong.blogspot.com

BANDUNG dan DISTRO

Bandung bukan saja ibu kota Priangan, tetapi juga ibu kota per-kaos-an. Di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini, kaos oblong alias T-shirt telah menjadi industri rakyat. Kaos menjadi penghidupan ribuan orang yang terlibat dalam proses
pembuatannya. Mulai dari pabrik-pabrik textile yang bertebaran dipinggiran kota Bandung, toko bahan-bahan textile di sepanjang jalan Otto Iskandardinata dan Tamim. Belum termaksud usaha kecil dan perorangan yang menawarkan
jasa(maklon) potong, sablon, jahit, bordir, packing, dll. Ditambah lagi dengan menjamurnya Factory Outlet dan Distro disekitar kawasan Dago dan jalan Riau, dari yang bermodal besar, sedang, kecil sampai yang bermodal dengkul semua
berkumpul di kota ini dengan tujuan yang sama, mencari penghidupan dari yang namanya kaos.

Sungguh suatu potensi yang besar dari kota ini yang tak dimiliki oleh kota lain di Indonesia, tak salah jika Bandung dijuluki Paris Van Java menggingat perkembangan akan mode fashionnya yang begitu cepat. Industri kaos di Bandung tumbuh sejak tahun 1980-an. Pada awal era itu, usaha kaos dikerjakan beberapa produsen saja, seperti C59, Christine Collection, dan Q. Setelah krisis moneter tahun 1997, kaos impor dari mancanegara semakin mahal. Akhirnya banyak yang memproduksi sendiri untuk dijual di pasar dalam negeri. Tahun 2000-an, berkembang kaos yang diproduksi di rumahan untuk dipasarkan di jaringan distro, seperti dengan merek 347, Ouval, Airplane, Evile, Eat, dll.

Jika kita tengok kawasan Suci, sentra industri kaos di seputar Jalan Surapati- Cicaheum, Bandung. Dikawasan ini tak kurang dari 300 produsen kaos skala usaha kecil. Industri kaos di daerah Suci ini tumbuh justru ketika krisis ekonomi tengah melanda negeri ini tahun 1998. Orang-orang yang kehilangan pekerjaan saat itu bertahan hidup dengan menyablon kaos dan mendirikan warung kaos di
sekitar Suci. Dan terbukti kaos memberi mereka kehidupan sampai hari ini.

Jumlah perajin kaos rumahan di Bandung sekitar 800 orang. Adapun jumlah produsen kaos pabrikan di Bandung sekitar 100 pabrik. Kelompok distro di Jalan Sultan Agung-Trunojoyo sekitar 20-an toko distro. Itu belum termasuk di pelosok
lain Bandung seperti Jalan Riau, Sultan Agung, dan lainnya. Soal merek yang banyak beredar dan dikenal di Bandung, mungkin jumlahnya mencapai 500 merek.

Hal inilah yang menjadikan inspirasi bagi anak-anak muda diluar kota Bandung untuk mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Bandung. Di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia mulai berdiri Distro - Distro dengan konsep yang sama seperti di Bandung, dan sebagian besar dari mereka tetap mendapatkan stock toko dari Bandung. Kenapa Bandung? karena Bandung sudah menjadi acuan, tidak hanya karena mode tapi juga dari segi kualitas bahan, sablon dan kreatifitas anak-anak mudanya.

Dikutip dari: KOMPAS CETAK dan berbagai sumber.

 
Design by WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons